Bermain Wacana dalam Medium@Play

0
3330
gajah gallery, medium@play
Arrahmaiani Feisal, BURNING COUNTRY, matchsticks and fabric 1999-2018. (Foto: Silvia Galikano)

Pada pameran MEDIUM@PLAY, seniman secara dalam mengeksplor medium yang mereka gunakan guna menemukan praktik-praktik historis dan membuka makna medium tersebut. Pameran yang melibatkan seni visual dan performance ini berlangsung dari 5 Mei – 30 Juni 2018, dikurasi Wulan Dirgantoro dan Jason Lim. Sederet seniman mapan dan pendatang baru pun dihadirkan.

Medium  sudah lama menjadi perdebatan menarik di ranah seni kontemporer. Selama ini, medium atau objek  selalu dinarasikan ke dalam dualismenya terhadap subjek. Objek selalu diam, tidak memiliki arti, sedangkan subjek adalah yang bertindak.

Kewenangan objek untuk memiliki kemampuan, atau bahkan otonominya sendiri (ontologi), menimbulkan persoalan terbaru, apa artinya memberi agency kepada medium, untuk mengikutinya atukah bertindak dengannya?

Lambat laun, narasi mulai dibongkar. Objek pun dianggap memiliki agency atau kemampuan untuk mengubah sesuatu sebagai halnya manusia. Dari sanalah “Medium@Play”, pameran yang melibatkan seni visual dan performance, digelar.

Baca juga Membuat Yogyakarta Menjadi Kota Festival

“Medium@Play” yang dikurasi Wulan Dirgantoro dan Jason Lim berlangsung dari 5 Mei—30 Juni 2018 di Gajah Gallery, Yogyakarta. Pameran ini masih dalam rangkaian Jogja Art Weeks sepanjang April hingga Juni 2018.

Sederet seniman mapan dan pendatang baru terlibat dalam pameran ini, yakni Arahmaiani Feisal, Ayu Arista Murti, Fika Ria Santika, Loli Rusman, I Gak Murniasih, Octora Chan, Tisa Granicia, XXLab, perfomace art dari Luna Dian Setya, Retno Sayekti Lawu Ratu Saraswati, dan Tamara Pertamina.

Permainan medium dan intervensi wacana secara apik ditampilkan melalui karya-karya Arahmaiani-Burning Country, I Gak Murniasih-My Collection, dan Octora Chan-Tat Tvam Asi 2.

gajah gallery, medium@play
I Gak Murniasih, “My Collection”, 100×100 cm, acrylic on canvas, 2001. (Foto: Rafika Lifi)

Arahmaiani dikenal sebagai seniman aktivis dan bagian dari gerakan budaya awal abad ke-20. Karya-karya radikal, penting, dan erat dengan isu-isu gender, terutama di era Orde Baru. Karyanya, Burning Country, merupakan bagian dari seri instalasi Burning Body-Burning Country yang pernah dipamerkan di Manila, Filipina pada 1999.

Instalasi ini menggunakan media tumpukan batang korek api kayu yang membentuk peta Indonesia, sementara di atasnya digantung kebaya encim putih dan rok putih panjang.

Sebagaimana karya-karyanya yang lain, Burning Country menyuguhkan cerita dan wacana persoalan perempuan, utamanya perempuan di dalam kerusuhan Mei 1998. Batang korek api yang esensinya mampu menyulut api, disusun membentuk peta Indonesia. Sedangkan kebaya encim dan rok panjang merepresentasikan perempuan.

Baca juga Porsi Besar Bagi Seniman Milenial di Bakaba #7

Dalam aksi performance Burning Bodies, Burning Countries di Kazakhstan pada 1998, Arahmaiani membakar Das Kapital-Karl Marx  dan Quran. Ia mengatakan bahwa dengan membakar teks-teks yang ada pada kedua buku tersebut dapat membebaskan teks dan membuatnya menjadi hidup sebagai roh (purifikasi).

Begitu pula dengan karya Burning Country, sang seniman ingin audiens membayangkan bilamana susunan batang korek api dibakar dan perempuan di tengah kobar api tentunya akan teringat kerusuhan Mei. Perempuan-perempuan etnis Tionghoa diperkosa dan dibakar hidup-hidup. Perempuan-perempuan tersebut niscaya akan hidup di dalam ingatan sejarah dan dibebaskan dari masyarakat yang meng-opresi mereka.

Sementara itu, para kurator tentunya melihat karya Arahmaiani memiliki koherensi dengan masa sekarang. Persoalan perempuan menjadi persoalan publik dan perempuan semakin direpresi dengan berbagai larangan yang menyertainya. Burning Country tidak hanya bermain dengan medium tapi juga esensi medium itu sendiri dalam menyampaikan suatu wacana.

gajah gallery, medium@play
Video performance’s projection “Tat Tvam Asi 2” karya Octora Chan. (Foto: Rafika Lifi)

Selanjutnya, My Collection karya I Gak Murniasih yang menampilkan gambar phallus laksana meriam. Lukisannya sederhana dan banal dengan warna-warna feminin yang mencolok, tapi ada kejujuran dan keberanian di dalamnya.

Murni tidak segan-segan memborbadir audiens dengan bentuk-bentuk yang dianggap tabu oleh masyarakat. Kejujuran pada lukisan-lukisan Murni dipengaruhi pengalaman seksualnya ketika masih muda. Ia pernah diperkosa, yang menjadikan pengalaman tersebut trauma tersendiri baginya.

Oleh karena itu, ia menelanjangi tubuh-tubuh yang tabu ke dalam lukisannya dan membongkar wacana patriarkis yang mapan.  Murni bermain dengan medium untuk menunjukkan relasi kuasa patriarki yang masih mengakar di masyarakat.

Baca juga Menteri Kebudayaan Singapura Kagumi Koleksi OHD Museum

Terakhir adalah proyeksi video performance Tat Tvam Asi 2 karya Octora Chan. Di dalam video, terlihat perempuan dengan dandanan sesuai dengan standar berpenampilan oleh laki-laki, dress dan sepatu heels, merantai lehernya dan membiarkannya ditatap oleh pengunjung galeri. Penggunaan medium tersebut adalah reprsentasi jerat patriarki atas tubuh perempuan sehingga membuat perempuan dipandang dari sudut pandang laki-laki.

Dari ketiga karya tersebut, dapat dilihat bagaimana pameran ini menunjukkan permainan medium bukan sebagai sekadar objek berkarya tapi juga sebagai media wacana sang seniman. Medium bukan lagi sebagai objek mati tapi dia mampu berbicara, memberi makna, dan mengganggu tatanan mapan tergantung bagaimana seniman memperlakukan medium tersebut. Bahasan tentang medium sebenarnya dapat memberikan wacana-wacana lain, tetapi tampaknya pameran ini hanya menawarkan satu wacana tunggal yakni pembongkaran dominasi patriarki yang selama ini membungkam perempuan.penutup_small