Lewat ajang Bali Art Fair, Bali Art Society berupaya kembali menjadi salah satu poros seni rupa Indonesia.
Untuk membangkitkan potensi kreatif seni rupa di Bali, sejumlah perupa generasi muda di Bali berkumpul dan mendirikan sebuah komunitas bernama Bali Art Society (BAS) di Mas, Ubud, Bali pada 18 Januari 2013, yang diketuai oleh Helmi Haska, Ketua Komite Bali Art Society. Total terkumpul 200 anggota BAS yang terdiri dari berbagai lintas bidang seni rupa seperti perupa, fotografer, pemilik galeri, penulis, kurator, jurnalis, designer, arsitek, akademisi, mahasiswa, dan pecinta seni.
Sebagai program pertama, BAS mengadakan Bali Art Fair 2013 bertajuk Bali on the Move pada 20 September-20 Oktober 2013. Acara ini merupakan art fair pertama di Bali yang akan bertempat di Tonyraka Art Gallery, Maha Art Gallery, dan Danes Art Veranda. Diadakan pula diskusi seni rupa bertajuk ART MAKING: Membaca Potensi Seni Rupa Bali dalam Arus Contemporary Art, pada 30 September 2013 pukul 19.00 Wita, di Bentara Budaya Bali; dan Studio Visit ke studio para perupa di Bali 20 September-20 Oktober 2013 dan workshop bertema Mengembangkan Apresiasi Seni Rupa di Dunia Online di Sekretariat BAS, Taman Budaya (Art Centre) pada 12 Oktober 2013.
Sebagai komunitas yang bersifat mandiri, BAS menetapkan pengambilan komisi 50% dari setiap hasil penjualan. “Sebagai modal untuk menjalankan program secara berkesinambungan,” ujar Helmi Haska.
Menurut Helmi, Bali on the Move sebagai judul pameran dari Bali Art Fair 2013 dipilih untuk memaknai berbagai dinamika gerak perubahan yang terjadi di Bali terutama jika dikaitkan dari sisi perkembangan seni rupa kontemporer di Indonesia saat ini. Selain itu tema yang dipilih ini diharapkan bisa melawan pandangan umum orang yang hanya melihat Bali secara turistik.
Respon yang diharapkan ini muncul ketika pihak panitia menangkap adanya kegelisahan baru di kalangan anak muda yang tampak saat mereka memakai teknik tradisi, tetapi bahasa ungkap dan bahasa ucapnya kekinian. Selain untuk menangkap respon tersebut, pameran ini juga untuk melihat sejauh mana hasil perkembangan pelukis dari berbagai wilayah Bali.
Untuk target peserta pameran Bali Art Fair 2013, BAS menjaring berbagai kalangan perupa baik yang masih emerging maupun telah menjadi established artist, perseorangan maupun kelompok yang berdomisili di Bali, termasuk kalangan ekspatriat (seniman luar negeri yang tinggal di Bali). Promosi dan undangan untuk kegiatan pameran ini dilakukan BAS melalui media sosial dan menghubungi secara langsung setiap ketua kelompok seni rupa dari berbagai wilayah di Bali. Hasilnya, panitia menerima 200-an karya yang mendaftar yang diseleksi oleh Arif Bagus Prasetyo dan Wayan ‘Jengki’ Sunarta. Kebanyakan seniman mengirim karya lukisan dan sisanya adalah patung, fotografi, seni grafis, dan new media.
Seleksi karya pertama yang berlangsung di kediaman Made Wianta, yang terletak di Denpasar, Bali, pada 20 Agustus 2013. Pengkurasian juga turut melibatkan Made Wianta Chusin Setiadikara sebagai pembina BAS. Seleksi kedua dilakukan pada 26 Agustus 2013 masih di rumah Made Wianta yang akhirnya meloloskan 101 karya lukisan, 15 karya fotografi, dua karya new media (video art), tiga instalasi, dan 23 karya patung. Dari seleksi ini terkumpul karya-karya dari seniman emerging maupun established di antaranya Made Wianta, Nyoman Erawan, Peter Dittmar (Jerman), Jenny Ashby (Australia), Bambang Adi Pramono.
Karya-karya yang terpilih merepresentasikan kegelisahan perupa terhadap Bali dulu, kini, dan masa datang. Representasi ini bisa dilihat pada karya lukisan Kadek Mudana Yasa berjudul Obrol-Obrol Bali tentang Bali yang fleksibel namun memperlihatkan benturan Bali dari sisi modernisme dan tradisi. Sedangkan karya Made Gunawan berjudul Harmoni memiliki teknik yang detail dan matang dalam mengungkapkan metafora harmonisasi antara alam dan manusia. Pada media fotografi dan grafis, Komang ‘Totok’ Parwata lewat karya Penari Sepanjang Bayang dan Jenny Ashby dalam karya Ubud On The Move mengangkat Bali dari sisi kebudayaan dan kondisi geografis. Berbeda dengan Bambang Adi Pramono, melalui karya patung Hair Style Of Medusa tidak memperlihatkan tema yang berkaitan dengan Bali, namun karyanya terlihat memiliki teknik dan visual tiga dimensi yang menarik.
“Sekarang karya-karya lebih bersifat ke global, tapi unsur dekoratifnya lebih kuat dan sekarang modelnya perupa-perupa muda lebih pada kecenderungan digital, tapi itu lebih berhubungan pada teknis dibandingkan konsep yang dibangun,” tutur Made Wianta
Ratu Selvi Agnesia