Gelaran Jakarta Biennale telah dimulai sejak pembukaan pada 4 November 2017 kemarin. Gempita seni rupa yang didengung-dengungkan inimasih hangat-hangatnya. Bayangkan saja, ada 51 seniman memamerkan karya-karyanya di tiga ruang publik; Gudang Sarinah Ekosistem, Museum Sejarah Jakarta dan Museum Seni Rupa & Keramik.
Kesemuanya merespon “Jiwa” sebagai tema sentral dari Biennale Jakarta 2017. Jiwa bisa dimaknai sebagai semangat yang terwujud dalam setiap unsur kesenian, ranah imajinasi dan penciptaan dalam ruang dan waktu. Jiwa sebagai semangat berarti jiwa sebagai identitas dan salah satu upaya menghadirkan identitas ini adalah melihat kembali sejarah dan mencoba melihat kembali kisah-kisah yang terlupakan.
Baca juga Jakarta Biennale 2017 Libatkan 50 Seniman
Salah satu catatan sejarah yang tak ingin ataupun jangan sampai dilupakan adalah karya-karya Semsar Siahaan yang kritis dan sarat dengan pesan-pesan moral. Semsar selalu jatuh cinta dengan masalah-masalah kemanusiaan dan rakyat-rakyat kecil yang tertindas. Sehingga karya-karya yang dia hasilkan juga selalu menceritakan mengenai kesengsaraan dan orang-orang kecil yang selalu menjadi korban dari pertarungan polltik.
Selain lukisan-lukisan kontroversialnya, rekaman catatan Semsar dan publikasi mengenai aksi berkeseniannya menjadi karya yang menarik dalam rekam Biennal Jakarta 2017 ini. Tentunya tidak ada yang bisa melupakan aksi Semsar di Biennale Jakarta IX tahun 1994 lewat karya instalasinya berjudul Penggalian Kembali bagaimana Semsar mengingatkan kita mengenai para korban kekerasan politik selama periode Orde Baru.
Jiwa dalam Biennale Jakarta 2017 tidak melulu menggambarkan interaksi manusia yang sarat konflik tetapi juga manusia dengan penciptanya, hubungan spiritual melalui sistem kepercayaan ataupun kepada yang Esa. Maka, jika Semsar Siahaan mengingatkan kita kepada jiwa sejarah yang dulu sempat terluka (dan sampai sekarang masih terluka?), seniman asal Afrika Selatan Dineo Seshee Bopape merespon tema jiwa secara spiritual lewat Ke Mollo.
Baca juga Jakarta Biennale 2017 Usung Tema “Jiwa”
Dineo membangun “pemujaannya” lewat tumpukan bata merah yang disusun menyerupai piramida melingkar dengan tempelan kerang dan nyala api pada puncak-puncaknya. Sedangkan di sisi luarnya ada daun pisang yang melingkari susunan tersebut. Penggambaran ini adalah sebagai bentuk terjemahan visual Dineo ketika Musa bertemu Tuhan dalam Alkitab.
“Tanah melambangkan kehidupan sedangkan api melambangkan sesuatu yang sifatnya spiritual,” jelas Dineo. Ada nuansa kehangatan yang familiar saat kita berada dekat pada Ke Mollo. Atmosfer magis yang tak terdefenisikan dan seolah mengingatkan apakah Anda sudah berdoa atau belum hari ini?
Karya-karya yang menjadi catatan menarik lainnya adalah Perkenalan Pertama dengan Bahasa miliknya Hanafi dimana ada dinding dengan ujung-ujung pensil yang mencuat dan siap “menusuk” Anda saat melewati dinding tersebut. Tidak hanya “tantangan” tertusuk atau tidak saja, Hanafi juga mengajak kita mencicipi petualangan bersama jaket pensil dan menyusuri tembok kosong kemudian menemukan “catatan” apa yang berhasil kita tinggalkan usai melangkah.
Baca juga Subjektivitas Tubuh Melati Suryodarmo
Jiwa Jakarta Biennale 2017 akan diisi dengan performance art dari para seniman yang terlibat. Seperti hari ini misalnya, akan ada performance art workshop dari Alastair MacLennan di Gudang Sarinah Ekosistem Area pukul 13.00 – 19.00 WIB, Abdi Karya di Gudang Sarinah Ekosistem Hall B pukul 14.00 – 18.00 WIB dan Jason Lim di Gudang Sarinah Ekosistem Hall B pukul 14.00 – 19.00 WIB. Pameran ini bisa dinikmati umum sampai dengan 10 Desember 2017.