Sebanyak 25 penari dan enam koreografer dari 19 kota di lima negara mempresentasikan olah konsep yang mereka geluti selama sembilan hari berjalannya Sasikirana KoreoLAB & Dance Camp (SKDC). Hasilnya adalah sebuah pertunjukan site-specific berjudul Dance City Density! yang berlangsung di enam titik NuArt Sculpture Park, Bandung, 9 Agustus 2016.
Dibantu empat mentor berpengalaman di ranah seni tari kontemporer, yaitu Arco Renz (Belgia), Fathurrahman bin Said (Singapura), Hartati, dan Eko Supriyanto (Indonesia), 31 seniman tari ini menjalani proses diskusi ketat untuk mendalami ide-ide yang mereka bawa.
“Terjadi dialog-dialog kritis untuk membedah gagasan seni koreografer. Dengan beragamnya latar belakang mereka, ada saja ide untuk menampilkan cerita-cerita tradisi dari daerahnya masing-masing. Persoalannya, ketika itu dibawa ke kancah internasional, bagaimana tradisi lokal tersebut bisa dimengerti orang luar yang tidak tahu cerita itu?” ujar Eko Supriyanto.
Proses pendalaman yang dikatakan Eko inilah yang akhirnya membuat tim SKDC menolak menyebut acara Selasa malam itu sebagai pertunjukan. Bagi para mentor, sembilan hari bukan waktu yang ideal untuk mengonsep sebuah pertunjukan dan menampilkannya.
“Kami cuma punya sembilan hari, itu pun penari-penarinya baru datang di hari keempat. Sedangkan, untuk sebuah pertunjukan yang biasa kami buat saja, biasanya makan waktu dua tahun,” kata Hartati.
Itu pula sebab Pemimpin Produksi Keni Soeriaatmadja cenderung menyebut acara tersebut presentasi working progress SKDC. “Yang namanya penari, mau jalan berapa meter saja sudah mikir. Gerakannya mau bagaimana, tubuhnya seperti apa. Bayangkan, orang-orang ini berkumpul membawa bahasa tubuh yang berbeda satu sama lain,” ujar Keni.
Dengan komposisi penari yang demikian, tak serta-merta Dance City Density! menjadi ajang modifikasi tari tradisional atau tari kontemporer yang berangkat dari cerita tradisional. Selain Gelombang, lima karya lain tidak mengangkat isu lokal secara spesifik. Yang terlihat malam itu, setiap penari dan koreografer yang terbagi dalam enam kelompok, mempertontonkan gerakan-gerakan tubuh sehari-hari. Kalaupun ada cerita tradisi yang melatari salah satu tarian, hal itu tidak lantas membuat penonton gagap untuk membaca maksud dari tarian yang sedang berlangsung. Sebab, memang bukan unsur tradisionalnya yang dikedepankan.
Dalam konteks tersebut, Dance City Density! sudah menyajikan upaya yang bisa diapresiasi. Apalagi, kesadaran ihwal seni kontemporer yang tak lagi terikat pada konsepsi-konsepsi tunggal tentang jenis seni, dioptimalkan betul-betul. Salah satunya adalah Gelombang yang merespons arsitektur parametrik karya Rubi ROesli berupa benang-benang nilon yang dibentuk menjadi bidang yang tersebar di area rumput menghadap patung ikan raksasa. Meski berlatar, kisah kehidupan nelayan di Kepulauan Natuna, penonton tetap bisa terpukau dengan permainan gerak, musik, sekaligus tata lampu yang berpadu.
Razan Mohammad, penari asal Jakarta yang menjadi penari termuda di SKDC tahun ini (lahir 1998), menilai kesan yang sama juga berlaku untuk para penari. “Meski pun berbeda-beda dari sisi daerah penari, tapi koreografinya menstimulasi penari untuk bisa memahami tariannya,” ujar Razan.
*Ulasan lengkap tentang Dance City Density! bisa dibaca di majalah Sarasvati edisi September 2016