Agugn, "Nircenggami", 81x91 cm, Linocut reduction print on handmade paper, 2013
Theo Frids Hutabarat,
Theo Frids Hutabarat, “The Death”, 200×150 cm, Oil on canvas, 2011

Konsep pameran yang unik dilakukan Chabib Duta Hapsoro. Ia meminta seniman-seniman yang berpameran bersama untuk saling mengomentari karya masing-masing secara berurutan.

Keresahan situasi proses kreatif seniman Bandung menjadi titik berangkat Chabib Duta Hapsoro selaku kurator. Ia beranjak dari situasi yang ia sebut “begini-begini saja” mengenai cuaca kreatif seniman Bandung.

Ia melihat grafik menyurutnya pameran, meredupnya diskusi antar seniman di Kota Bandung sebagai salah satu barometer seni rupa Indonesia. Seni rupa di Bandung semestinya melaju baik dalam arti jumlah pameran juga karya-karya rupa yang dihasilkannya.

Ia menggunakan pendekatan sosiolog Pierre Bordieu untuk menempatkan seni rupa Bandung sebagai sebuah medan seni rupa yang memiliki perspektif, cara berpikir, dan prinsip-prinsip kesenirupaan yang secara khas dianut agen-agennya. Kualitas yang melekat pada diri seniman merupakan disposisi yang diterima seniman sebagai agen-agen. Disposisi ini diperoleh melalui tradisi yang merupakan formulasi dari institusi pendidikan, kebiasaan, cara berpikir, dan pewacanaan yang dilangsungkan oleh para agennya dan dilakukan secara turun-temurun selama bertahun-tahun.

Berdasar gagasan tersebut selanjutnya Chabib menghidupkannya dengan adanya diskusi di antara seniman. Caranya dengan meminta seniman A dikomentari seniman B, lalu Seniman B dikomentari seniman C. Semuanya berlangsung secara berurutan. Cara ini memunculkan situasi kritis dalam menciptakan karya-karya yang dipamerkan di Lawangwangi Creative Space yang berlangsung 22 Oktober hingga 12 November 2013.

Adapun pameran di Lawangwangi yang berada di bawah tajuk besar Bandung Kontemporer ini diikuti 16 perupa muda. Mereka adalah Agugn, Ahmad Munir, Anis Annisa Maryam, Aulia Ibrahim Yeru, Kireina Windiah, Michael Binuka, Muhamad Zico Albaiquni, Mulyana The Mogus, Patriot Mukmin, Rega Ayundya, Tandya Rachmat, Theo Frids Hutabarat, Wastuwidyan Paramaputra, Windi Apriani, Yudi Triadi, dan Zaldy Armansyah.

Agugn,
Agugn, “Nircenggami”, 81×91 cm, Linocut reduction print on handmade paper, 2013

Hasil pameran berupa karya dengan berbagai dimensi dan menariknya ada keterangan yang merupakan komentar dari seniman lainnya. Pertama, komentar itu berguna bagi pengunjung, Kedua, komentar itu menjadi sarana refleksi bagi seniman yang dikomentari dan juga seniman yang mengomentari.

“Ini suatu langkah eksperimen kurasi saya untuk mengangkat berbagai preferensi seniman. Jika umumnya kurator mengarahkan seniman, dalam kurasi ini saya bebaskan seniman dan memberi ruang adanya diskusi di antara para seniman,” jelas Chabib Duta Hapsoro.

Hasilnya, mari kita cermati karya The Death (2011) karya Theo Frids Hutabarat yang berukuran 200×150 cm, oil di atas kanvas. Karya lukis ini mengetengahkan seorang tengah melukis sebuah mayat. Muncul kontras dari figur mayat dengan figur lelaki yang tengah melukis. Figur mayat yang dilukis tampak belum selesai dan ada warna merah di lehernya, mungkin mayat dari kasus kriminal. Kita tidak tahu. Kita hanya melihat lukisan antara figur hidup dan figur mati. Ada kesan untuk memposisikan dua hal itu ketika menatap lukisan yang cenderung muram itu.

Di samping lukisan dipajang juga komentar dari perupa lain, Kireina Windiah, perihal latar belakang desain grafis ketika membuat karya pesanan dari klien ataukah ketika berkarya seni. Diskusi menjadi berbeda ketika Kireina membahas kritisisme pada medium dua dimensi sebagaimana juga yang dilakukan Kireina yang punya dasar pendidikan desain grafis. Ini membuat penatap lukisan ini mendapat bekal untuk mengetahui sekaligus menilai lukisan tesebut dari sisi medium.

Karya Agugn berjudul Nircenggami 81×91 cm (2013) berupa lino yang dicetak menampilan orang tengah menunggang kuda. Baik kuda dan manusia tidak dalam wujud realis melainkan muncul tulang dan tengkoraknya. Menjadi tidak menyeramkan bahkan bisa dikatakan playful ketika warna kuda diwarnai cerah antara kuning-biru muda.

Warna-warna ini menjadi kian “ceria” dengan warna putih tulang dan tengkorak. Wastuwidyawan berkomentar di samping lukisan mengenai natural mystic yang menjadi perhatian sejak lama. Menariknya, lukisan ini membuat orang cenderung mendekat dengan pilihan warnanya sekalipun tema itu berat dan penuh misteri.

Sementara karya Muhammad Zico Albaiquni berjudul To be in the Fork Path berupa karya instalasi yang memadukan antara dua dimensi dan materi berupa plastik. Karya dengan ukuran 215×385 cm ini merupakan provokasi dengan memasukkan plastik ke tengah lukisan dan menyatu ke dalam lukisan. Di sisi kanan terdapat lukisan lelaki muda tengah menunggang kuda, sementara di sisi kanan terlihat pelukis dengan perlengkapannya tengah duduk memandang figur di sisi kanan.

Di tengah kedua figur tersebut terdapat plastik menjurai ke bawah hingga ke keluar dari kanvas. Plastik ini menjadi pemisah sekaligus pengkait kedua figur. Tampaknya benar komentar Aulia Yeru terhadap karya itu:  bagaimana lukisan Zico menjadi elemen krusial di intalasi Zico? Seberapa efektif lukisan menjadi elemen pembentuk situasi yang hendak disasar?

Anis Annisa Maryam,
Anis Annisa Maryam, “Sur Mon Visage”, 10:30, Video Performance, 2013

Karya-karya peserta pameran ini beragam sekali. Mulyana The Mogus menghadirkan boneka yang dirajut dengan judul Mogus World (2012), Ahmad Munir memamerkan tiga lukisan di atas kertas dengan tinta yang kesemuanya bertahun 2013, yaitu Sentuhan Darat ukuran 70×52 cm, Sentuhan Udara ukuran 72x52cm, dan Sentuhan Air ukuran 73×53 cm. Sementara Anis Annisa Maryam menghadikan karya video berjudul Sur Mun Visage durasi 10.30 menit, karya Aulia Ibrahim Yeru berjudul After Malida berbahan cermin dan akrilik dengan ukuran 46x46x10 cm.

Kemudian Kireine Windiah karyanya berjudul Natural Beauty’ Advertizing  berupa cetak digital di atas neon box ukuran 100x50x8 cm. Michael Binuko menghadirkan dua lukisan di atas kertas dari guratan pulpen berjudul Sale Type Neuron” ukuran 40×60 cm dan Spinal Sponge ukuran 82×52 cm. Keduanya dibuat pada 2013.

Chabib sendiri tidak mengatakan apakah yang diinginkan selaku kurator telah berjalan maksimal. Ada kalanya diskusi kurang berkembang dan diskusi tidak membawa dampak signifikan dalam berkarya. Hanya saja, keberanian kurator muda ini menjelaskan secara terbuka kepada publik sebagai bagian untuk menjawab kegelisahan yang menghinggapi redupnya kreativitas seniman di Bandung layak mendapat sambutan.