Bagaimana seniman Banten memandang provinsinya? Adakah mereka membicarakan tentang ‘dinasti’ politik sang Ratu Atut atau berbagai ‘budaya’ mistisnya?
Sebanyak 54 seniman Banten berkumpul di Galeri Nasional Indonesia (GNI), Selasa (22 Oktober 2013) lalu. Bersama mereka menampilkan karya lukis, fotografi, patung, dan instalasi dalam sebuah pameran bertajuk “Ieu Kula: Mata Batin Banten”. Melalui pameran tersebut para seniman berupaya mendobrak stigma bahwa seni rupa Banten tak pernah ada.
“Pameran ini setidaknya melegakan nafas para seniman karena pada akhirnya dunia bisa melihat kehadiran mereka yang selama ini seakan-akan tertidur,”kata Ketua Lembaga Pengembangan Seni rupa Banten – Gebar Sasmita, di malam pembukaan pameran yang berlangsung hingga 4 November 2013.
Dalam bahasa Sunda Banten, Ieu Kula berarti ‘Ini Aku’. Dipilih untuk menggambarkan keinginan para seniman Banten untuk menyatakan keberadaan dunia seni rupa Banten yang selama ini tak pernah tersuarakan. “Kami (seniman Banten) ada! Dan selalu bergerak berupaya mensejajarkan diri dengan perkembangan seni rupa di daerah lain yang sudah jauh lebih maju,”kata Gebar dengan menggebu.
Identitas berkesenian Banten, kata kurator Kuss Indarto, kerap diperbincangkan karena kealpaan para senimannya dalam menunjukkan dirinya di pentas seni rupa Indonesia. Hanya nama dua seniman bersaudara – Agus Djaja dan Otto Djaja – yang pernah meramaikan perbincangan seni rupa Indonesia meski itupun tak berumur lama.
Dalam pameran ini, para seniman memilih untuk membicarakan identitas tersebut. Diantaranya dengan melukiskan perjuangan masyarakat Banten melawan penjajahan Belanda, kehidupan masyarakat Baduy yang terus berjuang melawan terjangan moderinitas, hingga perkembangan industri yang telah menyesakkan nafas.
Dalam karya A. Muhsoni berjudul Menikmati Perjalanan (2013), misalnya. Ia menampilkan empat remaja pria baduy dalam sebuah perjalanan menuju kota. Hal yang menarik adalah keempat remaja itu bukannya berjalan kaki seperti halnya budaya Baduy yang dikenal luas. Mereka justru terlihat duduk tenang didalam sebuah angkutan umum kota.
Lukisan ini seakan-akan menunjukkan kegelisahan Muhsoni saat melihat betapa gencarnya kehidupan modern mencoba ‘merangkul’ masyarakat adat Baduy atas nama kemanusiaan, namun justru mengancam akar kebudayaan mereka. Tema yang sama juga ditemukan pada karya dedi Haryadi Said (Akar dan Budaya); Caca Chandra Rosselinni (Dua Laki-laki Baduy); Azis Winasis (Kula Budak Baduy); Sudrajat (Rawayan Berpesta); dan karya Tato Kastareja (Bagian Idealek Banten).
Berbeda dengan karya Tubagus Pantoni berjudul Evolusi (2013) yang mengangkat isu perkembangan industri di provinsi Banten. Menggambarkan empat wanita yang tengah hamil tua duduk sembari menggunakan masker oksigen ditengah-tengah padang industri yang menghancurkan hutan-hutan disekitarnya, Tubagus sepertinya ingin menggambarkan keresahan masyarakat Banten pada aktivitas industri yang terus merongrong hutan mereka.
Gambaran menarik juga dilukiskan Sujiyanto dalam karyanya berjudul Negeri Pelangi, yang menampilkan sosok-sosok buruh yang terkurung dalam rutinitas mereka bekerja di sebuah industry. Sementara itu, karya Uci Sanoesi (The Stadt Bantam 1670) dan Leonardo SK (Sultan Ageng Tirtayasa), menampilkan kisah perjuangan masyarakat Banten dalam perjuangan melawan penjajahan Belanda.
Namun karya patung Gebar Sasmita berjudul Sang Maestro dan Topeng-Topeng (2013), yang berhasil menarik perhatian banyak pengunjung. Pasalnya sosok yang ia pilih menjadi model tak lain adalah gurunya sendiri – maestro Hendra Gunawan. Patung tersebut bahkan hadir dengan detail, bentukan, dan warna yang tak jauh berbeda dengan karya-karya Hendra Gunawan sendiri.
Menanti Dukungan
Sepeninggal Agus Djaya dan Otto Djaya, kehidupan seni rupa Banten terkesan mati suri. Meski sejumlah seniman terus beraktivitas membuat karya seni, namun gaungnya tak pernah terdengar. Alhasil, perkembangan seni rupa banten sepi gagasan dan pemikiran.
Banten bukannya miskin komunitas seni. Sebelumnya pernah tercatat sejumlah komunitas antara lain kelompok PSB (Persatuan Seniman Banten), Sanggar Embun, Sanggar Krakatau Art “Painting Fundamental”, Sanggar Ki Mas Djong, dan Komunitas Bunga Rumput di Pandeglang. Sayangnya, banyak diantaranya yang kini mati.
Ketiadaan sarana pendukung kegiatan seni seperti galeri ataupun museum membuat kegiatan seni rupa semakin tenggelam. Hal ini sangat memprihatinkan mengingat posisi Banten yang tak jauh dari Bandung dan Jakarta. Walikota Banten Rano Karno dalam sambutan pembukaannya secara nyata menunjukkan rasa keheranannya.
“Baru kali ini saya menemukan sebuah kota yang sama sekali tidak memiliki fasilitas pendukung kegiatan seni seperti museum,”ujar Rano Karno disambut sorak para seniman. Ia pun berjanji di masa pemerintahannya kini, para seniman Banten akan mendapatkan tempatnya sendiri. Tempat yang mampu mendukung berbagai kegiatan seni rupa dan kebudayaan, yang diharapkan bisa menempatkan sebuah identitas baru seniman Banten di seni rupa Indonesia.