Gede Mahendra Yasa, "Between You, Me, and the Bedpost #2", 100 x 163 cm, Acrylic on Canvas, 2014
(ki-ka) Gede Mahendra Yasa,
(ki-ka) Gede Mahendra Yasa, “7 Magnificent Masterpieces #1” dan “7 Magnificent Masterpieces #2”, 200 x 150 cm, Acrylic-on Canvas, 2011- 2012

Ia berdiri di area abu-abu. Antara seni rupa kontemporer dan tradisional. Kini, ia mencoba menjembataninya.

Lahir di pulau dewata Bali, tak berarti karya-karya lukis Gede Mahendra Yasa kental citra rasa “seni lukis Bali” yang penuh naratif, tahapan/lapisan, dan detail yang rumit. Karya-karyanya justu sangat kontemporer dengan teknik realis yang mengedepankan pemikiran dan konsep. Namun sejak lima tahun lalu, ia mulai mempertanyakan identitasnya. Apakah ia adalah seniman kontemporer seutuhnya? Atau masih adakah garis darah seni rupa Bali di dalam dirinya?

Pergulatan itu terpancar di dalam 15 karyanya – enam diantaranya karya terbaru – yang ditampilkan dalam pameran tunggalnya bertajuk “Post Bali”, dengan kurator Enin Supriyanto, di ROH Project (UOB Plaza) pada 1-29 Maret. Pameran ini seakan-akan ingin menunjukkan catatan perjalanan kreatifitas seni lukis Hendra yang meraih gelar sarjana seni dari Institut Seni Indonesia (ISI) Bali pada 2002. Mulai dari karya-karya foto realisnya – “Priest” (2011) dan “Salah Kiblat” (2011) – hingga karya-karya kontemporernya.

Namun, ada yang berbeda dalam karya-karya kontemporernya. Seperti dalam karya “The Death of Gatotkaca” (2014) dan “Laskar Pelukis Bali” (2011), pengunjung bisa saja lengah dan mengira keduanya adalah lukisan seni tradisional Bali karena dilukis dengan teknik seni lukis tradisional Bali yang penuh narasi, lapisan, dan detail yang rumit. Tapi bila diperhatikan lebih dekat, pengunjung bisa menemukan simbol-simbol moderinitas yang sebelumnya tak ada di karya seni lukis tradisional Bali.

Seorang pengunjung melihat karya Contemporary Art in Paradise Lost dari Gede Mahendra Yasa
Seorang pengunjung melihat karya Contemporary Art in Paradise Lost dari Gede Mahendra Yasa

Pada karya “The Death of Gatotkaca”, misalnya, Hendra menghadirkan pesawat tempur, helikopter, dan tank ke dalam cerita pertempuran yang menewaskan Gatot Kaca. Sementara di karya “Laskar Pelukis Bali”, ia menggambarkan seorang seniman lukis yang badannya penuh tato, helikopter, dan tube cat minyak sebagai simbol moderinitas.

Teknik pencampuran ini sudah ia mulai sejak tahun 2011. Didorong oleh pertanyaan besar tentang identitasnya sebagai seniman. “Saat mengikuti event di Milan – Italia, saya mengalami krisis identitas. Saya jenuh melihat ‘keseragaman’ karya-karya kontemporer. Jenuh karena kita hanya menjadi follower. Tidak banyak nilai-nilai baru yang muncul dari seniman kita dan menjadi ciri khas seniman-seniman Indonesia?” keluh Hendra yang lahir di kota Singaraja, Bali, pada 1967.

Ia pun mulai menggali sejarahnya sebagai seniman kontemporer yang lahir di Bali. Mempelajari teknik-teknik dasar yang membedakan seni lukis Bali dengan seni lukis modern dan kontemporer. Ia sempat kesal menyadari seni lukis Bali terpinggirkan dalam catatan sejarah perkembangan seni rupa Indonesia dan dinilai sebagai aliran seni lampau, tradisional, dan kuno. Padahal seni rupa Bali juga berkembang seiring dengan seni rupa di daerah lainnya seiring dengan perkembangan seni modern.

Ia pun tergelitik menjembatani kedua periode seni ini. “Saya sadar akan ada resikonya, tapi ini bukan sesuatu yang baru. Saya optimis pemikiran ini bisa diterima dengan baik,” kata Hendra. Ia kemudian menyebutnya sebagai seni kontemporer Bali.

Gede Mahendra Yasa,
Gede Mahendra Yasa, “Between You, Me, and the Bedpost #1”, 100 x 163 cm, Acrylic on Canvas, 2014
Gede Mahendra Yasa,
Gede Mahendra Yasa, “Between You, Me, and the Bedpost #2”, 100 x 163 cm, Acrylic on Canvas, 2014

Karya “7 Magnificent Masterpieces #1” (2011) dan “7 Magnificent Masterpieces #2” (2012) adalah pionir dalam upaya pencampuran ini. Hendra menampilkan tujuh karya masterpiece seniman besar dunia ke dalam satu kanvas dengan teknik lukis Bali. Hendra pun bermain-main dengan kanvasnya.

“Saya lapisi kanvas dengan koran. Sebagai simbol bahwa sebuah karya seni lukis Bali baru bisa dipahami bila dibaca tidak hanya dilihat. Karena lukisan Bali selalu dilengkapi dengan narasi, penuh detail,” kata Hendra.

Lalu karya “Between Me, You, and The Bedpost #1” (2014) dan “Between Me, You, and The Bedpost #2” (2014), yang terlihat abstrak dari kejauhan. Namun jika diperhatikan lebih dekat, ternyata detail pada lukisan seri kedua terdapat simbol-simbol yang sering ditemui pada karya lukis Bali. Cara yang sama juga ditemukan pada karya “Rorschach #1A” (2013) dan “Rorschach #1A” (2013).

“Saya terus menstimulus pengunjung untuk mendekat ke karya agar menyadari perbedaan keduanya,” katanya.  

Sudah selesaikah Hendra mengeskplorasi seni lukis kontemporer Bali miliknya? “Belum, kedepan saya ingin karya-karya saya juga memiliki narasi yang sama seperti lukisan Bali,” katanya.