Diperuntukkan mereka yang berusia di bawah 33 tahun, penghargaan Young Artist Award menjadi salah satu upaya Art|Jog untuk tetap memperuntukkan event ini bagi seniman emerging.
Untuk pertama kalinya, acara art fair Art|Jog menyelenggarakan sebuah program baru yang khusus didedikasikan bagi para seniman muda yang memiliki kreativitas dan inovasi tinggi dalam berkarya – Young Artist Award. Hanya seniman-seniman berusia di bawah 33 tahun saja yang bisa ikut dalam pemilihan ini.
“Program ini dirancang guna mengapresiasi dan meyakinkan para seniman muda untuk segera melangkah dan berkiprah dalam dunia seni. Serta mulai menjajaki iklim kompetisi yang sehat,”kata Aminuddin T. Siregar, salah satu dari tiga juri – dua lainnya adalah Farah Wardani dan Hendro Wiyanto – tentang program baru ini. Menurutnya, bagi seorang seniman, usia di bawah 33 tahun adalah masa-masa genting terutama untuk menentukan jati diri dan arah perkembangannya sebagai seorang seniman muda.

Dalam pemilihan seniman yang akan meraih penghargaan Young Artist Award itu, tim juri menetapkan sejumlah kriteria. Pertama, ide kreatif seniman tentu harus relevan dengan bingkai kurasi Art|Jog|13 yang mengambil tajuk Maritime Culture. Kedua, ide, gagasan, ataupun konseptual yang ditawarkan seniman melalui karyanya kaya akan informasi dan mudah dipahami oleh pengunjung. “Nilai plus juga diberikan kepada seniman yang menawarkan hal baru melalui eksperimentasinya dan kekayaan eksplorasi medium artistik seniman. Terakhir, tentu saja presentasi akhir karya di ruang pameran tampil dengan menarik,”kata Aminuddin.
Tiga seniman yang terpilih adalah karya Hari Prasetyo berjudul Behinds Territory Lines (Conflict and Agreements), karya Michael Binuko Sri Herawan bertajuk Megaptera Novalevitae Series, dan karya Theresia Agustina Sitompul Noah’s Ark. “Tiga seniman yang terpilih memiliki seluruh kriteria yang menjadi pertimbangan tim juri,”kata Aminuddin.

Karya Hari Prasetyo, misalnya, bercerita tentang budaya maritim Indonesia dari sisi politik dan ekonomi. Ia masih berbicara tentang kekayaan laut Indonesia, namun karyanya minim wujud ikan apalagi kapal. Ia menggantinya dengan sebuah kaleng sarden yang digambarkan berpendar menyinari seluruh kawasan Indonesia – terinspirasi dari simbol ‘cahaya Asia’ yang diperkenalkan Jepang saat menjajah Indonesia.
“Negara-negara ‘sahabat’ seperti Jepang, terus mengeksploitasi dan mengekspansi kekayaan laut Indonesia. Nelayan-nelayan kita juga dibodoh-bodohi. Cerdiknya, hasil tangkapan itu dijual kembali ke Indonesia dalam beragam produk yang berbeda, salah satunya kaleng sarden itu,”ujar Hari kepada Sarasvati.
Lucunya, lanjut Hari, saat menyadari ada kekayaan alamnya yang diambil secara berlebihan masyarakat Indonesia berbondong-bondong menggelar aksi protes. “Tapi produk-produk olahan Jepang masih ditemui di market-market kita. Dan kita tidak bisa menolak,”keluh Hari.
Studi mendalam dan imajinasi yang tinggi juga terlihat jelas dari karya Michael Binuko. Menggabungkan struktur kerangka paus bongkok (Megaptera novaeangliae) dengan burung, Michael menghadirkan paus jenis baru yang dapat terbang. Uniknya, karya ini terinsipirasi dari kotornya perairan di utara Jakarta – pantai Ancol. Beragam jenis sampah hadir bagaikan perhiasan laut. Ikan-ikan tak lagi mudah ditemukan.
“Manusia sehari-harinya dikelilingi beragam jenis limbah. Tak terkecuali hewan-hewan. Sangat besar peluang kita mengalami mutasi ekstrim hanya untuk bertahan hidup di lingkungan yang ekstrim pula. Dari pemikiran itulah muncul paus imajiner itu,”katanya kepada Sarasvati.
Pendekatan yang tak jauh berbeda terlihat pada karya Theresia Agustina Sitompul. Terinsipirasi dari kisah Bahtera Nuh, Tere – begitu sapaan akrabnya – menghadirkan sebuah ‘bahtera’ yang lebih mirip kapal selam, dirangkai dari batang-batang alumunium. Melalui karyanya ini, ia mengajak para pengunjung untuk menengok kembali sisi humanis manusia yang mulai alpa pada risalah-risalah yang dimaktubkan dalam kitab-kitab Allah. Nafsu duniawi berhasil mengekang sisi spiritualitas dan religi seorang manusia sehingga lupa pada kodratnya sebagai pemimpin sekaligus penjaga bumi.
Pemberian penghargaan kepada para seniman muda ini menjadi highlight tersendiri bagi Art|Jog yang tahun ini menginjak tahun keenam. Mengangkat tema Maritime Culture, perhelatan yang bertempat di Taman Budaya Yogyakarta berlangsung dari 6-20 Juli 2013 ini menampilkan 158 karya seni – terdiri dari 58 lukisan, 28 karya instalasi, sembilan video, sembilan patung, dua karya seni kinetik, dan sebuah mural – karya 115 seniman Indonesia dan mancanegara.
“Tema kali ini merupakan kelanjutan dari tema Looking East – A Gaze of Indonesian Contemporary Art yang diusung setahun sebelumnya. Dipilih untuk mengingatkan kembali masyarakat pada identitas Indonesia sebenarnya yakni sebagai bangsa maritim,” kata Bambang ‘Toko’ Witjaksono, kurator Art|Jog|13 kepada Sarasvati.
Untuk menghadirkan suasana maritime di tengah hiruk pikuk kota Yogyakarta, tampilan muka gedung utama Taman Budaya Yogyakarta dipoles menjadi dinding kapal tangker raksasa. Dibutuhkan 360 drum minyak yang dipipihkan menjadi lempeng logam guna menutupi dinding depan gedung pameran seluas 14×24 meter. Meski tidak se-‘wow’ jalinan bambu karya Joko Avianto dalam pameran Art|Jog sebelumnya, wajah baru gedung utama Taman Budaya Yogyakarta berhasil menghadirkan nuansa ‘maritim’ di tengah kota Yogyakarta.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, para pengunjung juga dikejutkan dengan berbagai karya seni menarik di pintu masuk gedung utama pameran. Kali ini, Art|Jog|13 mengundang Iwan Effendi bersama Papermoon Puppet Theater menghadirkan sebuah karya instalasi berupa pertunjukan teater boneka di atas komidi putar berjudul Finding Lunang.
Ada tujuh boneka berukuran besar di atasnya, mewakili tujuh karakter yang terdiri dari petualang, pedagang, ahli agama, ahli gambar, juru masak, politisi/diplomat, dan ahli bahasa. Di bagian tengah komidi putar ada 14 boneka dan empat boneka lainnya di langit-langit. Satu boneka berwujud anak kecil terpampang tepat di tiang komidi putar, dialah Lunang.
“Karakter-karakter itu merepresentasikan budaya maritim yang merupakan sebuah perjalanan, perdagangan, dan petualangan,”kata Iwan kepada Sarasvati. “Lunang mempresentasikan budaya maritim kita yang masih muda dan jauh tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga”.
Lain lagi dengan Titarubi yang mengangkat sejarah budaya maritime Indonesia melalui sebiji buah pala berlapiskan emas berjudul the Golden Nutmeg. Seperti biasa, karya Titarubi kali ini pun didasari oleh riset mendalam tentang perkembangan perdagangan rempah-rempah di tanah air yang bergantung pada transportasi air – kapal dagang. Pala ia pilih sebagai simbol kisah penjajahan perusahaan dagang Belanda VOC, yang menjadikan harga buah pala lebih mahal ketimbang bongkahan emas.
“Budaya maritim Indonesia tumbuh seiring perdagangan rempah-rempah dari berbagai daerah. Namun, karena rempah-rempah itu pula VOC mematikan budaya maritim kita dengan membakar seluruh kapal-kapal dagang Indonesia,”kata Titarubi.
Menurut Aminuddin, tidak semua karya-karya yang tampil mendeskripsikan tema maritime dengan cara pandang baru dan berbeda. Meski demikian, acara Art|Jog|13 tetap berhasil menarik minat para pecinta seni. Di malam pembukaan saja halaman muka Taman Budaya Yogyakarta penuh sesak oleh para pengunjung. Sejumlah pecinta seni dan kolektor asal Malaysia, Singapura, Eropa, dan Amerika juga hadir dalam acara tersebut. Hal ini jelas mengindikasikan kesuksesan Art|Jog dalam mengakomodasi seniman-seniman muda Indonesia untuk tampil dihadapan para kolektor yang terbiasa memilih karya-karya seniman yang sudah mapan (established).
Heri Pemad selaku CEO Art|Jog mengabarkan sejumlah karya bahkan sudah laku terjual sehari sebelum pameran dibuka (preview). Ia mengaku sangat terkejut saat mengetahui justru karya-karya yang menurutnya sulit laku dijual, telah laku lebih dulu. Satu minggu setelah pembukaan, Bambang mengatakan separuh karya yang dipamerkan sudah laku terjual. Fakta tersebut tentu menggembirakan.
Sayangnya, tak semua karya seniman yang ikut serta dapat ditampilkan. Bambang menjelaskan, keterbatasan ruangan memaksa panitia untuk mengeliminasi sejumlah karya dari ruang pameran. “Karya-karya tersebut tetap dapat diakses oleh kolektor meski tidak ditampilkan di ruangan. Memang disayangkan, namun kendalanya ada pada luas ruangan yang terbatas,”ujarnya.
