Prihatin melihat uang kepeng tak lagi dihargai, I Made Djirna mengolahnya menjadi karya yang sayangnya tak lagi menampilkan ciri khasnya.
Ratusan uang kepeng – uang logam asal China berbentuk bulat dengan lubang berbentuk segi empat di tengahnya – bertebaran di 20 karya lukisan dan instalasi I Made Djirna yang dipamerkan di Sangkring Art Space-Yogyakarta, 5-12 Juli.
Ada yang disusun membentuk lukisan seekor babi berkulit merah – Celengan (Piggy Bank), wajah manusia tengah tersenyum yang sepertinya wajah Djirna sendiri, kemudian karya Biasa di Rumah (Feels at Home) yang menampilkan berbagai corak grafis penuh warna, Celah Kehidupan (Cracks in Life), bunga-bunga di dalam pot di Sekar Jagat (Flower Universe), dan sebuah karya instalasi berbentuk baju yang lebih mirip jubah perang terbuat dari puluhan uang kepeng berjudul Kekuatan Ingatan (the Power of Memories #4).
Mengangkat tajuk the Logic of Ritual, pameran ini lebih menggambarkan aksi protes seorang Made Djirna – yang pernah menyabet penghargaan Lempad Price dari Sanggar Dewata Indonesia pada 1982 – atas beragam praktik ritual di Bali yang ia nilai telah kehilangan ‘ruh-nya’ akibat ditelan modernitas dan komersialisasi. Pameran ini ia dedikasikan untuk mewakili rintihan-rintihan masyarakat miskin Bali yang terbebani dengan beragam properti sesaji dan ritual keagamaan yang menuntut kesempurnaan.
Kurator seni rupa Wayan Kun Adnyana dalam catatannya menuliskan, karya Djirna kali ini lahir dari ‘kesadaran spiritual sosial’ yang ditopang oleh beragam pertanyaan dan pemikiran kritis pada praktik-praktik ritual Bali. Terutama setelah prosesi ritual kerap dikomersialisasikan dengan beragam bentuk seperti produksi dupa dengan label telah terpurifikasi mantra sakti, lomba busana di pura, hingga reproduksi uang kepeng China kuno.
“Ini adalah jalan spiritual Djirna, mempersoalkan keyakinan hati paling pribadi. Ia kerap mempertanyakan kemeriahan ritual yang terlihat sekadar fashion populer belaka,” kata Kun.
Di benak Djirna, beragam prosesi ritual yang dijalankan umat Hindu Bali saat ini tak lebih sekadar tuntutan agar dapat diterima di tatanan sosial. Hal itu sangat berbeda dengan makna ritual sesungguhnya yang menjadi media kedekatan sang hamba dengan tuhannya. Sesaji yang menjadi perwakilan keikhlasan umat untuk memberikan sebagian nikmatnya pada hari itu kepada sang dewata, kini berubah menjadi ajang perlombaan kemeriahan sesaji. “Ritual tak lebih dari seremonial fisik belaka,” kata Djirna kepada Sarasvati.
Ia mencontohkan kisah tentang ‘kerelaan’ seorang warga yang memilih menjual ayam ternaknya hanya untuk membeli uang kepeng palsu demi melengkapi properti dan sesaji ritual. Tak masalah jika ia termasuk orang yang berada, sayangnya tidak. “Orang Bali lebih merasa bersalah jika tak menyediakan uang kepeng di dalam sesajiannya, daripada mengeluarkan uang banyak hanya untuk membeli uang kepeng palsu,”ujarnya.
Pemikiran itu memicu Djirna untuk memungut uang-uang kepeng yang dibiarkan berserak pasca ritual. Sempat kebingungan karena uang yang terkumpul cukup banyak, Djirna pun memilih untuk menjadikannya karya seni rupa, meski karya seni menggunakan bahan utama uang kepeng bukanlah hal baru di Bali. Banyak perajin Bali yang membuat karya patung berbaju uang kepeng ataupun dijadikan suvenir khas Bali. Meski demikian, Kun mengatakan, karya uang kepeng Djirna jelas berbeda dengan yang dibuat para perajin. “Baju uang kepeng Djirna dibuat berdasarkan pertanyaan, perumusan wacana kritis dan konsep artistik,”katanya.
Sayangnya, dalam pameran kali ini Djirna terkesan meninggalkan kekhasan dirinya yang selama ini dikenal memiliki gaya ekspresif. Figur-figur tetap hadir dalam karyanya, namun tak lagi menghanyutkan emosi para pengunjung yang melihatnya. Berbeda dengan karya-karya Djirna sebelumnya seperti Menatap (2012), Has Been Born (2012) dan Noah’s Ark (2012). Figur-figur di dalam lukisan itu tampil dengan sangat menonjol, penuh ekspresif dengan warna yang kuat.
Kehadiran uang-uang kepeng di karya terbaru Dijrna ini malah terlihat tak lebih sebagai penghias (dekoratif) tanpa makna tertentu. Djirna gagal menghidupkan kembali ‘energi estetik’ dari lima unsur (Panca Dhatu – perak, besi, emas, tembaga, dan timah) pada uang kepeng asli. Uang kepeng Djirna hadir terlalu berlebihan dan tidak menjadi poin utama dari masing-masing karyanya. Berbeda dengan karya Umi Dachlan yang menjadikan uang kepeng tak lagi sekadar materi semata namun bisa menghadirkan sebuah makna tersendiri. Satu-satunya karya yang memuaskan rasa rindu pecinta seni pada karya Djirna hanyalah karya instalasi baju uang kepeng – Kekuatan Ingatan #4.
Memilih Yogyakarta sebagai tempat pameran ini juga kurang mencapai sasaran jika yang diinginkan adalah mengajak masyarakat yang selama ini menempatkan uang kepeng sebagai bagian dari kebudayaan – yang mana adalah masyarakat Bali. Namun sebagai wacana, pemanfaatan uang kepeng sebagai materi karya, cukup menarik meski bukan sesuatu yang baru.
Bagi mereka yang selama ini mengikuti karya perupa yang lulus dari ISI Yogyakarta pada tahun 1981 ini, mungkin akan menemukan perbedaan terutama karena dulu dia dinilai sebagai “penerus” perupa maestro H. Widayat. Dengan indahnya, Djirna mengubah gaya khas “Jawa” ala Widayat menjadi khas “Bali” pada karya Djirna. Sayangnya, magisme Djirna itu kehilangan daya magnetnya pada karya uang kepeng ini.