Sekian abad lalu, kawasan pesisir Tuban menjadi pusat persilangan budaya. Sayangnya, peleburan budaya secara perlahan meruntuhkan semangat ‘kepesisiran’ para senimannya. Tak ada lagi yang tersisa.
Seorang pria dengan perut buncit, duduk di atas sebongkah batu. Lucunya, pria tanpa nama itu menggunakan atasan super ketat mirip kostum superhero Spiderman dipadupadankan dengan kain sarung.
Pria itu tak lain adalah karya seniman asal Yogyakarta – Dunadi – berjudul “East and West”. Karya tersebut dipajang di depan gedung Budaya Loka, Jl. Basuki Rakhmat (depan Resort Tuban Tropis), Tuban, Jawa Timur, tempat berlangsungnya pameran ‘Gelar Seni Budaya Pesisir 2013’.
Pameran yang berlangsung pada 6-11 November 2013 ini merupakan bagian dari rangkaian peringatan Hari Jadi Kabupaten Tuban ke-722. Sebanyak 60 karya seniman dari kawasan pesisir utara Jawa antara lain kota Cirebon, Tegal, Pemalang, Semarang, Jepara, Lasem, Gresik dan Surabaya, ditampilkan dalam pameran tersebut.
Parhelatan akbar seni rupa seperti ini, cukup jarang digelar di kawasan pesisir. Menurut Kuss Indarto – kurator dalam pameran tersebut – acara serupa terakhir kali digelar pada tahun 2011. Namun, lebih didominasi oleh pertunjukan seni seperti tari dan teater. Kali ini, acara gelar seni rupa pesisir yang mengangkat tajuk ‘Tunggal Dalam Plural’, juga menampilkan bebagai karya seni rupa karya seniman-seniman pesirir dalam bentuk lukisan, patung, dan mural.
Tema tersebut dipilih untuk menunjukkan meskipun para seniman itu berasal dari kota-kota yang berbeda namun identitas mereka satu, yakni seniman pesisir. “Melalui pameran ini, kita bisa mengungkap sejauh mana perkembangan seni rupa di kota-kota pesisir utara Jawa, khususnya perkembangan para seniman-senimannya yang selama ini seakan-akan absen berkarya,”kata Kuss kepada Sarasvati.
Pameran ini juga diharapkan bisa menjadi wadah bagi para seniman wilayah pesisir untuk menyampaikan apresiasinya. Seperti yang disampaikan Kuss, beberapa tahun belakangan seniman-seniman pesisir tak lagi mendapatkan tempat khusus dalam perkembangan seni rupa Indonesia. Hal itu terlihat dari ketiadaan mereka dalam sejumlah forum penting seni rupa Indonesia.
Penyebabnya, antara lain meleburnya identitas para seniman pesisir sehingga tak lagi menunjukkan semangat kepesisiran di setiap karya-karyanya. Peleburan itu bisa terjadi akibat masuknya teknologi ataupun perkembangan sosial ekonomi di kawasan pesisir.
“Banyak seniman pesisir yang mencoba untuk dinamis dan mengembangkan dirinya berusaha setara dengan para seniman di kota-kota lainnya. Tapi, sayangnya proses tersebut menghilangkan semangat dan jiwa kepesisirannya. Akhirnya batasannya pun semakin pudar,”kata Kuss.
Tidak ada seleksi khusus dalam pemilihan seniman yang terlibat dalam pameran ini. Kuss hanya mengandalkan memorinya saat melakukan penelitian seputar kehidupan seni rupa di kawasan pesisir beberapa tahun lalu. Satu-satunya kriteria adalah si seniman “lahir, dibesarkan, atau pernah berproses di kawasan pesisir”, demikian disampaikan Kuss. Dengan harapan, masih ada semangat kepesisiran yang bisa digali di dalam karya-karyanya.
Dalam proses kurasi, Kuss membebaskan para seniman untuk berkarya sesuai dengan cara pandangnya masing-masing terutama tentang identitas mereka sebagai seniman pesisir. Dari 60 karya yang ditampilkan menurutnya identitas ‘kepesisiran’ sebagian besar masih menggunakan objek-objek khas pesisir seperti pantai, kapal nelayan, ataupun kehidupan saat melaut, sebagai tema karya. Diantaranya juga ada yang menggunakan tema batik meski ditampilkan dalam medium yang berbeda seperti topeng ataupun mural.
“Batik memang menjadi produk unggulan kebudayaan pesisir, dan ini tampak masih menjadi identitas penting bagi para seniman pesisir,”kata Kuss.
Terlepas dari kontroversi identitas para seniman pesisir yang mulai memudar, tampaknya pameran ini berhasil memuaskan rasa haus masyarakat pesisir akan karya-karya khas mereka sendiri. Terbukti dari ramainya jumlah pengunjung yang datang untuk menyaksikan karya-karya yang dipamerkan sejak awal dibuka. Pameran ini juga menjadi harapan baru bagi para seniman pesisir agar namanya mulai dikenal di negerinya sendiri.
Nah, ini dia nama-nama seniman yang turut serta:
Agus Baqul | Dukan Wahyudi | Isa Anshory | Lulus Santoso | Susilotomo |
Ahmad Sobirin | Dunadi | Ivan Hariyanto | Maslihar Panjul | Suwandi Waeng |
Amin Syahlevi | Ekwan Marianto | Jafin | Mulyo Gunarso | Taufik Ruman |
Andi Miswandi | Fadjar Djunaidi | Januri | M. Sinni | Tri Bakdo |
Andri Suhelmi Soeid | Fadjar Sutardi | Jati Wegig | M. Yunus | Tri Hendro Handoyo |
Ariyanto | Gusbandi Harioto | Joko “Gundul” Sulistyono | Najib Amrullah | Tunarno |
Arifin Londo | Hadi Waluyo | Jonathan | Nurhidayat | Watoni Soeid |
Awi Ibanesta | Hasan Conang | Jumartono | Oetje Lammo | Yaksa Agus |
Bambang Pramudyanto | Heri Tjo | Karyono | Putut Widodo | Zainul Abidin |
Bayu Street Art | Herry Panjang | Koeboe Sarawan | Robi Fathoni | Zhirenk |
Choerudin | Indarto Agung Sukmono | Kokoh Nugroho | Saiful | |
Djoeari Soebardja | Ira Sulistyowati | Kris Dologh | Soneo Santoso |