Agung Prabowo, Crowd, 2013, linocut print on paper resize
Sebelas perupa muda asal Bandung ditantang untuk mencipta karya yang berangkat dari kesepakatan bersama untuk mengangkat sebuah benda yang terkesan sepele menjadi bernilai.
Kreativitas tak harus muncul dari hal-hal besar dan fantastis. Benda-benda dan peristiwa yang dinilai tak penting, tak dianggap, dan sepele juga bisa menjadi sumber inspirasi. Itulah yang dilakukan 11 seniman muda asal Bandung saat mengkonstruksi konsep pameran bersama. Alih-alih mengangkat tema besar seperti isu sosial politik, ekonomi , ataupun gender, mereka justru memilih ‘sapu’ sebagai tema besar dalam pameran bertajuk Subject Matter : A Locus of Collectivism, yang digelar di galeri Art:1 pada 29 Juni – 13 Juli 2013.
Keputusan itu menarik, tetapi tentu saja berisiko. Mereka sadar tema ‘sapu’ tak menarik perhatian para kolektor, apalagi untuk membelinya. Mayoritas kolektor seni juga lebih senang membeli karya-karya dari seniman yang sudah mapan dan memiliki ‘nama’ guna menghindari risiko membeli karya ‘murahan’.
Berbeda halnya dengan para kolektor muda yang cukup berani membentangkan tangan merangkul para seniman-seniman muda bahkan newcomer. Mereka sadar bahwa seniman bisa menjadi ‘investasi jangka panjang’. “Kolektor-kolektor muda kita cepat belajar (memahami seni) sehingga lebih berani mengambil risiko,” kata Asmudjo Jono Irianto selaku kurator untuk pameran ini usai membuka pameran kepada Sarasvati.
Umumnya, seniman menentukan tema pameran setelah merangkai seluruh karyanya dalam satu benang merah tertentu. Namun, dalam pameran kali ini metode tersebut dibalik. Seniman harus mampu menginterpretasikan tema yang telah ditentukan bersama ke dalam karya-karyanya. Seniman muda dituntut untuk lebih kreatif dari biasanya. Mereka juga harus bisa mengubah tema yang terkesan sederhana dan sepele menjadi bermakna dan bernilai.
Dalam hal ini, sapu tidak lagi muncul dalam arti fisik yang sekadar perangkat rumah tangga, tapi memiliki arti lebih dalam dan signifikan. ”Karya seni apa pun itu penting. Tugas seniman untuk menjadikan hal sepele menjadi penting. Ini penting sebagai latihan,”kata Asmudjo. Sementara dari sisi pengunjung, tema ini memaksa mereka untuk lebih memperhatikan metode kerja si seniman ketimbang hasil akhir karya ataupun persoalan yang diwakili. Pilihan tema yang tak biasa juga mendorong mereka untuk mengeksplorasi lebih dalam hingga menemukan makna. “Karya tak lagi sekadar ilustrasi yang menggambarkan isu ataupun tema,” kata Asmudjo.
Hasil interpretasi ke-11 seniman pada kata ‘sapu’ memunculkan beragam bentuk karya sesuai dengan pengalaman dan pengetahuan mereka. Sapu menjadi semacam titik koordinat yang mempertemukan pengetahuan si seniman sebagai sosok individual dengan makna kolektif yang dibangun bersama seniman-seniman lainnya. Karya-karya yang ditampilkan tidak saja muncul dalam bentuk lukisan, namun juga seni keramik, patung, dan foto.
Agung Prabowo – dikenal dengan pseudonym Agugn – menerjemahkan teks ‘sapu’ ke dalam tiga buah karya dua dimensi yang digarap dengan teknik linocut dan relief print on paper. Di ketiga karyanya yang berjudul – The Crowd, Playground, dan Spatial Matter – wujud fisik sapu sebagai alat tak terlihat. Agung justru menghadirkannya “sebagai kode retoris semata yang muncul dalam bahasa metaforis”.
Antonio Sebastian Sinaga (Nino) tampil dengan dua karya fotografi dan sebuah karya objek berupa artefak bertajuk Dream. Berbeda dengan karya Agung, wujud sapu sebagai objek tampil dengan jelas dalam ketiga karyanya – Artefact, Witch, dan Castle Guard. Nino memposisikan sapu sebagai pendorong imajinasi yang menempatkan dirinya serupa kanak-kanak yang berfantasi. “Melalui kisah witchcraft dan dunia peri, sapu itu menjadi alat terbang dan senjata untuk membela diri,”kata Asmudjo.
Cinanti Astria Johansyah (Keni) yang piawai mengolah medium water color, dalam pameran ini menghadirkan sebuah karya cat air yang terbagi dalam kanvas multi panel. Berbeda dengan seniman lainnya yang menjadikan ‘sapu’ sebagai perangkat simbolis, Keni justru mengaitkannya dengan adagium asing: jumping the broom – frasa yang biasa digunakan dalam ritual pernikahan di Afrika – Amerika. Hal yang menarik dalam lukisannya, Keni melompati ‘sapu’ dengan seekor bison, lumba-lumba, tikus, dan domba. Seakan ia ingin menyatakan bahwa kecintaannya pada hewan-hewan akan terus ia lakoni sepanjang hidup, “hingga maut memisahkan kita” (until death do us part, 2013).
Tak jauh berbeda dengan karya Keni, metode yang sama juga digunakan Endira F Julianda dalam karyanya Blue Room. Endira juga menggunakan frasa populer yang diambil dari judul lagu yang dinyanyikan Perry Como, seorang musisi legendaris asal Italia, berjudul Blue Room. Tak ada objek sapu di dalam karyanya, hanya simbol dari fungsi ‘menyapu’. “Ia menggunakan simbol sapu sebagai alat untuk menghapus detail di atas citraan karpet dalam lukisannya. Alhasil ruang dalam karyanya tak lagi muncul dengan tertib,”ujar Asmudjo.
Karya Leonardiansyah Allenda kali ini seperti keluar dari tradisinya. Ia menampilkan karya drawing berjudul Study Janitor. Muncul dari gagasan menjaga kebersihan, ‘sapu’ milik Leo menyapu bersih beberapa tahapan dalam membuat karya drawing yang dianggap tidak perlu. Metode berbeda digunakan Bonggal Hutagalung dalam menampilkan ‘sapu’. Alih-alih menjalin benang merah, benda-benda keramik yang tersusun di dua panel karyanya sama sekali tidak memiliki asosiasi apa pun. Ia menciptakan berbagai benda itu hanya karena ia suka. Dan, objek sapu dan kapak di karyanya menjadi simbol dari perangkat yang akan membersihkan beragam benda yang tidak ia sukai.
Pada akhirnya, pameran ini lebih sebagai ajang latihan para seniman muda. Asmudjo menggiring senimannya untuk keluar dari zona nyaman dengan membaca kemungkinan metode yang akan digunakan setelah subject matter ditentukan lebih dulu. Pemaknaan masing-masing karya juga diserahkan pada pembacaan pengunjung secara individu. Asmudjo hanya menyisipkan pesan singkat, ia berharap pengunjung mulai menikmati proses pembuatan sebuah karya (metode) tidak saja sekadar hasil akhir.
Bonggal Hutagalung, Too Many Objects #1, 2013, handbuilt, glazed at 1250 degre