Setelah 30 tahun berkarya dan bereksperimen mengasah teknik, F Widayanto akhirnya berhasil menampilkan karya patung keramik yang lebih luwes, gemulai, dan tampak lebih hidup.
Mimik wajah gadis berambut panjang itu terlihat sendu. Seakan mencoba meredam rasa sedih, perih, sekaligus amarahnya. Begitulah ekspresi 30 patung keramik Drupadi karya F Widayanto yang ditampilkan di Galeri Nasional Jakarta, pada 22-30 Agustus 2013.
Dalam kisah Mahabharata, Drupadi adalah seorang putri raja dari Panchala bernama Drupada. Secara fisik, perawakan Drupadi sangat cantik dan menawan. Tubuhnya tinggi semampai, berambut panjang, dengan wangi tubuh bagaikan bunga teratai. Sayangnya, jalan hidup Drupadi tak seindah wajahnya. Akibat ulah sang suami – Yudhistira – bersama empat saudaranya yang gila judi, Drupadi dijadikan taruhan dan dipermalukan dalam arena perjudian. Kain kembennya ditarik. Namun secara magis kain itu tetap memanjang, tak juga putus.
“Drupadi adalah sosok perempuan yang cantik dan kuat. Ia mampu menghadapi penderitaannya, rela berkorban, dan memiliki keberanian. Ia juga sangat dicintai oleh para dewa sehingga diselamatkan saat dipermalukan Dursasana,” kata Widayanto menjelaskan alasan memilih sosok Drupadi dalam pameran tunggalnya yang ke-16 dengan tajuk Drupadi Pandawa Diva.
Alasan lainnya mengangkat sosok Drupadi adalah kenyataan bahwa di pasaran, patung-patung wanitanya jauh lebih disukai ketimbang patung pria. Hal itu tercermin dari kegagalan penjualannya karya Narcissus Narcissus (2007) dan Semarak 30 Semar (2009) yang jauh dari target penjualannya. Sejak awal patung-patungnya yang indah, cantik, penuh dengan warna-warna terang, banyak digandrungi peminat terutama untuk mendekorasi ruangan-ruangan bergaya neo-klasik dan neo-rococo.
Pameran ini digelar sekaligus menandakan perayaan tiga dekade Widayanto berkarier sebagai pematung keramik. Mulanya ia terjun ke dunia patung keramik usai lulus dari Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB pada tahun 1983. Semula figur-figur dalam karyanya cukup sederhana. Hewan dan tumbuhan merupakan bentuk kesukaannya. Widayanto juga menyisipkan simbol-simbol tradisi lokal yang masih tetap kita temukan di setiap karyanya, menjadi ciri khas dari patung keramik karya Widayanto.
Kini patung-patung keramiknya tampil dengan ukuran yang lebih besar. Bahkan dalam pameran kali ini ada yang setinggi manusia sekitar 153 cm hingga 259 cm seperti yang terlihat pada patung Drupadi Kemulan Dekep. Tubuh patung-patung itu juga meliuk lebih luwes dan dimanis dibandingkan karya-karya sebelumnya. Tentu untuk mencapai keberhasilan itu, dibutuhkan teknik yang luar biasa rumit.
“Jika dilihat dari patung-patung wanita pada seri Dewi Sri (2003), tubuh mereka terlihat lurus-lurus saja. Bandingkan dengan patung Drupadi yang lebih luwes meliuk. Diperlukan pengalaman dan teknik tinggi untuk mencapai itu,”katanya kepada Sarasvati.
Untuk menghasilkan patung keramik dengan tubuh yang dinamis, Widayanto menyesuaikan karakter materialnya dengan sifat porselen yang lebih getas dan mudah hancur dibandingkan stoneware yang lentur. Ia mempelajari teknik tersebut saat bekerja sama dengan Noriaki Kobayashi, seorang keramikus spesialis materi porselen dari Jepang.
Untuk mendapatkan bentuk yang dinamis, Widayanto memotong patung keramiknya menjadi sejumlah bagian, tidak seperti patung keramik lainnya yang diolah langsung dari satu gundukan lempung. Setelah dirakit ulang, barulah patung keramik tersebut dibakar hingga suhu 900 derajat celcius. Proses ini perlu kecermatan tinggi, karena pada temperatur yang tinggi patung bisa terdeformasi, mengerut secara tidak proporsional, ambruk, ataupun bengkok. Agar tetap sesuai dengan model, patung-patung tersebut disangga dengan tonggak-tonggak terbuat dari bahan yang sama dengan pemasangan yang membutuhkan perhitungan matematis yang rumit.
Usai didinginkan, patung-patung tersebut selanjutnya diolesi glasir dan dimasukkan kembali ke oven hingga suhu 1.250 derajat celcius. Di akhir proses, barulah patung-patung tersebut diberi warna pigmen pada bagian-bagian tertentu seperti rincian mata – alis, bibir, dan rias wajah. Selanjutnya, patung kembali dibakar agar pigmen yang dipoles melekat erat.
Widayanto juga tak lupa melekatkan sejumlah aksesori pada patung-patung Drupadi untuk meningkatkan kesan pada kisah yang ia ceritakan. Ada kupu-kupu di sekitar kain Drupadi yang menunjukkan betapa cantik dan harumnya tubuh Drupadi. Dadu-dadu yang menjadi simbol perjudian. Terakhir, ia juga menyelipkan serangkaian perhiasan seperti tusuk konde dan giwang berbahan asli perak, karya desainer Indonesia yang berbasis di London, Alston Stephanus. Patung-patungnya pun tampil dengan sangat indah, berwarna, manis, dan cantik.