Karya Made Sumadiyasa terbilang beda dari pelukis Bali lain segenerasinya yang berangkat dari titik yang sama.
Gaya lukisnya abstrak ekspresionisme dengan dinamika mendalam, nyaris tiga dimensi. Melalui permainan garis dan kuas, warna-warna seperti disemburkan membentuk gelombang atau melingkar-lingkar.
Baca juga Garis dan Distorsi Wayan Sunadi
Karyanya banyak bermedia cat minyak di atas kanvas berukuran besar, misal 3×7,5 meter, dengan tema harmoni antara kosmos, kemanusiaan, dan alam.
Jejak abstraknya terlihat sejak Made bersekolah di Sekolah Menengah Seni Rupa (1988-1991) di Batubulan, Bali. Berawal dari ketertarikannya dengan tarikan garis Nyoman Gunarsa yang spontan, bebas, tapi masih terlihat bentuknya.
Pada masa itu juga Made bertemu Made Budhiana yang sering mengajaknya melukis on the spot di pegunungan, pantai, dan perbukitan. Tarikan garis ekspresif spontan Made pun menjadi semakin bebas, abstraksinya makin kuat, hingga kemudian menjadi abstrak.
Terlebih saat tahun ke-3 kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta pada 1994, setelah dua tahun sebelumnya berfokus ke kurikulum standar, kali ini Made dibebaskan melukis apa saja, maka abstrak spontannya makin tak terbendung.
Baca juga Abstraksi Puitis Mahendra Mangku
Di atas bentangan kanvas putih, cat berwarna biru tua atau merah dia cipratkan atau sapukan ke segala arah dengan sapuan yang kuat, bahkan kasar. Dia mulai mengarungi dunia abstrak-ekspresionisme-figuratif dengan banyak mengangkat tema kemanusiaan.
Walau tergabung dalam Kelompok 11 Sanggar Dewata Indonesia (SDI) yang sebagian besar karya anggotanya bertema ikon-ikon budaya Bali, Made Sumadiyasa terbilang sejak awal lebih “revolusioner” dibanding kawan-kawannya di SDI. Dia tidak merasa perlu mendeklarasikan ke-Bali-annya lewat medium visual.
Made melukis dengan tema universal yang dapat dikaitkan dengan sosial kontemporer dan isu lingkungan. Dia mengangkat energi alam, representasi abstrak dari energi semesta, yang membuat karyanya tampak “modern”.
Baca juga Berteguh Iman pada Tebaran Daun
Jean Couteau, penulis seni yang bermukim di Bali, menyebut energi dalam karya Made bukan hanya wujud dari energi fisik sang seniman, lebih dari itu, berasal dari energi yang menghidupi alam itu sendiri.
Made berfokus pada gerakan dan warna untuk memunculkan esensi spiritual subjeknya. Sebab itu lukisannya menjadi refleksi yang sangat personal, sebuah kontemplasi terhadap fondasi hidup, yakni esensi tentang kasih.
Baca juga Karya Monumental hingga Refleksi Sinis Pande Ketut Taman
MADE SUMADIYASA
Lahir di Langlanglinggah, Tabanan, 8 Februari 1971
Pendidikan: Sekolah Menengah Seni Rupa (1988-1991) Batubulan, Bali; Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta (1992 – 1997).
Pameran Penting
2008 “Songs of the Rainbow”, MADE at Ganesha Gallery, Four Seasons Resort, Jimbaran Bay, Bali, Indonesia
2004 “One World, One Heart”, MADE at ARMA Museum, Bali, Indonesia
1998 “Journeys”, MADE (simultaneously) at the Neka Art Museum, Bamboo Gallery and Komaneka Fine Art Gallery, Ubud – Bali, Indonesia.
1997 “Gejolak Alam Sebagai Sumber Imajinasi”, MADE at (ISI) Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, Indonesia.
1995 “Art Asia”, MADE at the Hong Kong Convention and Exhibition Center, Hong Kong and launching the 1st book MADE Searching for the Spirit, the Art of I Made Sumadiyasa.
Baca juga Putu Sutawijaya dan Spektrum Spiritual Karyanya
Milestone
1990 Pertama melihat karya sketsa Nyoman Gunarsa dalam sebuah buku, menginspirasinya untuk mulai melukis Bima dan Anoman, karya penanda bergesernya teknik lukis Made dari realisme ke abstraksi.
1995 Saat kuliah semester 5, Made menjadi seniman Indonesia pertama yang diundang berpartisipasi dalam pameran seni Art Asia (sekarang Art Basel) di Hong Kong.
1996 Karyanya, The Way to Eternity (1994) yang ikut dipamerkan Art Asia, jadi cover majalah seni berbasis di Hong Kong, Asian Art News.
Karya penting
Spirit of the Forest, 150×200 cm, oil and mixed media on canvas, 1994.
The Way to Eternity, 147×112 cm, oil on canvas, 1994.
Flame, 145×200 cm, oil on canvas, 1995.
Soul of the Sea, 145×250 cm, oil om canvas, 1995.
Water of Life, 200×300 cm, oil on canvas, 1997.
Mother Earth, 145×145 cm, oil on canvas, 1997.
Yin and Yang Images, 300×600 cm, oil on canvas, 1998.
Tribute, 400×600 cm, mixed media and oil on canvas, 1999.
Baca juga Bandara Pun Jadi Etalase Seni
Perupa idola
Nyoman Gunarsa
Made Budhiana
Willem de Kooning
Franz Klein
Jackson Pollock
Kolektor
Agung Rai
Suteja Neka
Jusuf Wanandi
Daniel Komala
Museum
Neka Art Museum
ARMA Museum
Singapore Art Museum
Penghargaan
1996 Best Still Life painting, Indonesia Institute of Art (ISI) Yogyakarta, Indonesia
1994 Best painting, Lustrum II, Indonesia Institute of Art (ISI), Yogyakarta, Indonesia
1993 Honorable mention for painting, Indonesia Institute of Art (STSI) Denpasar, Bali, Indonesia
1993 Best sketch, Indonesia Institute of Art (ISI) Yogyakarta, Indonesia
1993 Best painting, Indonesia Institute of Art (ISI) Yogyakarta, Indonesia
1987-1990 Scholarship, High School of Fine Arts (SMSR) Batubulan, Bali, Indonesia.