Mengusung teknil cukil metal tradisi dari negaranya, Yasutaka Kitamura menampilkan karya kaligrafi bertema islami.

Pandangan spiritualitas acap kali dimunculkan seniman dalam karya-karyanya. Kita tahu begitu banyak pula seniman yang menciptakan karya yang diinisiasi oleh lembaga-lembaga keagamaan mereka, atau secara khusus dipersembahkan untuk keyakinan spiritualitas mereka. Dari situlah muncul karya-karya “keagamaan” yang memiliki pasar tersendiri.

Ranah ini juga dimasuki oleh Yasutaka Kitamura, perupa dari Jepang yang melakukan eksperimen dengan kaligrafi Islam – meskipun ia memeluk agama Buddha. Menggunakan teknik tradisional Jepang, Choukin (cukil metal), Kitamura memamerkan lima karyanya di Japan Foundation dari 5-22 Februari 2013 dengan tema Trying to See the Invisible.

Spiritualitas berpadu dengan tradisi. Inilah yang menjadikan kelima karya Kitamura terkesan selaras. Terutama juga pilihan sebagian besar objek yang digunakannya: kaligrafi. Bentuk-bentuk kaligrafi telah lama bersepakat dengan teknik-teknik cukil dalam seni rupa. Dengan teknik ini, jalinan kaligrafi bisa dijadikan karya dekoratif yang mengisi ruang, sekaligus teknik cukil juga lebih mudah digunakan untuk membentuk aksara ketimbang wujud makhluk hidup.

Meski terkesan kurang istimewa dilihat dari kaitan antara kaligrafi dan teknik cukil, namun Kitamura menampilkan sesuatu yang baru bagi penikmat seni awam di Indonesia: Choukin. Teknil cukil metal ini berawal dari Arab dan datang ke Jepang pada tahun 1800-an melalui jalur jalan sutra. Seajack itu teknik ini berkembang di Jepang hingga sekarang.

Di Jepang, tak banyak seniman muda yang menguasai Choukin. Bisa dibilang saat ini hanya ada sekitar 20 seniman tua yang bisa melakukan Choukin. Kitamura memiliki ketekunan untuk mempelajari teknik ini salah satunya dilatarbelakangi darah seni keluarganya. Kitamura merupakan keturunan keempat pengrajin seni dekorasi Jepang Kanzashi dan Netsuke (sejak 1893).

Meski memiliki latar belakang keluarga pengrajin seni dekorasi, Kitamura mempelajari Choukin di universitas. “Dan juga kepada pengrajin bernama Shigekazu Hotta selama sepuluh tahun,” ujar Kitamura yang total telah menjalani teknik ini selama 12 tahun.

Ketekunan Kitamura tak hanya sekadar mempelajari teknik semata, namun juga membuat alat-alat sendiri. “Alatnya dia buat sendiri karena tidak dijual, maka seniman yang mempelajari Choukin harus membuat sendiri,” ujar Hashimoto Ayumi, Assistant Director Japan Foundation.

Kitamura sempat memperlihatkan penggunaan alat-alat yang memiliki nama dan fungsi berbeda-beda itu. Dengan pahat berkepala bundar, dia memukul-mukulkan ke atas Ke-bori, yang berfungsi untuk mengukir pada pola yang sudah digambar sebelumnya. Seperti halnya media yang menggunakan logam lainnya, Kitamura juga memerlukan proses pembakaran dan kemudian dicelupkan ke air.

Menurut Ayumi, teknik Choukin di Jepang berkembang pesat pada zaman Edo (1603-1867) untuk membuat berbagai kerajinan dan dekorasi misalnya hiasan gantungan di kimono. Di tangan Kitamura, teknik ini digunakannya untuk membuat karya-karya yang bertema agama Buddha. Barulah ketika ia ke Indonesia pada 2010, Kitamura mengolah objek kaligrafi Islam.

Dari lima karya yang ditampilkannya di Japan Foundation, Kitamura membuat tiga karya kaligrafi dengan media Katakiri-bori (chasework), akrilik di atas pelat aluminium dan pelat tembaga, dan mixed media. Tiga karya kaligrafi itu berjudul Allah, Syahadat, dan Bismillah.

Religiusitas Islam juga mengemuka dalam dua karya instalasinya: A Life Over Someone’s Life No. 3 dan Encroachment. Pada karya A Life Over Someone’s Life No. 2, Kitamura menggunakan bulu ayam yang dicat akrilik putih yang ditumpuk-tumpuk mengelilingi sebuah tulisan Arab, ruuhun, yang artinya nyawa. Lewat karya ini Kitamura ingin menyampaikan bahwa manusia tidak dapat melihat nyawa yang memberi kehidupan, dan lapisan-lapisan bulu ayam itu menggambarkan kehidupan yang berlapis-lapis.

Karya instalasi Encroachment berupa kepala kambing yang terbuat dari daun pandan yang diberi cat akrilik putih yang seolah-olah ditempatkan di atas mazbah. Karya ini menggambarkan ritual kurban pada hari raya Idul Adha. Kesan islami muncul pada tulisan Insya Allah di dalam karya ini.

Ketertarikan seniman kelahiran 1 Mei 1978 ini pada Islam diperdalamnya dengan belajar bahasa Arab di sebuah pesantren di daerah Karawang selama dua tahun terakhir ini. Di pesantren itu, Kitamura mengajar bahasa Jepang yang juga diajarkannya di Sekolah Bahasa Asing JIA di Bekasi.

Dengan membawa teknik kriya tradisi dari Jepang yang tak banyak dikenal di Indonesia, sangat disayangkan karya yang dipamerkan seniman lulusan Tokyo National University of Fine Arts and Music ini terlalu sedikit. Sehingga pengunjung tak banyak melihat eksplorasi apa saja yang bisa dilakukan teknik Choukin. Meski jika dilihat dari situs pribadinya, sejumlah karyanya memperlihatkan objek-objek yang memiliki nilai filosofi Buddha berupa bunga, ikan koi, huruf Zen, dan yang lainnya.

Kesan eksotik tentu saja terasa ketika mereka yang awam melihat karya berteknik kriya tradisi dengan objek bertema spiritual. Dan untuk itulah masih sulit rasanya menyebut karya-karya Kitamura sebagai bentuk rupa yang kontemporer. Meski demikian, pameran ini berhasil memperlihatkan pengenalan teknik perupaan dari negara lain yang layak untuk dijadikan referensi seniman-seniman Indonesia dalam memperkaya ekplorasi penciptaan.