Klowor Waldiyono (kedua dari kiri) saat pembukaan pameran tunggalnya ketiga ‘Colour (s) of Klowor’, di Galeri Kemang 58 Jakarta, Senin (18/11).

Selama 24 tahun berkarya, Klowor Waldiyono terus bereksplorasi. Ia mencampuradukkan teknik, media, dan ide kreatif yang sebelumnya dianggap tak bakal ‘laku’ di pasar seni rupa Indonesia. Kini, ia kembali dengan ide yang lebih segar.

Seekor naga berwarna merah menyala, menyeringai lebar hingga gigi-gigi tajamnya terlihat.  Tubuhnya diarak oleh manusia-manusia kucing. Dihadapannya, sesosok penari jaran kepang tampak lincah melompat-lompat meniru gerakan kuda. Bersama-sama, keduanya menari-nari mengelilingi stupa Candi Borobudur yang berdiri di titik sentral kanvas. Kemeriahan begitu nyata dengan hadirnya janur-janur berwarna kuning cerah, bunga-bunga beraneka warna, dan pepohonan di sekelilingnya.

Begitulah Klowor menangkap keindahan, kemegahan, dan kemeriahan dalam festival seni Bobudur ke dalam karyanya dengan judul yang sama. Warna-warna cerah memenuhi kanvas berukuran 150 x 250 cm itu. Meski terkesan ramai dan penuh, karya terbaru Klowor ini tak membuat para pengunjung jenuh untuk terus mengeksplorasi setiap dimensinya.

'Waiting 1' - 2013 (kiri atas); 'Sepasang Kucing' - 2005 (kiri bawah); 'Dreaming' - 2005 (kanan)
‘Waiting 1’ – 2013 (kiri atas); ‘Sepasang Kucing’ – 2005 (kiri bawah); ‘Dreaming’ – 2005 (kanan)

Setidaknya ada 49 karya lukis Klowor yang dipamerkan dalam pameran tunggal ketiganya Colour (s) of Klowor di galeri Kemang 58, Jakarta. Tak semua karya yang dipamerkan sejak 18 November hingga 8 Desember itu merupakan karya-karya terbarunya. Sebagian karya bahkan diproduksi satu dekade lalu, saat Klowor muda mulai mengeksplorasi imaginasinya.

Klowor mengatakan, pamerannya kali ini didedikasikan khusus bagi para pecinta karyanya untuk lebih mengenal sosok pribadi dan perjalanan kreatifnya. “Selama ini, saya kerap dikenal sebagai pelukis dengan karya-karya berukuran besar, penuh warna cerah, dan kucing sebagai karakter utamanya. Padahal banyak juga karya-karya saya yang berukuran kecil dan berwarna hitam-putih. Inilah warna-warni kehidupan saya,”kata Klowor saat membuka pamerannya.

Kuss Indarto dalam tulisan pengantar katalog mengatakan, dengan menyaksikan pameran ini para pecinta karya-karya Klowor bisa melihat bagaimana sang seniman tumbuh dan berkembang, melakukan pergeseran-pergeseran artistic secara dinamis dalam beberapa tahun terakhir. Pergeseran-pergeseran itu sesungguhnya sudah terlihat jelas dalam dua pameran tunggal Klowor sebelumnya yang berjarak sekitar 15.5 tahun.

20131118_190825_resized aa
Klowor (kiri) saat menerangkan karya kepada seorang pengunjung

Dalam pameran tunggalnya perdananya – Hitam Putih – yang berlangsung di Bentara Budaya Yogyakarta pada 11-18 Desember 1995, Klowor mulai membangun citra artistiknya dengan menghadirkan subjek kucing dengan balutan visualitas hitam-putih. “Sayangnya, identitas tersebut mengukung dirinya dari pengembaraan artistic dan estetik yang bebas. Karyanya pun bergerak berputar-putar di tempat. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk melakukan penyegaran estetik,”tulis Kuss.

Perubahan besar terlihat dalam pameran tunggal keduanya – Siklus dan Sirkus Klowor – pada 21-31 Mei 2011 di Taman Budaya Yogyakarta. Karya-karyanya tampil lebih berwarna dan penuh narasi. Sosok kucing tak lagi muncul sebagai gambaran dari hewan kesayangannya tapi sebagai simbol dari berbagai karakter narasinya.

Pergeseran juga terlihat dari ukuran karya yang menjadi lebih besar. Ukuran terbesar dari karyanya bahkan ada yang mencapai 2×7 meter. “Ia mulai mengeksplorasi aspek penceritaan dengan tetap memberikan narasi. Sosok kucing kini telah dimanusiakan sebagai sosok pengisah/pencerita,”kata Kuss.

Kini dalam pameran tunggal ketiga, ‘kisah’ Klowor hadir dengan warna yang lebih banyak dan narasi yang lebih padat. Kucing tak lagi menjadi sosok pusat karya-karyanya. Bahkan di beberapa karya, karakter kucing sama sekali tak hadir. Klowor menggantinya dengan beragam jenis tumbuh-tumbuhan.

“Dunia ini penuh warna. Ada drama kehidupan, problem sosial, dan beragam flora dan fauna yang diciptakan Tuhan, yang kehadiran semuanya membuat dunia bergerak dinamis. Karya saya adalah refleksi dunia yang penuh warna, dan saya ingin memulainya dengan menghadirkan sosok manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan,”kata seniman kelahiran Yogyakarta pada 31 Januari 1968 itu.

Seperti yang terlihat dalam karya Amanjiwo Resort (2013), beragam jenis pepohonan dan tumbuh-tumbuhan justru menjadi titik fokus. Warna hitam sebagai satu-satunya warna yang muncul di atas kanvas putih, menguatkan niat Klowor untuk menunjukkan eksperimennya dalam melukiskan tumbuh-tumbuhan dan hewan.

Begitu pula dalam karya Keliling Dunia (2013), yang menghadirkan cuplikan perjalanan wisata tiga sosok manusia – model merupakan keluarga dari salah satu kolektor karya Klowor – ditunjukkan dengan adanya beragam ikon negara-negara tujuan wisata seperti Malaysia dan Perancis. Tidak ada kucing dalam karyanya kali ini. Klowor justru menampilkan karakter baru seperti burung-burung merpati yang tengah terbang bebas, ikan-ikan, dan pepohonan penuh warna.

Pengunjung memperhatikan karya Klowor berjudul 'Festival Seni Borobudur' (2013)
Pengunjung memperhatikan karya Klowor berjudul ‘Festival Seni Borobudur’ (2013)

Pembeda karya Klowor dari seniman serupa yang menyajikan goresan kuas khas anak-anak dan warna-warna cerah seperti Erica, menurut Kuss, adalah “kehadiran arsiran renik, rumit, dan kompleks yang mengelilingi subjek-subjeknya”. Dalam beberapa karya garis-garis itu saling tumpang tindih hingga memunculkan sebuah karakter dengan dimensi yang berlapis-lapis.

Namun adakah pergeseran-pergeseran ini, minimnya kehadiran ‘kucing’ dalam kanvas-kanvasnya, menjadi deklrasi estetik baru untuk Klowor bahwa ia bersiap meninggalkan identitasnya sebagai “si manusia kucing”? Klowor menjawab, “perubahan-perubahan itu penting, untuk menghilangkan kejenuhan sekaligus mengasah kreatifitas dalam berkarya”.