Seno Joko Suyono, Mudji Sutrisno, Triawan Munaf, dan Yoke Darmawan dalam jumpa pers BWCF 2016. (Foto: Rizaldy Yusuf)

Salah satu hal yang paling tenar dari Serat Centhini adalah unsur erotisisme. Dalam beberapa bagian karya kesusastraan Jawa ini, seksualitas kerap muncul.

Borobudur Writers & Cultural Festival (BWCF) 2016 mengambil persoalan tersebut untuk penyelenggaraan kelimanya, 5-8 Oktober 2016, di The Heritage Convention Center, di Hotel Plataran Borobudur, Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Ngablak, Gunung Andong Magelang, Hotel Atria Magelang, SMA Seminari Mertoyudan Magelang, dan di Pendopo Ndalem Ageng Pesanggrahan Hotel Royal Ambarrukmo Yogyakarta.

Dalam berbagai forum diskusi yang akan dilaksanakan, para tokoh yang telah lama meneliti Serat Centhini diundang untuk membicarakan topik “Setelah 200 Tahun Serat Centhini: Erotisisme dan Religiositas”.

Timbul Haryono, Manu W. Padmadipura Wangsawikrama, Karsono W.Saputro, Kartika Setyawati, Agus Wahyudi, KH.Agus Sunyoto, Halilintar Lathief, Muhlis Hadwari, Dwi Cahyono, Elizabeth D.Inandiak, Gadis Arivia, Katrin Bandel, Dinar Rahayu, Robert Sibarani, hingga Garin Nugroho akan menyampaikan pidato kebudayaan terkait hal tersebut.

Pada jumpa pers yang berlangsung di Decanter Plaza Kuningan, Jakarta, Kamis, 22 September 2015, Seno Joko Suyono mengatakan bahwa fokus terhadap khazanah sastra lokal seperti inilah yang menjadikan BWCF berbeda dari festival kepenulisan lainnya.

“Para ahli filologi, arkeologi, atau novelis ini tidak mendapat tempat di festival sastra yang lain. Karena itu, BWCF ingin memberi tempat untuk hasil-hasil penelitian yang mereka lakukan,” ujarnya.

Memang penelitian yang dilakukan, misalnya, oleh Timbul Haryono tentang kuliner yang ada dalam Serat Centhini, Manu W. Padmadipura Wangsawikrama yang menelusuri lokasi-lokasi di Jawa Timur yang termaktub di kitab tersebut, atau masalah keberadaan Bissu (pendeta waria dalam suku Bugis) yang didalami Halilintar Lathief bukanlah penelitian yang populer, bahkan cenderung eksklusif. Ini merupakan pilihan yang diambil penyelenggara.

Risikonya, demi selarasnya misi pendidikan yang diusung, penyelenggara pun terpaksa menyeleksi calon-calon peserta yang mendaftar.

“Kami membuka pendaftaran online gratis, tapi dengan sangat menyesal, kami harus membatasi hanya 200 peserta. Tempat kami terbatas, dan kami memilih melakukan seleksi agar bisa mendapat orang-orang yang berminat sepenuh hati dan bisa menggunakan pengetahuan yang didapat untuk hal yang berguna bagi masyarakatnya. Kalau hanya iseng kami tidak pilih,” ujar Yoke Darmawan, Direktur Festival.

Selain diskusi tentang aspek-aspek seksualitas dan religiositas dalam Serat Centhini, pembahasan juga akan mengupas isu yang sama dalam kitab-kitab tradisional lain, contohnya I La Galigo, kitab-kitab Batak, dan sastra Padang. Di hari terakhir, satu diskusi diberikan untuk menekuni erotisisme yang ada pada karya sastra kontemporer.

Tema besar erotisisme dan religiositas juga diterapkan dalam program nondiskusi, contohnya pameran seni rupa yang diikuti sekitar 20 seniman. Komposisi yang dipakai lintas generasi. Dari kelas sesenior Sunaryo dan Srihadi sampai perupa muda macam Edi Susanto. Para perupa akan mengangkat persoalan tentang tubuh dan erotisme dalam pameran yang dikuratori Mudji Sutrisno ini.

Selain itu, forum ini juga akan membincangkan untuk pertama kalinya wacana pendirian asosiasi penulis profesional Indonesia. Dalam BWCF 2016, 50 orang penulis dan BEKRAF mencari kemungkinan untuk membuat sebuah organisasi yang bisa mengurus hajat hidup penulis seperti yang ada pada profesi lainnya.

Satu hal yang masih sama dari penyelenggaran sebelumnya adalah keberadaan penghargaan Sang Hyang Kamahayanikan. Tahun ini, penghargaan tersebut diberikan kepada dua orang yang dianggap berjasa menghidupkan dan merawat kebudayaan Indonesia, yaitu Kartono Kamajaya sebagai orang pertama yang menerjemahkan Serat Chentini dari aksara Jawa ke aksara latin, dan Halilintar Lathief yang sejak tahun 1980-an menjaga Bissu dari kepunahan.