Kanvas-kanvas warna dominan hitam dan putih terpajang rapi di ruang Cemara 6 Galeri berwarna putih. Lukisan-lukisan abstrak warna putih terpampang di sebelah kiri, sementara lukisan warna hitam dipajang di seblah kanan. Lukisan warna hitam tidak menampilkan satu pun objek kecuali garis-garis kontras warna merah atau putih.
Warna hitam dan putih tidak membentuk sebuah objek tertentu kecuali lengkungan tidak sempurna atau garis tidak lurus. Warna-warna minor di tengah warna hitam yang dominan memberi dinamika pada kanvas. Warna hitam tidak mengambil keseluruhan kanvas ketika tiba-tiba di tengah atau garis warna minor itu membelah bidang kanvas.
Demikian juga karya lukisan yang dominan putih kemudian muncul garis atau goresan-goresan yang tersisa dalam warna selain putih. Lukisan tersebut menampilkan bidang kanvasnya dikuasai warna putih, tetapi dalam saputan sisa kuas Andi warna tertinggal warna emas, kuning atau campuran diantaranya. Tidak ada membentuk objek tertentu sisa sapuan kuas tersebut kecuali noktah yang berupa garis meleleh atau warna minor yang menyerupai sebuah pulau kecil dalam hamparan kanvas putih.
Andi dalam melukis tidak sekali jadi dengan warna putih. 18 lukisan yang ia buat selama 2013 ini awalnya melukis dengan berbagai warna berupa sapuan-sapuan tanpa bentuk. Selanjutnya Andi menutup sapuan-sapuan kuas itu dengan warna putih atau hitam. Proses ini menjadikan sapuan-sapuan warna sebelumnya hilang dibalik warna putih. Warna sisanya menjadi unsur dinamis dalam bidang kanvasnya.
Momen puitik ini kemudian menjadi tujuan utama kanvas-kanvas Andi Suandi. Penghayat lukisan Andi “berkomunikasi” dengan cara menerima kontras warna mayor dan warna minor dalam kanvasnya. Penghayatan ini memuncak dalam paduan dalam kontras warna tersebut.
Coba kita simak lukisan “Peziarah #1”. Kanvas karya itu terbagi dalam dua panel yang secara keseluruhan berukuran 180×215 cm dengan materi akrilik. Karya itu menyodorkan rasa sunyi saat warna gelap pada panel kiri tersisa warna minor kuning agak kabur dari sapuan gelap total, dan garis putih yang menggores pada kanvas bagian kiri. Warna gelap keseluruhan menjadi dinamis, tidak absolut, dan terasa ada nada yang keluar dari kanvas tersebut.
Strategi ini digunakan juga pada lukisan “Peziarah #8” yang berukuran 140×140 cm. Tarikan garis merah bukan sisa dari sapuan warna gelap tapi dibuat di atas warna hitam. Garis itu tidak lurus benar sehingga tidak muncul kekakuan dalam bidang kanvas itu.
Hasilnya sebuah garis yang menyerupai kaki langit atau horison di cakrawala. Hanya saja horison atau kaki langit itu bukan sebuah pemandangan di waktu pagi atau sore hari di pantai. Kita tidak tahu apa namanya, dan dengan itulah kanvas Andi berhasil melakukan “komunikasi” kepada audiens-nya. Mungkin ungkapan yang mewakili suasana itu bisa kita sebut momen puitik.
Momen puitik ini memang tidak muncul dalam upaya Andi di atas kanvas-nya. Permenungan Andi Suandi juga tidak sebatas kontras warna dan garis, tetapi juga momen puitiknya dapat ditelusuri di dalam karya-karya puisinya. Bersamaan pameran tunggal bertajuk Peziarah di Galeri Cemara 6, Jakarta Pusat, meluncurkan kumpulan puisi Peziarah dengan sub-judul “Pejalan cahaya yang akan menembus ruang dan waktu karena kehendak-Nya”. Semua puisinya diberi judul Peziarah 1 hingga 160.
Puisi ini menjadi konten terpisah untuk “mengisi” lukisan-lukisan Andi Suandi, sekalipun tidak dimaksudkan bahwa puisi dan lukisan karya Andi adalah dua dalam satu yang tak terpisah. Kedua jenis karya itu tetap dua yang terpisah, dinikmati secara terpisah, tetapi boleh juga dinikmati sebagai dua hal yang saling mengandaikan.
Di balik karya-karyanya Andi Suandi mengenal akrab ajaran-ajaran spiritual Sunan Bonang, Ranggawarsito, Syekh Siti Jenar, Sunan Kalijaga, dan dia juga mengenal pejalan spiritual Al Halaz. Andi mengaku menyerap ajaran-ajaran orang suci tersebut dalam caranya sendiri.
Jika orang-orang suci mengungkapkannya dalam bentuk ajaran dan laku, maka Andi berusaha menyublimkannya ke dalam bidang kanvas melalui gaya abstrak. Bukan sebuah ungkapan atau penyataan yang muncul tentunya, melainkan sebuah momen puitik yang secara personal dihidupkan lewat “komunikasi” berbagai kontras mayor-minor di atas kanvas.
Kenapa “komunikasi”? Sebab sesungguhnya tidak ada komunikasi dalam lukisan abstrak, juga karya-karya Andi Suandi sebagaimana penjelasan Chandra Johan selaku kurator. Karya Andi Suandi adalah lukisan itu sendiri beserta keseluruhannya dalam menghayatinya. Tidak ada rujukan di luar kanvas untuk membantu membaca karya-karyanya.
“Lukisan Andi lebih mendekati ungkapan murni, that painting itself a reality, terlepas ia “terbaca” atau tidak. Bahkan sebenarnya Andi tak ingin menjelaskan lukisannya satu per satu, karena menurutnya dunia lukisan itu telah menjadi dirinya sendiri.
Bukankah memang pada akhirnya puncak dari pemikiran that painting itself a reality kembali pada asal muasal gambarnya?” cetus Chandra Johan.
Selamat menikmati.