Setelah sempat berhibernasi selama belasan tahun, Lucia Hartini muncul dengan karya berwarna cerah dan kuat. Hal paling terasa adalah semangat hidupnya kini menyala.
Lucia Hartini dikenal sebagai seniman beraliran surealis. Karya-karyanya penuh fantasi dan imajinasi dengan sapuan kuas yang halus dan rinci.
Warna-warna yang dipilih berkisar pada spektrum biru gelap, indigo, sapphire, merah, dan coklat terbakar. Komposisi awan berulang, menggulung ataupun dengan garis tegas. Juga terdapat planet, alam seisinya, dan sosok perempuan yang merupakan representasi dirinya berada di tengah imaji kosmos.
Gambar-gambarnya juga memiliki tingkat presisi tinggi dengan komposisi objek makrokosmos dan mikrokosmos dalam satu bidang. Planet, awan-awan, dan langit adalah makrokosmos; sementara manusia berikut sifatnya adalah mikrokosmos.
Itu sebab masyarakat seni menggolongkan karya Lucia ke dalam veristic surrealism, yakni pendekatan yang menekankan pentingnya menggambarkan alam bawah sadar sekonkret mungkin; sebagaimana yang dapat diamati di karya Salvador Dali, Rene Magritte, dan Yves Tanguy.
Lucia sendiri tak menyengaja melukis dalam gaya veristic surrealism. “Saya melukis ya melukis saja. Awalnya tidak tahu itu surealisme. Lalu ada orang datang dan bilang kalau ini surealisme. Dari situ tahu surealisme,” ujar Lucia.
Dalam kiprahnya di dunia seni, sejumlah pameran besar, baik di dalam dan luar negeri sempat Lucia ikuti, seperti Jakarta Biennale 1989, Contemporary Art of Non Aligned Countries di Galeri Nasional (1995), Pameran Bersama (1994) di Bangkok dan Manila, serta Confess and Conceal (1993) di Australia dan Singapura.
Nuclear Power in the Wok (1982) yang dipamerkan di Bentara Budaya Jakarta pada 1983 adalah karya spektakuler pertamanya sekaligus pembuka gerbang kesenian Lucia ke kancah internasional.
Pada awal kariernya, pada 1970-an, lukisan Lucia cenderung berupa lanskap kosmos dan manusia. Seiring berjalannya waktu, Lucia seringkali melukiskan pengalaman hidupnya melalui sosok perempuan berambut panjang.
Salah satu yang terbaru adalah Payung 59 (2017), sedang dipamerkan di “Celebrating Indonesian Portraiture”(Merayakan Potret Indonesia) di OHD Museum, Magelang, Jawa Tengah, hingga 8 Oktober 2018. Karya ini merupakan bagian dari serial Payung semenjak Payung 2000 (1996 – 2000).
Kedua perempuan di dua lukisan Payung tersebut sama-sama berambut hitam panjang dengan latar kosmos. Namun, ada hal yang berbeda dari keduanya.
Pada Payung 2000, lautan dan awan bergemuruh menjadi satu mengelilingi sesosok perempuan bergaun putih yang memalingkan wajah. Dia berpayung kosmos.
Setelah periode Payung 2000, nama Lucia seakan tenggelam di dunia seni rupa Indonesia. Baru pada 2017, hampir dua dekade kemudian, Lucia kembali memukau penikmat seni dengan karya Payung 59 yang terasa lebih legawa dan percaya diri. Kali ini, si perempuan memayungi dirinya dari hujan meteor, menengadah, tak lagi menyembunyikan wajah.
Lantas apa yang terjadi selama masa hiatus 17 tahun itu? Benarkah namanya tenggelam?
Anggapan tersebut tak sepenuhnya betul karena Lucia tetap melukis. Karyanya dipamerkan juga, sekalipun bukan pameran besar sekelas yang digelar Oei Hong Djien, karenanya tak diketahui khalayak luas.
“Orang yang mengoleksi lukisan saya pun biasanya tidak mengikutkan koleksi mereka ke event penting. Parahnya ada beberapa orang yang menjadikan nama saya semakin tenggelam dengan isu bahwa karya saya sudah mati,” ujar Lucia.
Kini, seniman surealis itu telah bangkit. Tidak lagi hilang dalam senyap. Kosmosnya tak lagi bewarna sendu melainkan bewarna tajam dan kuat. Berbagai peristiwa menyakitkan, tekanan, atau ketidaktenangan jiwa telah dia ubah menjadi hal positif, sebagaimana dapat dirasakan ketika melihat Payung 59.