Buku "Gado-Gado Kredo", karya Herry Gendut Janarto. (Foto: Jacky Rachmansyah)

 

“Dengan menulis puisi humor berarti saya menerima dua tantangan sekaligus. Pertama, saya harus berani, atau tepatnya memberani-beranikan diri, masuk ke dalam rimba belantara sastra yang dikenal wingit, angker. Kedua, larik-larik puisi yang saya tulis haruslah lumayan kuyub bernuansa jenaka atawa beraroma humor.”

Herry Gendut Janarto memang bukan penyair. Ia dikenal sebagai penulis buku-buku biografi,  dari grup lawak Bagito sampai Teater Koma, dari Didik Ninik Thowok sampai Umar Wirahadikusumah. Itulah mengapa poin pertama pernyataannya atas buku kumpulan puisi yang diluncurkan pada Kamis malam, 27 Oktober 2016, di Bentara Budaya Jakarta, menggambarkan kenekatan, juga semacam ketahudirian.

Perasaan ini juga bisa dilacak dalam beberapa karya puisinya di buku Gado-Gado Kredo. Lihat saja bagaimana ia membuka puisi Kelas Mujair: jelek-jelek begini aku ini resmi masuk bilangan kaum penyair. Atau bagaimana ia khawatir pada keterbatasan kemampuannya sendiri untuk memerangkap momen puitik ke dalam puisi. Aku pantas was-was karena puisiku taklah seindah warna aslinya. Baris itu menutup Antara Capri dan Bali, yang berisi tentang ketakjuban si penyair terhadap eloknya dua pulau tersebut.

Dalam 101 puisi di bukunya, perasaan sadar diri atas ke-bukan-penyair-annya, ia arahkan pada upaya main-main. Upaya melucu. Humor, menurut Herry, membuatnya rileks, gembira, toleran, lentur dalam memandang hidup. Pengalaman menerima humor sebagai pegangan hidup ini terjadi tatkala dirinya harus berurusan dengan stroke ringan, asam urat, obesitas, selama dua tahun terakhir, kurun waktu yang juga merupakan masa penciptaan puisi-puisi di buku ini.

“Ya, humor jualah yang menyelamatkan saya,” katanya.

Namun Herry tidak mendaku dirinya membuat sesuatu yang baru. Ia sadar betul bahwa puisinya berutang pada karya-karya penyair senior yang lebih dulu bermain dengan gaya humor, seperti Joko Pinurbo atau Remy Sylado. Malah, kita juga bisa menemukan karya yang menjurus ke puisi mantra a la Sutardji Calzoum Bachri. Judul puisi itu Belajar Mengeja, begini bunyinya:

o-pa-pa o-ma-ma

o-ba-ma o-sa-ma

o-me-ga o-ge-ma

o-bla-di o-bla-da

o-duda o-janda

o-na-ni o-ni-na

o-ge-li o-le-ga

o-la-gi o-gi-la

Humor-humor Herry juga banyak yang merangkul kebersahajaan humor sufi. Dalam beberapa karya, ia bermain dengan pemikiran-pemikiran hidup serta religiositas.

Secara umum, kita bisa mendapati Herry masih gemar bermain bunyi. Rima-rima di ujung baris, sebagaimana pada puisi lama, hampir bisa ditemukan di seluruh puisi Herry. Entah ia menganggap itu lucu atau ia masih terjebak dalam anggapan paling lapuk soal puisi.

Dan seperti seorang stand-up comedian, juggling kata serta pemutarbalikan logika (yang ia pakai untuk menafsir ulang pepatah, misalnya) berujung pada sebuah punchline. Begitu tiba di sana, kita bisa tertawa, merasa tidak enak sebagaimana melihat pelawak yang gagal melucu, atau malah jadi memikirkan banyolan Herry dengan serius. Siapa pun yang tahu lagu Imagine, niscaya tertohok oleh puisi Barangkali Saja, I.

John Lennon dengan syahdu lantunkan tembang Imagine, karya masterpiece-nya

Barangkali saja, David Chapman lalu mewujudkannya dengan
dorrr sepucuk pistol

Kita bisa suka atau tidak suka, menyebut puisi Herry sebagai puisi atau bukan. Tapi malam itu, Herry tampak sumringah. Ia kelihatan betul-betul merayakan saat-saat ia menjadi penyair, kalau boleh ia meminjam sebutan itu.