(Foto: Istimewa)

Setelah tahun lalu publik dicengangkan dengan didaulatnya Bob Dylan sebagai pemenang Nobel Sastra 2016, tahun ini bisa jadi penikmat literasi lebih berdamai dengan terpilihnya Kazuo Ishiguro sebagai penerima Nobel Sastra 2017.

Kazuo Ishiguro mengalahkan kandidat-kandidat “berat” lainnya seperti Ngugi wa Thiong’o penulis asal Kenya yang menelurkan buku pertamanya Weep Not, Child tahun 1964 yang berkisah tentang dampak negatif dari kolonialisme dan imperialisme. Weep Not, Child menjadi novel pertama berbahasa Inggris yang ditulis oleh penulis asal Afrika Timur. Sedangkan bukunya yang kedua The River Between menjadi bacaan wajib buat siswa/wi sekolah menengah di tempat asalnya.

Ada juga Haruki Murakami, idaman sekaligus inspirasi penulis-penulis muda dunia (termasuk Indonesia) dimana satu yang paling populer di antara buku-bukunya yang lain adalah 1Q84. Juga Margaret Atwood penulis dan penyair asal Kanada yang sudah 5 kali menjadi nominasi Booker Prize dan memenangkan penghargaan tersebut tahun 2000 lewat buku yang berjudul The Blind Assassin.

Kazuo Ishiguro adalah penulis Inggris kelahiran Jepang yang sudah menulis 7 novel yang dua diantaranya telah difilmkan seperti The Remains of The Day (1993) dimana Anthony Hopkins dan Emma Thompsons bermain dalam film tersebut dan Never Let Me Go (2010) yang karakter-karakternya dimainkan oleh Keira Knightley dan Andrew Garfield.

Buku-buku Kazuo Ishiguro (Foto: Istimewa)
Buku-buku Kazuo Ishiguro (Foto: Istimewa)

Beberapa kritikus membandingkan karya-karya Kazuo dengan penulis kenamaan lain seperti Salman Rusdhie, Jane Austen atau Henry James dimana karya dari para penulis tersebut memiliki tema yang kuat dengan alur dan penokohan yang begitu mengikat pembacanya.

Buat pembacanya, karya-karya Kazuo sangat manusiawi, membicarakan kelemahan sekaligus kekuatan seorang manusia secara terbuka dan tanpa menghakimi. Setiap karakter akan dengan pelan-pelan menguliti topeng dan menampakkan wajah aslinya kepada pembaca di waktu yang tepat.

Selain menulis fiksi, Kazuo juga aktif menulis lirik lagu jazz untuk Stacey Kent yang dilakukan secara duet dengan suami sang musisi sendiri, Jim Tomlinson. Di tahun 2009, album yang dikerjakannya Breakfast on The Morning Tram mendapat nominasi Grammy Award untuk kategori Best Jazz Vocal Album.

Kazuo menyumbang 4 lagu untuk album tersebut. The Ice Hotel adalah lirik lagu yang sarat metafora. Menceritakan tentang ajakan seorang kekasih kepada pasangannya untuk berkunjung ke Ice Hotel karena Paris dan tempat-tempat tropis sudah biasa. Fakta kalau Ice Hotel memiliki desain yang berbeda setiap tahunnya adalah salah satu metafora dari lirik lagu ini.

Sama seperti So Romantic atau I Wish I Could Go Travelling Again yang menyimpan cerita-cerita yang tersirat. Selain itu, Kazuo juga menulis skenario di pertengahan 90-an sampai awal 2000-an.

Jadi kalau ditanya kenapa Kazuo Ishiguro bisa memenangkan Nobel Sastra, bisa jadi karena karya-karyanya yang menyentuh banyak aspek dan lingkup kehidupan.