José Guadalupe Posada baru berumur 19 tahun saat dirinya menjadi kartunis yang banyak membuat sindiran politis di koran lokal Aguascalientes, El Jicote. Kemahiran yang ia butuhkan untuk profesinya sudah ditabung dari kecil; menggambar, litografi, engraving, serta sifat suka cari gara-gara dengan penguasa.
El Jicote sendiri akhirnya cuma bertahan sampai sebelas edisi. Salah seorang penguasa daerah setempat yang sering dijadikan sandsack oleh kartun-kartun di koran tersebut membuat perusahaan tutup dan Posada pun pindah ke kota Léon.
Di Léon, Posada membangun kariernya sebagai pegrafis. Di samping tetap membuat karya-karya politis, ia menggarap pelbagai proyek komersial, mulai dari ilustrasi buku hingga iklan. Yang paling terkenal dari karyanya barangkali adalah sosok tengkorak bertopi besar dengan hiasan bunga-bunga di atasnya.
Ini bentuk sindiran simbolisnya atas masyarakat Meksiko yang ia nilai mulai bergaya keeropa-eropaan. Kemudian, pada 1947, pelukis sekaligus muralis kesohor Meksiko, Diego Rivera, memberi nama yang cantik untuk tengkorak Posada: Catrina.
Sampai sekarang, The Calavera Catrina tidak pernah lepas dari benak orang-orang Meksiko. Ia menjadi bagian perayaan budaya Day of the Dead, budaya turun-temurun sejak zaman pra-Columbus yang digelar pada dua hari pertama bulan November.
Kedutaan Besar Meksiko membawa perayaan tersebut ke Dia.lo.gue Artspace, Kemang, Jakarta, 1 November 2016. Demi pesta kecil yang meriah, interior kafe disulap. Orang-orang berdandan seram.
Ofrenda, poin terpenting perayaan, berupa altar pemanggil arwah penuh makanan dan bunga marigold, dipajang di bagian tengah kafe. Roti manis Pan de muerto yang berhias tulang dari adonan tepung, jadi sajian. Catrina si tengkorak juga tak ketinggalan.
Di samping perayaan Day of the Dead, 37 karya engraving Posada turut dipamerkan dalam pigura-pigura hitam berukuran kecil, 2-5 November 2016. Karya-karyanya memang mini, tidak sampai 20cm.
Seluruh yang dipamerkan merupakan hasil cetak ulang karya-karya Posada, yang lantas dibagi menjadi lima kategori: Death in battle (menampilkan gambar-gambar situasi perang selama Revolusi Meksiko), The everyday cadaverous world (terdiri dari gambar tengkorak-tengkorak yang melakukan aktivitas manusia). Under the advice of the devil (meliputi gambar-gambar tindakan kriminal yang terjadi atas pengaruh iblis).
Tema lainnya adalah Magical, fantastic, and phenomenal beings (berupa ilustrasi kejadian-kejadian aneh yang menimpa tubuh manusia atau hewan, yang sering ditemukannya di berita-berita), dan The nature and mortal accidents of modernity (menggambarkan peristiwa bencana alam dan kejadian-kejadian tragis berkaitan dengan perkembangan peradaban di awal abad kedua puluh).
Dari kelimanya, dapat diambil satu benang merah, yakni sinisme Posada atas kondisi masyarakat Meksiko di bawah rezim Porifio Díaz yang berkuasa 3,5 dekade. Pembangunan yang digagas Díaz memang menanam tiang pembatas terang-terangan; yang kaya di satu sisi, yang miskin di yang lain.
Karena itulah Posada mendandani tengkoraknya agar selalu kelihatan parlente untuk mengolok-olok hacendados – para pemilik lahan luas berisi rumah dan perkebunan. Sementara di karya yang lain, iblis-iblis ia pilih guna menggambarkan tekanan hidup para campesinos – petani dan orang-orang miskin yang tinggal di kampung.
Karya-karyanya bisa hadir serupa laporan kejadian (seperti yang tampak pada Two executed by firing squad, Four-feeted phenomenon, atau The falldown of the gates), bisa juga hasil pengendapan yang diungkap melalui visual yang metaforis (Son who kills his parents).
Jumlah 37 tentu terbilang sedikit mengingat betapa produktifnya Posada selama 61 tahun masa hidupnya. Namun, lewat pameran “La Muerte Tiene Permiso” ini, kita bisa memperoleh secuplik pandangan Posada terhadap sekitarnya yang melatarbelakangi penciptaan karya-karyanya sampai ia wafat dalam kondisi miskin pada 1913.
Kemudian dunia bergerak. Perang dilanjutkan perang lain. Konflik dilanjutkan konflik lain. Protes bersambung dengan protes lain. Di dalam yang bergerak itu, Posada ada sebagai pengaruh bagi beberapa seniman Meksiko selanjutnya, termasuk Diego Rivera yang namanya lebih dikenal di Indonesia.