“Simposium Kritikus Seni : Seteru Atau Sekutu” digelar di Gedung Olveh Jakarta. Acara yang diinisiasi oleh Sarasvati Art Management & Publication ini bertujuan untuk menelisik dan mengangkat kembali peran kritikus seni di dunia seni rupa kontemporer Indonesia. Seperti yang kita ketahui bersama, eksistensi krikitus seni di Indonesia kian hilang belakangan ini. Atas dasar alasan tersebut, Sarasvati menghadirkan para akademisi dari ketiga kampus seni terdepan di Indonesia yakni, Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Institut Seni Indonesia (ISI Yogyakarta) guna membahas problematika kritikus seni dan mengangkat kembali peran kritikus di industri seni rupa. Ketiga pembicara yang merepresentasikan ketiga kampus tersebut adalah Prof. Dr Martinus Dwi Marianto (Dosen ISI Yogyakarta), Citra Smara Dewi (Kurator Galeri Nasional dan Dosen FSR IKJ) serta Drs Asmudjo Jono Irianto (Kurator, Seniman dan Dosen FSRD ITB).
Acara ini dihelat di Gedung Olveh, salah satu gedung bersejarah di kawasan Kota Tua Jakarta yang dimana secara reguler diadakan Focus Group Discussion untuk membahas strategi kebijakan nasional yang output nya sering dipakai untuk merumuskan berbagai kebijakan nasional, khususnya untuk kebijakan publik sektor perekonomian dibawah naungan Kemenko Perekonomian. Atas dasar semangat tersebut, diskusi ini digelar di Gedung Olveh dengan harapan mampu kembali melahirkan gagasan-gagasan yang berguna bagi kemajuan industri seni rupa di Indonesia.
Dalam sambutan pembukanya, Founder of Sarasvati Art Management and Publication Lin Che Wei mengatakan jika seni di Indonesia cenderung meninggalkan beberapa profesi. Oleh karena itu, Sarasvati mencoba mempromosikan dan mengusulkan kepada pemerintah – dalam hal ini melalui Kemenko Perekonomian— untuk kembali mengangkat profesi-profesi terlupakan yang ada dalam lingkup industri seni rupa. Terlebih lanjut, dengan mengutip kalimat dari Jerry Saltz –Kritikus Seni Amerika Serikat dan kolumnis majalah New York— Lin Che Wei menambahkan “Untuk membuat seorang seniman menjadi ternama, dibutuhkan 14 orang, yakni 1 Art Dealer, 6 Core Collectors, 3 Art Critic dan 4 Curators.” Namun sayangnya Indonesia banyak sekali mengabaikan profesi-profesi di luar seniman itu sendiri. Sebagai contoh seperti profesi Art Conservator.
Sarasvati selama ini telah berkolaborasi dan mendukung Michaela Anselmini, seorang Art Conservator/Restorator asal Italia untuk mempromosikan profesi Art Conservator di Indonesia. Michela Anselmini sendiri kini tengah merestorasi sebuah lukisan karya Lee Man Fong –seorang perupa yang sempat digadangkan akan menjadi pengganti Basuki Abdullah sebagai pelukis Istana di era Orde Lama – di Hotel Indonesia Kempinski Jakarta. Lukisan yang tengah direstorasi, merupakan lukisan pesanan Bung Karno saat akan meresmikan Hotel Indonesia di tahun 1962.
Michaela Anselmini dalam speech nya memaparkan bahwa ia saat ini tengah melatih 2 orang mahasiswa FSRD ITB untuk menjadi Art Conservator professional. Program pelatihan ini merupakan inisiasi dirinya dengan dukungan dari Istituto Italiano di Cultura (Lembaga Kebudayaan Italia di Indonesia), Lyra Giotto dan Institut Teknologi Bandung. Di akhir program pelatihan tersebut, kedua mahasiswa ITB itu nantinya akan mendapatkan sertifikasi resmi sebagai Art Conservator professional.
Dalam bahasan tentang profesi kritikus seni yang kian hilang eksistensinya dalam industri seni rupa. Ketiga pembicara hadir dengan paparan topik yang berbeda-beda, Prof Dr Martinus Dwi Marianto dari ISI Yogya tampil dengan memaparkan topik “Apresiasi dan Kritik Seni”. Dalam menanggapi pernyataan yang Sarasvati kemukakan “Kritikus Seni: Seteru atau Sekutu?” Prof Dwi Marianto menggunakan pendekatan “Teori Quantum” yang diadaptasi dari ilmu Fisika. Teori Quantum menyatakan bahwa semua materi dan energi pada level sub-atomik, senantiasa memiliki properti sebagai partikel, dan sekaligus sebagai gelombang. Yang dalam kata lain, “Sebuah karya seni dapat dipahami sebagai dualitas, dimana kedua aspek berbeda tersebut –seteru dan sekutu— senantiasa berjalan beriringan saling melengkapi bukan saling meniadakan.” ucap Prof Dwi Marianto.
Hal menarik lainnya, dalam menyikapi sebuah karya seni Prof Dwi Marianto menggunakan analogi boneka Matryoshka –boneka cantik asal Rusia— untuk merefleksikan gagasan bahwa untuk mengamati karya seni, kita harus melakukan pengamatan secara mandalam sampai kepada titik terdasar guna menemukan insight dari sebuah karya. Lalu tugas seorang kritikus lah untuk mentransformasi insight tersebut menjadi sebuah pernyataan yang terdukung dengan fakta dan data yang terangkum sebagai sebuah argumentasi yang bisa disebarkan untuk khalayak luas dan dapat dipertanggungjawabkan. Lebih lanjut Prof.Dr Dwi Marianto mengatakan “Jika kita mampu membuat publik tahu dan menyadari adanya keunikan, keindahan atau sesuatu yang signifikan dari sebuah karya seni, kita dapat membuat publik membela apa yang layak dibela.” tutup Dwi Marianto.
Sementara kurator Galeri Nasional yang juga dosen FSR IKJ, Citra Smara Dewi memberikan paparan tentang “Peran Berkelindan Antara Kurator dan Kritikus.” Dalam paparannya, Citra menjelaskan bahwa peran kurator di Indonesia lahir sejalan dengan maraknya praktek seni rupa kontemporer di era 90-an. Saat itu, istilah kurator mulai dikenal saat “Pameran Gerakan Non-Blok” yang diadakan di Taman Ismail Mardzuki atas inisiasi Dewan Kesenian Jakarta. Lalu di tahun-tahun berikutnya peran Kurator semakin tumbuh subur seiringan dengan boom seni rupa kontemporer Indonesia. “Di era 90-an sangat berbeda situasinya dengan era 1950 hingga 70an ketika kritik seni rupa meramaikan media massa untuk menanggapi segala polemik seni. Mungkin pada saat itu karena kita masih dalam tahap pencarian identitas, identitas tentang dikotomi barat dan timur, kemana kita akan terbawa.” ujar Citra.
Selanjutnya, kehadiran kurator dianggap sangat kuat khususnya dalam penulisan naskah kuratorial sebagai representasi ideologi dan konsep berkarya sang seniman. Sementara di lain sisi, peran seorang kritikus adalah menanggapi sebuah pameran yang diselenggarakan. “Jadi kurator akan bekerja sebelum pameran, sementara kritikus bekerja setelah pameran. Jika kurator pendekatannya internal – beriringan dengan seniman –, kritikus sifatnya outsider” tambah Citra.
Sementara Drs Asmudjo Jono Irianto dari ITB memaparkan topik “Problematik Kritik Seni Rupa Kontemporer”. Dalam paparannya ia hadir dengan perspektif lain. Menurutnya, saat ini bukan hanya di Indonesia, tapi seluruh industri seni rupa, baik di Indonesia maupun Barat sedang mengalami Crisis of Criticism. “Sebetulnya kritik itu mengalami persoalan, kalau seni itu tidak mempunyai batasan yang definitif, bagaimana caranya kita menentukan parameter kualitas.” ujar Asmudjo.
Terlebih lanjut Asmudjo memaparkan “Kita tidak bisa mengoperasikan art critic di Indonesia ini seperti yang diterapkan di Barat, melalui pendekatan Deskripsi, Analisis Formal, Intepretasi dan Judgement. Kita sebagai Art Critic harus menambahkan konteks, karena kalau kita hanya sekedar menulis, problemnya adalah para pembaca atau para kolektor tidak akan memahami paradigma seni rupa kontemporer.” Menurut Asmudjo, situasi di Indonesia sangat berbeda dengan keadaan di barat, dimana seni rupa telah dibudayakan semenjak dini, dimana kegiatan mengunjungi museum adalah kegiatan rutin dan kurikulum seni sudah diajarkan sejak dasar, jadi saat menulis menggunakan 4 pendekatan tersebut akan mudah dipahami oleh masyarakat barat, namun jika diaplikasikan di Indonesia akan ada bagian yang hilang yakni, paradigma dasar seni. Seni sebagai representasi “Peradaban Tinggi” masih belum akrab untuk masyarakat Indonesia secara umum.
Terlebih lagi Asmudjo mengupas problematika kritik seni rupa di Indonesia yang menurutnya tidak ada dialektika, “tendensinya di Indonesia, kritik adalah saling menyerang satu sama lain, bukan untuk merekonstruksi gagasan. Definisi kritik sendiri di Indonesia memiliki makna negatif, karena itu saya lebih senang menyebutnya dengan ulas seni.” tutup Asmudjo.
Sebagai kesimpulan, di era seni kontemporer yang semakin plural, peran kritikus seni sebenarnya sangat dibutuhkan. Sekarang ini karya-karya seni telah dicairkan oleh pasar, dan kebanyakan kritikus berpindah profesi menjadi kurator, karena apresiasi menjadi kurator di Indonesia lebih tinggi dan juga merupakan profesi yang lebih bergengsi, maka dari itu dapat disimpulkan kritikus sendiri itu sebenarnya adalah seorang sekutu dekat, namun akhirnya terabaikan oleh keadaan yang telah berubah, namun tetap tidak menutup harapan kehadirannya akan kembali signifikan di masa depan saat infrastruktur seni rupa Indonesia telah terbangun dengan mapan.