Jakarta Biennale 2017, Pameran seni

Lebih dari 50 seniman akan berpartisipasi  dalam JIWA: Jakarta Biennale 2017. Acara seni rupa dua tahunan sejak 1974 itu akan berlangsung pada 4 November hingga 11 Desember 2017, berpusat di Gudang Sarinah  Ekosistem, Pancoran, Jakarta  Selatan.

Sejak Januari 2017, tim artistik JIWA: Jakarta Biennale 2017 melakukan penelitian kuratorial dengan mengunjungi beberapa kota di Indonesia dan kota-kota di luar negeri. Mereka bertemu para seniman dan pelaku seni lainnya yang terkait persiapan JIWA: Jakarta Biennale 2017.

Yayasan  Jakarta  Biennale bersama tim kurator yang terdiri dari Melati Suryodarmo (Direktur Artistik), Annissa Gultom, Hendro Wiyanto, Philippe Pirotte dan Vít Havránek akhirnya memilih 50-an seniman, di antaranya:

Abdi Karya, Afrizal Malna,Aliansyah Caniago, Darlane Litaay, Dolorosa Sinaga, Hanafi, I Made Djirna, Marintan Sirait, Rama Surya, Ratu Saraswati, Semsar Siahaan, Siti Adiyati, Wukir Suryadi, dan Yola Yulfianti.

Sedangkan nama-nama seniman luar negeri antara lain Alastair McLennan (Irlandia Utara), Ali Al-Fatlawi & Wathiq Al-Ameri (Swiss), Arin Rungjang (Thailand), Chiharu Shiota (Jepang/Jerman) Choy Ka Fai (Singapura), Dineo Seshee Bopape (Afrika Selatan), Eva Kotátková  (Republik Ceko) Gabriela Golder (Argentina), Imhathai Suwatthanasilp (Thailand), Jason Lim (Singapura), Karrabing Film Collective (Australia), Keisuke Takahashi (Jepang), Kiri Dalena (Filipina), Luc Tuymans (Belgia), Robert Zhao (Singapura), Vasil Artamonov & Alexey Klyuykov  (Republik Ceko), dan Willem de Rooij (Belanda).

Jakarta  Biennale 2017 akan menghadirkan  konsep JIWA yang dapat dimaknai sebagai daya hidup, energi, semangat,  yang merupakan dorongan hakiki pada individu, kolektivitas, masyarakat, benda-benda dan alam.

Lewat JIWA: Jakarta Biennale 2017, akan dijumpai berbagai  ragam  hubungan yang menggugah sensibilitas, rasa-merasa, dan mengayakan cakrawala intelektual kita. Dalam konteks seni dan budaya kontemporer di sekitar kita, perbincangan tentang  JIWA tentu  memiliki implikasi politik yang nyata.

Dengan ketertarikan awal pada perjalanan sejarah seni rupa Indonesia, kajian biennale ini diupayakan  dapat menemukan keterhubungannya dengan masa kini. Caranya dengan mengamati berbagai  jalur silsilah budaya dalam sistem kepercayaan  dan negosiasi, sirkulasinya, serta menelusuri lagi polemik yang muncul pada tokoh dan peristiwa seni, termasuk kritik yang tersembunyi atau terlupakan.

Demi mempertemukan karya dengan lapisan masyarakat yang lebih luas, biennale kali ini kerja sama akan dijalin dengan beberapa museum di Jakarta,  seperti Museum Sejarah Jakarta,  Museum Seni Rupa dan Keramik, serta Museum Wayang.