Patrick Wowor, "Bab I", 140 x 140 cm, 2013
Seorang pengnjung tengah memperhatikan karya lukis Patrick Wowor yang dipamerkan di pameran tunggalnya bertema Underexposed di Galeri 3, Taman Ismail Marzuki - Jakarta.
Seorang pengunjung tengah memperhatikan karya lukis Patrick Wowor yang dipamerkan di pameran tunggalnya bertema Underexposed di Galeri 3, Taman Ismail Marzuki – Jakarta.

Patrick Wowor jauh dari pretensi untuk mengekalkan sosok-sosok popular yang dilukisnya. Ia justru melukiskan “kegelapan” nasib yang dialami figur-figur tersebut.

Memasuki ruangan Galeri 3 Taman Ismail Marzuki, ada yang terasa beda. Kanvas-kanvas ukuran 140×140 cm dipajang berderet di lantai bawah maupun lantai atas. Lukisan-lukisan itu berisi figur-figur orang terkenal. Atau paling tidak mereka dikenal publik sekalipun riwayat hidupnya tidak enak.

Patrick Wowor,
Patrick Wowor, “Bab I”, 140 x 140 cm, 2013

Orang akan mudah menebak wajah-wajah yang banyak menghiasi majalah, terutama mereka yang perhatian pada pergerakan menjelang berakhirnya Orde Baru.  Atau, wajah-wajah yang tidak asing lagi dalam perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia.

Wajah-wajah itu muncul dalam bidang kanvas bukan dalam bentuk potret diri yang manis sedap dipandang mata. Wajah-wajah itu muncul dalam bentuk yang dalam banyak hal menyedihkan.

Contohnya lukisan penyair sekaligus anggota Partai Republik Demokrat Widji Tukul yang muncul dalam keadaan separo dalam lumuran warna cat putih. Ini seperti mengingatkan pada wajah Widji Tukul setelah dipukuli aparat.

Satu matanya diperban, sementara gigi tonggosnya menonjol keluar. Ada yang sengaja ditekankan dalam penggambaran ini. Penderitaan dalam diri Widji Tukul diekspesikan lebih verbal dalam sapuan kuas yang besar dan terkesan asal. Cara ini menjauhkan pada keindahan sebagaimana orang kebanyakan inginkan ketika menatap figur baik dalam lukisan maupun dalam foto.

Patrick Wowor
Patrick Wowor

Patrick Wowor melukis dengan caranya sendiri. Ia memang tidak jauh dari kecenderungan untuk melukiskan wajah-wajah orang ternama dan mendapat tempat di hati publik. Tapi ia tidak dengan cara menetapkannya sebagai “berhala” massa sebagaimana dalam lukisan tentang Marlyn Monroe atau Madonna.

Patrick Wowor jauh dari pretensi untuk mengekalkan ikon pop dalam budaya populer itu. Ia ingin merasuk kepada kedalaman mengenai pengalaman penderitaan itu.

Ini kenapa tajuk Underexposed digunakan dalam pameran yang berlangsung 19-30 September 2013.  Underexposed berasal dari istilah fotografi yang berarti foto yang dihasilkan kurang cahaya atau cenderung gelap. Patrick menggunakan istilah underexposed dalam lukisannya sebagai sebuah strategi.

Lukisannya bukan sebuah lukisan figur yang jelas dalam pengertian kehadirannya di kanvas. Figur-figur itu tidak tegas, tetapi juga tidak hilang seluruhnya. Ia hadir, tetapi tidak hadir dengan keseluruhannya.

Strategi underexposed ini juga menjadi pilihan dari Patrick Wowor untuk menetapkan siapa saja yang menghiasi lukisannya. Selain Widji Tukul ada tokoh lain yang baginya unik dalam sejarah seperti Wikana. Ia adalah tokoh penculikan Soekarno dan Hatta menjelang diproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia. Kemudian ia menjadi anggota MPRS dan sempat menjadi menteri pemuda setelah kemerdekaan.

Namun, Wikana hilang setelah peristiwa 1965. Inilah yang menjadi perhatian pada diri Patrick Wowor. Tokoh ini hilang tidak sendirian pada tahun penuh prahara itu. Wikana adalah salah satu contoh mereka yang hilang dalam prahara tersebut dan Patrick Wowor mengajak penikmat karyanya untuk tidak lupa akan hal itu.

Sejarah begitu pekat, apalagi ketika sejarah itu hanya muncul di dalam tulisan. Terasa abstrak di dalam kepala. Maka lukisan mengenai Henk Sneevliet adalah upayanya untuk menjabarkan dalam bentuk rupa siapa tokoh yang jarang disebut dalam sejarah Indonesia. Padahal tokoh Sneevliet inilah yang membawa ide komunisme di tanah Nusantara pada 1913.

Patrick Wowor, 'Deadline', 140 x 140 cm, 2013
Patrick Wowor, ‘Deadline’, 140 x 140 cm, 2013

Henk hanya dikenang dalam sebaris kalimat pada buku sejarah yang diajarkan kepada siswa-siswa sekolah: orang pertama yang membawa komunisme ke Indonesia. Setelah itu tak ada lagi penjelasan. Tak ada lagi informasi yang bisa melengkapi informasi keberadaan dan hidupnya.

Sebagai tokoh sejarah yang pernah pula berperan di dalam pendirian Partai Komunis Tiongkok dan berjuang melawan rezim fasis Nazi, Sneevliet tak mendapatkan tempat di sini. Dan Patrick Wowor seratus tahun kemudian memberi ruang yang pantas di kanvasnya.

Tak lupa Patrick mengabadikan tokoh sentral berdirinya bangsa Indonesia: Soekarno. Sekalipun tokoh besar ini dicatat sejarah semenjak awal mula langkah pegerakannya, namun akhir hidupnya tragis. Ia hilang dalam pecaturan sejarah dan mengundurkan/diundurkan dari pentas politk yang digelutinya semenjak remaja. Ada ironi yang tak tertanggungkan dalam lukisan Soekarno di kanvas ukuran 140x140cm.

Patrick dalam 18 karyanya tidak benar-benar ingin mewujudkan konsep underexposed secara konsisten. Buktinya? Ia tidak segan melukis kawan atau sahabatnya. Kita sendiri tidak tahu seperti apa kawan atau sahabat Patrick. Hanya saja dengan underexposed kita masih bisa meraba ke mana arah karya Patrick ini.