Mengomunikasikan konsep personal kepada publik selalu menjadi pergulatan setiap seniman, terutama pada pemilihan idiom yang digunakannya. Karena inilah ukuran keberhasilan sebuah karya, ketika idiom dalam karya tersebut mampu memunculkan pemaknaan dari hasil pembacaan yang dilakukan penikmat. Dari segi penyampaian konsep, lukisan karya Aidi Yupri yang dipamerkannya dalam pameran tunggal Semesta Terkembang Jadi Buku di Galeri Art:1 Jakarta dari 12-26 Januari 2013 cukup berhasil.

Pemilihan idiom yang dilakukan perupa lulusan Seni Rupa Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini terbilang universal. Sesuai dengan judul pameran yang dikurasi oleh Suwarno Wisetrotomo ini, Aidi memilih idiom-idiom yang berkaitan dengan alam yang linier dengan bahasa ungkap naturalisme kontemporer yang diolahnya. Ia menggabungkan objek pohon, kayu, hutan, awan, pegunungan, dan alam perkotaan seperti jajaran gedung. Objek-objek ini ia susun dan ditampilkan kepada publik seolah-olah merupakan bagian dalam lembaran buku. Di sinilah Aidi secara gamblang memperlihatkan keinginannya untuk menjadikan karyanya sebagai proses pembacaan yang diharapkan mampu bersifat subversif bagi publik.

Tujuan ini terbilang masih belum tercapai. Untuk tujuan pemahaman, karyanya berhasil. Namun untuk sampai kepada proses yang mengusik, jalan ke sana masih terasa panjang. Masih ada kesan aman dan berindah-indah dalam puitisasi idiom objek yang dilakukan Aidi. Jika diibaratkan sebuah puisi, lukisan Aidi adalah liris namun belum sampai pada efek yang menggelisahkan.

Sejumlah liris imaji ini bisa dilihat dalam karya Batang Penyangga (acrylic on canvas, 99 x 110 cm). Lima telapak tangan yang teracung ke atas, di setiap jarinya membentuk batang-batang pohon. Latar belakang berupa langit berwarna jingga. Romantis sekali. Kesan puitis makin diperkuat dengan bubuhan abjad-abjad yang membentuk bayangan di setiap telapak tangan dan ranting-ranting pohon.

Sebagian besar karya perupa kelahiran Magelang, 24 Desember 1981 ini mengolah pohon dan unsur-unsurnya. Idiom pohon merupakan pilihan yang gampang ketika seorang seniman ingin menyampaikan tema tentang alam. Di luar pohon, Aidi memilih objek gedung yang mengesankan suasana kontras dengan suasana sunyi liris pepohonan. Ini terlihat pada karya M.e.m.o.k.o.t.a. (acrylic on canvas, 200 x 195 cm). Dari kejauhan, jajaran gedung-gedung di karya itu tampak hendak runtuh di bagian fondasi dan debu yang berguguran dari bangunan-bangunan itu ternyata berupa rentetan abjad-abjad ketika dilihat dari dekat.

Pemilihan objek pepohonan yang dilakukan Aidi juga terbilang romantis. Kedekatannya pada pohon dan alam dimulai sejak kecil ketika ia bersama kakek dan ayahnya kerap menanam pohon jati di kampung halamannya di Pancuran Mas, Magelang. Lewat kenangan ini, Aidi menilai pohon sebagai sebuah objek yang bersifat reflektif bagi dirinya. “Karya-karya ini, semacam sebuah catatan saya, apa yang saya amati di alam, apa yang saya dapatkan di alam, sebagai media pembelajaran dalam menjalani hidup,” kata Aidi.

Di mata Suwarno sebagai kurator, Aidi merefleksikan pengalamannya ini ke dalam sikap hidup seperti pohon. “Saya kira pertanyaan reflektif ini sangat menarik yang mendorong saya untuk untuk membingkai pameran ini menjadi semesta terkembang menjadi buku,” kata Suwarno merujuk pada buku A.A. Navis berjudul Alam Terkembang Jadi Guru.

Lebih lanjut Suwarno menjelaskan idiom buku pada karya Aidi sebagai objek yang menyimpan pengertian konotatif yang mengisyaratkan pada manusia untuk melakukan pembacaan. “Karena membaca juga bisa membaca buku, bisa juga membaca seluruh isi semesta,” kata Suwarno.

Menampilkan 16 lukisan dan 2 instalasi, Aidi menilai karya-karya dalam pameran tunggalnya ini lebih fokus dibandingkan pameran sebelumnya, “Alam Menggugat” (2010). Waktu itu, lukisan yang berbentuk buku, dua dimensi, hanya satu buah.

Dalam kuratorial Wayan Kun Adnyana di pameran “Alam Menggugat”, Kun menyampaikan hal senada sebagaimana yang disampaikan oleh Suwarno. Dia menerangkan bahwa pada pameran “Alam Menggugat” Aidi telah menjadikan alam sebagai mahaguru kehidupan. Bagaimana Aidi secara sadar berhasrat untuk mendengar keluh kesah, rintih tangis, tutur kebajikan, dan juga segala protes alam pada laku hidup manusia. Bagaimana alam dipahami sebagai kitab kehidupan paling sempurna. Aidi menjumput buku sebagai penanda visual. Buku baik secara denotatif sekaligus konotatif niscaya sebuah medan ilmu pengetahuan yang tiada batas.

Makna itu kemudian diperjelas oleh Suwarno dalam kuratorialnya “Alam Terkembang Jadi Buku”. Pohon ditebang menjadi kertas, kemudian menjadi buku sebagai pengertian denotatif, sedangkan pengertian itu menjadi konotatif karena buku mengingatkan orang untuk membaca semesta yaitu ayat-ayat Tuhan. Misalnya dalam karya buku yang telah diremas, lalu keluar huruf-huruf yang menjelma daun pada Sari Pati (2012). Buku sebagai sumber ilmu pengetahuan mengingatkan asal-muasalnya.

Sebagai pameran tunggal yang tematik, karya-karya Aidi terbilang selaras yang juga tampak pada karya instalasinya. Ini bisa terlihat pada karya Celah Tanpa Batas (2012), yang di dalamnya terdapat jendela-jendela berukuran kecil, di mana pengunjung dapat mengintip ranting-ranting pohon yang semakin lama semakin mengecil. “Kita bisa menaruh jendela di pikiran kita, kita dapat melihat apa yang ada di dalam itu dan menggali pemikiran spiritual, kesadaran ketuhanan,” kata Aidi.

Beberapa pengunjung yang datang dalam pembukaan pameran itu, mengaku puas dan kagum dengan karya dua dimensi Aidi, salah satunya Asikin Hasan. “Aidi menunjukkan bahwa seni lukis gak pernah mati karena dia selalu punya upaya memperbarui dirinya, gak pernah orang bayangkan pelukis bisa seperti ini, tiba-tiba bentuk karyanya seperti buku, biasa kanvas dan datar. Kita masuk ke dalam suatu yang baru dan kita bisa bilang ini dua dimensi. Karena itu, ini sumbangan perkembangan seni lukis yang baru. Saya lihat ini perkembangan yang memberi harapan perkembangan seni lukis masa kini,” ujar Asikin yang juga kerap menjadi kurator di sejumlah pameran seni rupa.

Respon para penggemar seni terhadap karya Aidi cukup apresiatif dari sisi pasar. Terbukti ketika perupa yang pernah menjadi finalis dalam Bandung Contemporary Art Awards #1 itu, berhasil melelang karyanya berjudul Belantara Teks (2010) seharga 60 juta, naik dari harga lukisannya di pameran ini yang berkisar antara Rp30-46 juta. Dengan tambahan pengolahan wacana, bukan tidak mungkin Aidi Jupri bisa menjadikan karyanya lebih kritis dalam menggugah batin para penikmat seni rupa.


aldiyupri1

Celah Tanpa Batas, wood, installation,
variable dimension (10 windows panel), 2012

aldiyupri2

Sari Pati, acrylic on canvas, 140 x 200 cm, 2012

Tabel_Indo