Dua perupa dari Mazhab Bandung – Haryadi Suadi dan Tarcisius Sutanto – mengadakan pameran di Galeri Soemardja, Institut Teknologi Bandung, dari 7-24 Mei 2013. Lewat pameran ini, publik kembali diingatkan pada salah satu gerakan dan masa yang kemudian menempatkan Bandung sebagai pusat karya seni rupa yang modern dan konseptual.
Highlight:
Karya Haryadi Suadi dan T. Sutanto selama ini dinilai berhasil memadukan unsur modern dan tradisional. Ciri khas ini menempatkan keduanya sebagai bagian unik dalam Mazhab Bandung, istilah yang digunakan untuk mengidentifikasi aliran seni dengan karakter formalistik yang diperkenalkan kepada para perupa Bandung oleh para seniman Barat di antaranya Ries Mulder pada 1950-an. Keunikan ini di lain pihak menjadikan keduanya selama ini seolah-olah “tersingkir” dari para perupa Mazhab Bandung yang menonjol seperti Ahmad Sadali, Mochtar Apin, Sunaryo, AD Pirous, Srihadi Soedarsono, hingga Popo Iskandar. Lewat pameran ini, Galeri Soemardja memperlihatkan bahwa kedua seniman ini justru memberikan negasi atas pendapat bahwa para perupa Mazhab Bandung meninggalkan tradisi Nusantara dan “kebarat-baratan”.
- Haryadi Suadi dan T. Sutanto adalah dua nama yang dinilai telah berjasa dalam membantu mengembangkan ilmu seni rupa dan desain di ITB. Dalam tataran seni rupa, karya-karya keduanya dikenal memiliki persamaan yang mencolok, yaitu berciri pada eksplorasi dan pemaduan bentuk-bentuk atau corak tradisional hingga ikonografi populer.
- Sebuah pameran digelar tidak hanya untuk menunjukkan pencapaian dan prestasi seorang seniman, melainkan juga untuk melawan cara pandang umum yang sudah telanjur diamini (stigma). Langkah Galeri Soemardja memamerkan karya-karya Haryadi Suadi dan T. Sutanto adalah salah satunya. Mereka berharap pameran ini dapat membantu menghapus stigma “pro-Barat” Mazhab Bandung, sekaligus menunjukkan sumbangan keduanya dalam perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia.
- Sejatinya para seniman Bandung lebih menggunakan pengaruh Barat sebagai metodologi, untuk menampilkan objek-objek Indonesia. Pandangan yang menyudutkan perupa-perupa Bandung ini sebenarnya terjadi ketika wacana seni rupa nasional berkiblat pada Realisme Sosialis pada tahun 1960-an, dan ditambah dengan kemunculan program studi desain sebagai seni terapan di ITB pada tahun 1970-an yang dinilai “tidak berkelas”.
Bertepatan dengan ulang tahun Haryadi Suadi dan T. Sutanto yang ke-72 tahun pada Mei, Galeri Soemardja mengadakan pameran karya-karya keduanya, sekaligus untuk memperlihatkan bahwa perupa-perupa Bandung yang dinilai menjadi bagian Mazhab Bandung, tidak semuanya meniadakan unsur tradisi. Haryadi Suadi gemar melibatkan unsur daerah asalnya di Cirebon, sementara Sutanto memasukkan corak dekoratif Jawa Tengah. Apakah ini yang membuat keduanya “kurang terdengar” dibanding perupa Mazhab Bandung lainnya? Ataukah keunikan mereka ini bisa dinilai mampu mendobrak mitos tentang Mazhab Bandung yang dinilai anti-tradisi?