Lewat projek ini, seniman asal Filipina, Kristoffer Ardeña mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seputar hubungan kurator dengan seniman dan galeri yang menaungi seniman.
“You might ask an artist to explain his art, or ask a poet to explain his poem. It defeats the purpose. The meaning is only clear thorough the search.” (Rick Riordan, novelis The Last Olympian)
Ungkapan di atas sangat tepat untuk menggambarkan ide dasar munculnya proyek seni bertajuk Dear Curator Curate Me (DCCM) yang digarap oleh seorang seniman berdarah Filipina, Kristoffer Ardeña, yang juga seniman residensi Roma Arts sebuah lembaga non-profit yang didirikan pada tahun 2011 oleh Roy Voragen, penulis seni asal Belanda yang tinggal di Bandung.
Membawa 15 video karya sejumlah seniman yang berasal dari kota dan negara yang berbeda, di antaranya bahkan tidak dikenal (anonim), Kris menantang kurator-kurator dunia untuk membaca ulang dan menuliskan wacananya atas karya-karya tersebut.
Tujuannya sederhana. Kristoffer, yang mengenyam pendidikan seni rupa di Jerman dan kini mengembangkan karier seninya di Spanyol, ingin merangkum suatu platform yang ideal tentang konsep kuratorial di dalam medan seni rupa. Kris seakan-akan menjadikan proyek ini sebagai media untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya seputar hubungan kurator dengan seniman dan galeri yang menaungi seniman.
“Proyek ini tidak berpura-pura untuk mengevaluasi seluruh spektrum praktik kuratorial atau mengkritik pengembangan sejarah kuratorial. Kita tahu, kurator menggunakan strategi yang berbeda-beda. Dan bukan tugas saya sebagai seorang seniman untuk membuat analogi yang lebih umum, namun fokus pada dorongan kreatif. Sehingga dengan menyediakan video-video yang telah dipilih, saya bisa mengkatalisasi aspek tertentu dari keterampilan ini,” ujar Kristoffer.
Sejak dimulai, wacana ke-15 karya tersebut akhirnya berkembang luas seiring dengan bertambahnya pembacaan ulang oleh berbagai kurator dari berbagai negara. Dan kini, proyek yang sama hadir di Indonesia. Kris mempersilakan Selasar Sunaryo Art Space untuk memamerkan seluruh karya video yang sudah ia pilih secara acak, untuk dibaca ulang oleh kurator Indonesia. Menanggapi tantangan Kris, Selasar Sunaryo kemudian menggandeng Rizky Lazuardi dan Chabib Duta Hapsoro sebagai kurator.
Kris sendiri menolak untuk disebut sebagai seniman. Hal ini dapat dipahami karena secara fisik karya Kris tidak tampak dalam pameran ini. Namun mengutip perkataan Kris pada saat diskusi, kita akan mengerti bagaimana dia memposisikan dirinya. “Saya bekerja dengan konsep, memformulasi ide-ide sehingga ia mengkatalis. Cair. Saya tidak menyarankan, tapi memulai proyek ini dan membiarkannya mengalir,”katanya.
Pembacaan Rizky terhadap video-video yang dibawa Kris akhirnya melahirkan pameran seni yang diberi judul Ghost 2013 dan dipamerkan di Ruang Sayap Selasar Sunaryo sejak 19 Mei hingga 8 Juni 2013. Kata “hantu” dipilih untuk menggarisbawahi tawaran konseptual Kris dengan menjadikan pameran sebagai peristiwa seni itu sendiri. Semula, Rizky dan Chabib sempat ragu untuk melanjutkan pameran tersebut karena dianggap bertolak belakang dengan gaya kuratorial yang biasa mereka lakukan.
“Biasanya dalam pameran, kita akan mencari hubungan antar karya. Apakah ada kesamaan subjek, tahun pembuatan, kesamaan gerak, ataupun lainnya. Namun, dari ke-15 video yang dipilih Kris terlihat bahwa semuanya dipilih secara acak,” kata Rizki.
Misalnya, salah satu karya karya seniman asal Amerika Serikat, Perry Bard, berjudul Man With a Movie Camera: The Global Remake (2007). Karya tersebut dibuat dengan melibatkan partisipasi publik – dengan mengunggah video ke sebuah situs internet – dari berbagai penjuru dunia yang isinya menggambarkan interpretasi mereka terhadap naskah asli film yang dibuat oleh sutradara asal Rusia, Dziga Vertov, A Man with a Movie Camera (1929). Karya ini mencoba menunjukkan sebuah gagasan akan seniman yang bergerak di wilayah konsep, meminjam masa lalu, dan memanfaatkan teknologi untuk menjadi milik bersama.
Karya Bard sangat tak berhubungan dengan karya yang digarap oleh Elina Talvenesaari yang berjudul How to Pick Berries. Video ini dengan jelas menggambarkan persaingan warga lokal dan asing yang memanen buah berry liar di Finlandia. Ada pula karya Michelle Dizon dari Amerika Serikat berjudul Empire. Karya tersebut menyoroti kekacauan negara Filipina akibat televisi.
“Jelas tampak bahwa melalui pameran ini para seniman melakukan apropriasi dan meminjam tanda dari karya sebelumnya untuk mendiskusikan masalah yang sama, seperti yang menjadi tujuan awal ketika penanda ini diciptakan,”kata Rizki.
Agar pameran ini menarik perhatian banyak pengunjung, Rizki menyajikannya dengan menggunakan media kemasan yang berbeda-beda. Ada yang ditampilkan menggunakan televisi model lama berukuran 14 inci, televisi layar datar, mesin pemutar slide film, hingga ke layar telepon genggam.
Dari 15 video yang diberikan, Rizky mengkurasinya menjadi 12 video. Ia lalu mengundang dua seniman Indonesia – Adytama Pranada Charda dan Theo Frits Hutabarat – untuk ikut bergabung. Chardra menampilkan karya berjudul Measure of Coercion, sementara Theo Frits tampil dengan karya berjudul The Scandinavian Summer.
“Keduanya cocok untuk diikutsertakan dalam wacana pinjam-meminjam tanda dalam karya video. Keduanya juga merepresentasikan generasi yang memiliki kekhawatiran absennya ingatan kolektif akibat begitu deras dan besarnya arus informasi, keadaan yang memaksa mereka menghadirkan tubuh untuk muncul dan mengalami kehadirannya dalam sejarah,” kata Rizky.
Seniman Krisna Murti, yang juga membuka pameran, mengaku sempat kesulitan untuk memahami konsep yang ditawarkan Kris. “Proyek DCCM berhasil mengembuskan isu baru dalam dunia seni kita, dengan melanggar mitos-mitos dan hirarki dunia seni secara halus, namun tetap subversif,”katanya.
Bagi Anda yang berencana untuk mengunjungi pameran DCCM, disarankan untuk memilih waktu ketika Anda memiliki waktu yang cukup luang, karena beberapa dari karya video yang ditampilkan berdurasi cukup lama.