Dua belas perupa Asia bermain-main di wilayah seni dan sains dalam pameran Beast/Bloom For Thee: Biota Etc di Galeri Canna.
Negarawan dan penyair Inggris, Robert Bulwer-Lytton pernah mengeluarkan pendapat bahwa seni dan ilmu pengetahuan menemukan pertemuan dari sisi metode (Art and science have their meeting point in method). Di sinilah kita bisa melihat keunggulan seorang Leonardo Da Vinci yang menurut ahli komputer asal Amerika, Ben Shneiderman, menggabungkan seni dan sains, estetika dan engineering, satu jenis penyatuan yang saling membutuhkan satu sama lain.
Dari hubungan kekal antara sains dan seni inilah, Galeri Canna menggelar pameran Beast/Bloom For Thee: Biota Etc dari 23 Februari sampai 23 Maret 2013. Dikuratori oleh Josef Ng, pameran ini menampilkan karya 12 perupa Asia. Mereka adalah Agan Harahap (Indonesia), Agus Suwage (Indonesia), Herman Chong (Singapura), HONF (Indonesia), Manit Sriwanichpoom (Thailand), Rodel Tapaya (Filipina), Sakarin Krue-on (Thailand), Sudsiri Pui-ock (Thailand), Sun Yuan & Peng Yu (China), Venzha dan v.u.f.o.c (Indonesia), Yasmin Sison (Filipina), dan Zhao Renhui (Singapura).
Dalam catatan kuratorialnya, Josef Ng menjelaskan bahwa tema ini memperlihatkan pandangan reflektif terhadap hubungan antara manusia dan alam. Terutama saat ini ketika pengaruh manusia terhadap apa yang tersisa di alam, makin meningkat, memunculkan asimilasi, impersonasi, dan eksploitasi.
Bertolak dari pandangan itulah, Josef menyodorkan kurasi atas karya-karya seni yang memperlihatkan pencarian atas artikulasi berbagai macam narasi dan menciptakan dialog yang melintas batas. “Tidak hanya tentang habitasi fisik, para seniman ini merespon terhadap identitas, budaya massa dan populer, dan politik melalui bentuk-bentuk kehidupan non-manusia dalam bentuk perilaku, autobiografi, mitologi, atau bahkan satir tak nyaman atas kecepatan brutal dan dorongan kemajuan ketika alam semakin diartikulasikan, ditemukan, atau dipertajam,” tulis kurator asal Bangkok yang lama tinggal di Singapura ini.
Pandangan kuratorial Josef ini kebanyakan ditampilkan para seniman dengan karya-karya berobjek binatang. Relasi antara manusia dan hewan ini tampil dalam dua karya Agus Suwage: The Dogfather (2012, 86,5 x 62 cm, water color and tobacco juice on embossed paper) dan Film The Dogfather. Kedua karya ini memperlihatkan sosok Agus dan anjing peliharaannya yang relasi antara keduanya tampak jelas di bagian karya film. Di film itu diperlihatkan bagaimana Agus tengah memainkan saksofon ditemani lolongan anjingnya.
Kedekatan manusia dan hewan peliharaannya juga ditampilkan Agan Harahap dalam karya Our Beloved dengan media Digital C-Print on Paper yang berjumlah 70 panel foto, yang masing-masing berukuran 20,3 x 30,5 cm. Di masing-masing foto itu, tampak nisan-nisan binatang peliharaan. Foto-foto yang menampilkan sosok-sosok binatang (buaya, singa, hingga monyet) juga ditempuh oleh Manit Sriwanichpoom dalam sembilan karyanya.
Kemunculan sosok binatang dalam media lainnya dimunculkan oleh Robert Zhao dengan menggunakan tiga panel media archival piezographic dalam karya serinya Where we come from and where we are going. Begitu pula pada karya Sakarin Krue-on, video animasi Balance of Terror berdurasi 1,20 menit yang ditampilkan di dalam sebuah kamar gelap. Di depan layar, ditempatkan semacam kolam berisi oli, yang memantulkan bayangan animasi anjing-anjing berwajah seram.
Objek yang menceritakan keberadaan alam secara lengkap – binatang dan tumbuhan – dimunculkan Rodel Tapaya dalam karya lukisan akrilik di atas kanvas berjudul Multipetalled Beauty, 244 x 426 cm.
Instalasi yang ditampilkan Venzha + v.u.f.o.c menjadi satu-satunya karya yang menjadikan tanaman sebagai objek. Berjudul An Extraterrestrial Study Center, karya instalasi ini menggunakan sebuah mobil VW Wagon bercat hitam, yang di dalamnya ditempatkan sejumlah pot-pot tanaman perdu yang dihubungkan ke sebuah monitor komputer yang memperlihatkan grafik seperti layaknya monitor pengukur detak jantung.
Aspek sains tampak pula di karya HONF yang membuat satu ruang berisi instalasi yang merangkai layar televisi datar terhubung dengan cawan-cawan petri yang berisi sampel-sampel acak yang berkaitan dengan kehidupan manusia – air selokan depan galeri, air kencing, air cucian piring, dan lain sebagainya.
Meski “seolah-olah”mengambil bahasa ungkap sains, sejumlah karya yang ditampilkan dalam pameran ini memiliki batas nyata bahwa yang diolah para seniman ini dan dimunculkan kepada publik, adalah karya yang memang tidak untuk dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Karya-karya ini berkeinginan untuk mengusik kesadaran penikmat seni tentang sejauh mana relasi manusia masa kini dengan alam dan mempertanyakan apakah relasi tersebut telah berjalan secara harmoni atau tidak.
Sebagian konsep karya berhasil menampilkan situasi tersebut, baik secara lugas maupun implisit. Namun secara garis besar, pameran ini menampilkan karya-karya yang lebih kuat dan menonjol secara konsep, namun tidak dari segi nilai estetika.
Atas nama konsep pula, penempatan caption pada masing-masing karya dilakukan dengan cara mapping yang ditempelkan di dinding. Sehingga ketika pengunjung ingin mencari tahu karya siapa yang tengah ditontonnya, mereka harus mendatangi peta di salah satu bagian dinding. Cara ini sebenarnya menyulitkan lalu lintas penikmatan seni.
Menikmati ide dan konsep – apalagi yang nakal dan unik – memang pengalaman yang menyenangkan dan menjadi gejala seni rupa kekinian yang banyak dilakukan perupa-perupa muda. Di sinilah pameran Beast/Bloom For Thee: Biota Etc ini menjadi salah satu contoh dan semoga saja pameran ini tidak hanya berakhir sebagai sebuah wacana sesaat semata.