Ada tren menarik beberapa tahun terakhir, yakni melonjaknya harga karya-karya seni high-end Tiongkok dari abad ke-20 dan ke-21. Karya-karya tersebut kini mendadak diburu.
Ada sejumlah faktor penyebab fenomena itu, di antaranya kualitas karya seni Tiongkok yang ditawarkan, ekspansi pasokan karya para seniman Jepang, Korea, dan Asia Tenggara; serta terbukanya pasar Barat bagi nama-nama besar seniman Tiongkok.
Dua pasar utamanya, dan kini jadi pasar seni internasional utama di Asia, adalah Hong Kong dan Beijing.
Baca juga Pasar Seni Rebound, Tiongkok Ada di Puncak
Karya-karya high-end Tiongkok dipasang di galeri-galeri besar Hong Kong; seperti Gagosian, Perrotin, Zwirner, Hauser & Wirth, yang menarik para miliuner Tiongkok. Balai lelang Phillips asal London pun berekspansi ke Hong Kong, Sotheby’s juga mengadakan pekan penjualan secara marathon, bahkan Christie’s mengklaim 9% turnover total karya seninya berasal dari Hong kong.
Adalah Beijing Poly Auction yang pada Desember 2017 mengejutkan dunia seni rupa setelah berhasil menjual karya Qi Baishi (1864-1957), Twelve Screens of Landscapes (1925) lewat lelang seharga US$145 juta atau lebih dari Rp2 triliun. Seorang kolektor dari Tiongkok yang memenangi lelang.
Selain karya seni Tiongkok termahal, Twelve Screens of Landscapes juga jadi karya seni Tiongkok pertama yang terjual dengan harga di atas US$100 juta.
Baca juga Fang Gallery Representasikan Seni Rupa China di Pasar Indonesia
Satu set lukisan tersebut terdiri dari 12 bingkai. Masing-masing bingkai yang berukuran 180 x 47cm menggambarkan pemandangan indah. Para pengamat meyakini rangkaian lukisan ini dibuat setelah Qi bepergian keliling Tiongkok.
Qi Baishi membuat dua Twelve Screens of Landscapes. Pertama, buatan tahun 1925, saat Qi berusia 62 tahun. Lukisan ini dijadikan kado untuk ulang tahun seorang dokter terkenal di Beijing, Chen Zilin.
Set Twelve Screens of Landscapes (1925) tersebut pertama didisplay pada April 1954 saat pameran tunggal yang diadakan Asosiasi Seniman Tiongkok. Belakangan dipajang di pameran memorial yang menampilkan karya-karya Qi pada 1958, setahun setelah sang seniman meninggal dunia. Masterpiece ini kemudian disimpan Xiuyi Guo, murid perempuan Qi hingga akhirnya dilelang di Poly Auction.
Twelve Screens of Landscapes yang satu lagi dibuat pada 1932 sebagai kado untuk jenderal Kuomintang dari Sichuan, Wang Zuanxu. Twelve Screens of Landscapes (1932) kini disimpan di Chongqing Museum.
Baca juga Mencari Pencerahan di Pekan Seni Jogja
Balai lelang Christie’s Hong Kong pada November 2017 berhasil menjual The Song of the Pipa Player (1945) karya Fu Baoshi seharga US$26,2 juta atau setara Rp364 miliar. Enam tahun sebelumnya, pada 2011, balai lelang seni Hanhai di Beijing menjual karya maestro ini, Chairman Mao’s Poetry Octavo Volumes, senilai US$36,2 juta.
Fu Baoshi (1904-1965) adalah salah satu tokoh Lukisan Modern Tiongkok. Dia kerap menggunakan puisi dan cerita rakyat sebagai dasar lukisannya. The Song of the Pipa Player itu diangkat dari puisi berjudul sama, ditulis pada 816 oleh Bai Juyi (772 – 886 M), penyair terkenal dan pejabat dinasti Tang.
Lukisan ini menunjukkan Fu mendobrak pakem lukisan tradisional Tiongkok untuk menciptakan sesuatu yang menarik dan berbeda walau tak meninggalkan akar budayanya. Baoshi juga menyelipkan pendapat politiknya di karya-karyanya.
Selain Fu Baoshi, pasar dalam negeri Tiongkok juga menghasilkan duit jutaan dolar dari karya-karya terbaik Li Keran (1907-1989) dan Qian Weicheng (1720 – 1772). Hanya sekitar 12 hingga 19 persen turnover lelang mereka dihasilkan di Hong Kong, sedangkan 80 hingga 88 persennya dihasilkan di Daratan Tiongkok.
Karya seniman kontemporer Cui Ruzhuo, 74 tahun, juga termasuk mendadak dicari kolektor asal Tiongkok walau dia tak masuk dalam “skena internasional”. Drawing-nya menggambarkan pemandangan yang terinspirasi para maestro Tiongkok. Separuh karyanya terjual di Hong Kong dan separuh lagi di Daratan Tiongkok.