Nama Bayu Wardhana mulai ramai dibicarakan publik seni khususnya di Yogyakarta sekitar pertengahan 2012. Dikenal sebagai pelukis yang gemar melukis on the spot, gaya goresan kuas Bayu cenderung ekspresionis.
Bukan hanya lukisannya yang penuh ekspresi, tetapi pribadi Bayu sendiri juga. Kita tentu masih ingat saat Bayu melukis sembari memainkan alat musik favoritnya, piano, dengan penuh ekspresi tanpa kehilangan fokus pada lukisannya.
“Saya itu kalau sedang gemar sesuatu bisa sepanjang waktu tenggelam dalam aktivitas yang sama. Kalau lagi suka musik, ya bisa seharian main musik terus sampai lupa melukis. Tapi kalau lagi doyan melukis sehari bisa dua sampai tiga lukisan selesai,” katanya kepada Sarasvati.
Bayu bahkan pernah mendapat nasehat khusus dari pelukis kenamaan asal Yogyakarta, Nasirun, tentang mood-nya dalam berkarya yang suka naik turun. Nasirun mengatakan agar Bayu jangan lupa untuk terus “melatih” tangannya setidaknya setiap hari untuk menjaga keluwesannya saat memegang kuas. Wajar saja karena saat ini tidak banyak seniman lukis yang gemar melukis on the spot.
Selain itu, Bayu juga dikenal dengan kecepatannya dalam proses berkarya termasuk ketajamannya dalam menangkap “energi” penting dari objek karyanya. Tidak butuh waktu lama, Bayu bisa menentukan angel apa yang akan ia lukis dari objek lukisannya.
“Di atas kanvas, pelukis lah penguasanya. Mau langit biru diubah menjadi coklat, ya itu kuasa si seniman,” katanya.
Tidak banyak yang tahu jika lulusan ISI Yogyakarta ini sebelumnya pernah bekerja di industri garmen. Dalam sehari, Bayu bisa melukis langsung di ratusan pakaian jadi. Tentu butuh gerakan cepat untuk memenuhi targetnya setiap hari, apalagi dia hanya punya waktu dari jam 7 pagi hingga jelang tengah hari.
Namun yang paling penting menurut Bayu dalam berkarya adalah kebebasannya berekspresi. Termasuk dalam menentukan ide, bereksperimen dalam teknik dan gaya. Sebelum menemukan gaya melukisnya seperti yang kita kenal saat ini, Bayu telah berkali-kali mencoba melukis dengan teknik yang berbeda.
“Bila dibandingkan lukisan saya pada 2012, 2013, hingga 2014 semuanya berbeda. Saya selalu mendorong diri untuk “naik kelas” setiap kali berkarya. Tetapi yang penting, seorang Bayu harus merdeka, melukis tanpa beban,” ujarnya.
Di awal tahun ini, Bayu terpilih mengikuti program artist residence di Galeria Fatahillah yang dikelola oleh Konsorsium Kota Tua Jakarta (JEFORAH). Rencananya, karya-karya terbaru Bayu yang terinspirasi dari desain arsitektur bangunan tua di kota tua, sejarah masyarakat peranakan di Batavia, dan sistem perdagangan di masa pemerintahan Belanda, akan ditampilkan di Galeria Fatahillah pada 3 Februari – 3 Mei 2015 mendatang.
Ingin tahu lebih banyak tentang program residensi di Kota Tua Jakarta dan karya-karya Bayu. Baca lebih lanjut di majalah Sarasvati edisi ke-15 yang akan terbit Februari ini ya.