Warna sebagai entitas dalam seni rupa, memiliki simbol dan makna yang sering kali berkaitan dengan spiritualitas. Inilah yang ditampilkan Mudji Sutrisno SJ dalam pameran tunggalnya di Galeri Cipta 3, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 8-17 Januari 2014.
Sebagai pastur umat Katolik, Mudji Sutrisno SJ tentulah memahami perjalanan hidup dari sisi spiritualitas. Salah satunya ketika ia memahami keberadaan warna. Dari perjalanannya ke berbagai tempat dan bersentuhan dengan masyarakat lokal yang beragam keyakinannya, ia memahami warna memiliki sejumlah simbol spiritualitas. Salah satunya ketika ia pergi ke Kathmandu, Nepal, pada Agustus 2013. Di sana, ia menemukan tradisi menaburkan tepung berwarna-warni pada stupa.
“Saya kagum sekali karena stupa diolesi dan ditaburi tepung suci warna-warni. Ada merah, hijau, dan kuning. Merah berarti semangat hidup, hijau berarti merawat hidup, dan kuning menandakan kejayaan hidup. Tujuannya mensyukuri kehidupan. Lalu saya bertanya: Kenapa saya tidak buat sketsa warna-warni? Makanya, tema pameran kali ini warna-warni dalam mensyukuri kehidupan, ” ungkap Mudji.
Dari ritual tabur tepung warna-warni di Kathmandu ini, mengingatkan Mudji Sutrisno pada ritual yang ada di Nusantara. Misalnya ritual mengoles tepung basah warna kuning di nisan, khususnya dalam ziarah makam, pada acara syukur waktu panen, dan pendirian rumah dalam tradisi Jawa. Warna kuning di Indonesia bisa diartikan sebagai warna tropis atau bisa juga lambang kematian. Sementara, warna putih erat dalam simbol tradisi di Nusa Tenggara Timur.
Inspirasi dari Kathmandu inilah yang mengantar Mudji Sutrisno memberi tajuk pamerannya “Dari Stupa ke Stupa” yang menampilkan 104 sketsa. Sketsa-sketsa itu menggunakan ukuran kertas gambar 21 x 29,7cm dengan bingkai hitam dan penutup kaca. Sebagian besar sketsa dibuat pada 2013, sementara sekitar lima sketsa dibuat pada 2011 dan 2012.
Karena mengolah warna sebagai cerita utama pamerannya ini, menjadikan sketsa-sketsanya tampak ekspresif. Hal ini tampak pada karya Swayanbhunat Stupa yang terpasang di sayap kiri dinding lantai 1 dengan warna merah menyala dipadukan kuning terang. Dari pucuk stupa terentang tali ke bawah berisi kertas-kertas doa merah menyala dan kuning terang. Garis hitam yang menjadi dasar bentuk stupa muncul samar-samar saja di belakang dua warna terang ini, menjadikan wujud stupa tampak menyala, begitu ekspresif, menyiratkan sebuah perayaan, dan berkesan ceria. Suasana dalam karya ini merupakan momen yang diabadikan Romo Mudji sewaktu menyaksikan perayaan suci di Biara Swayanbhunat di bagian barat Kathmandu, Nepal. Di sketsa itu tertulis “Swrat-swrat kecil, doa, puja syukur”.
Sementara karya lainnya juga tak kalah berwarna-warninya. Pada sketsa Warna-warni Perayaan Stupa tersusun sapuan-sapuan tegak warna hitam yang dominan di antara warna biru muda, merah, dan sedikit kuning. Sketsa ini merupakan penjajaran garis vertikal yang rapat dengan bagian bawah menumpuk. Semakin ke atas kerapatan maupun susunan warnanya kian berkurang. Hanya sedikit ruang kosong yang disisakan dalam sketsa ini.
Pada pameran tunggal ketiga dalam kurun waktu tiga tahun terakhir ini, pemajangan karya dibagi menjadi dua. Di lantai satu dipajang sketsa warna-warni, sedangkan di lantai dua menampilkan sketsa hitam putih. Pembagian pemajangan karya ini menurut Wisnu Satriadi, fotografer yang terlibat dalam display pameran, lantai satu memang sengaja dipajang sketsa-sketsa warna-warni dan lantai dua untuk sketsa garis hitam-putih yang hampir semuanya menggunakan pulpen.
“Selain mengabarkan kepada pengunjung bahwa pameran ini menekankan sketsa warna-warni sehingga diletakkan di lantai satu, sketsa-sketsa di lantai dua memberikan ruang yang lebih tenang lantaran lantainya lebih tertutup dibandingkan dengan lantai dua. Juga, karya-karya di lantai dua lebih memerlukan perenungan karena dominan sketsa garis yang impresif dan kontemplatif,” kata Wisnu Satriadi.
Wisnu menyarankan untuk memulai “pembacaan” karya Mudji Sutrisno dari sudut kiri di lantai satu kemudian menuju sudut kanan lantas naik ke lantai dua dan memulainya dari bagian kiri ke arah kanan, kemudian turun kembali ke lantai satu dengan mengakhirinya pada dinding sebelah kanan. “Cara ini akan menggambarkan kronologi dari Romo Mudji yang berawal dari stupa-stupa di Nepal dalam wujud sketsa warna-warni yang cenderung ekspresif. Kemudian naik ke lantai satu yang kontemplatif, lantas turun ke lantai satu yang menampilkan sketsa hitam-putih dalam sapuan tebal,” kata Wisnu.
Sekitar 15 sketsa di lantai satu di bagian dinding sebelah kanan dikerjakan Mudji Sutrisno selama dua minggu sebelum hari dimulainya pameran. Pada sketsa di ujung kanan, kita akan mendapati sketsa yang menyentuh, yang menampilkan kesejajaran antara Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral. Ada pula sketsa yang menjajarkan antara stupa, kapel gereja, dan kubah masjid. Ketiganya merupakan wujud arsitektur sekaligus lambang umat Budha, Katholik, dan Islam, yang menyatu dalam satu kanvas dengan suasana visual yang damai tanpa perseteruan.
Menurut Mudji Sutrisno, stupa, kapel, dan kubah memiliki sejarah yang saling menjalin dalam lintasan waktu sejarah. Sebelum Kristus lahir, di kalangan umat Budha sudah ada stupa sebagai tempat sekaligus lambang pemujaan kepada Sang Pencipta. Kemudian muncul kapel di gereja pada awal abad Masehi pada masa Kristus, dan disusul kubah untuk masjid pada abad ke-6 Masehi pada masa Islam. “Karena itu, arti kamus dari stupa, kapel, dan kubah adalah sama, yaitu rahim atau garba ibu,” kata Mudji.
Pada pameran “Dari Stupa ke Stupa” terdapat tiga sketsa yang disebut Romo Mudji sebagai karya pergulatan. Sketsa itu berjajar di pojok kiri persis di depan tangga lantai dua. Pada salah satu sketsanya dihadirkan sketsa abstrak bentuk stupa. Wujudnya berupa garis longgar di bidang kertas putih dengan tarikan garis spontan yang membentuk stupa. Pada bagian tengah stupa itu diberi sentuhan warna kuning tipis.
Tidak muncul warna dan bentuk yang kompleks dalam sketsa ini sehingga memberi kesan sederhana tapi sublim. Karya ini menyarankan kesan keberadaan manusia di stupa ketika berhadapan dengan yang Ilahi. “Di depan Tuhan kita semua adalah nobody. Kita lepaskan semua segala statement pada diri kita. Hanya dengan rahmat-Nya kita semua menjadi manusia,” tutur Mudji.
Pameran ini menarik dari sisi karya sketsa yang muncul lantaran menunjukkan perkembangan dari sketsa garis merambah ke sketsa warna. Di luar itu, kita bisa mendapati bahwa sketsa menjadi media serupa buku harian Mudji Sutrisno yang mencatat pandangan spiritualitasnya ketika menyambangi berbagai tempat. Dari sini kita bisa menarik pesan tentang harapannya supaya masyarakat Indonesia bisa lebih menghargai perbedaan keyakinan.