Meledaknya pasar seni rupa Asia di awal 2000, khususnya seni rupa kontemporer Cina, ikut berdampak pada perkembangan seni rupa Indonesia. Kolektor seni kian ramai membicarakan seniman-seniman Indonesia, diikuti melejitnya harga karya-karya mereka di balai lelang. Seniman-seniman Indoneia pun mulai banyak yang diundang untuk berpameran ke berbagai perhelatan seni internasional seperti art fair dan biennale di Cina, Hongkong, dan Singapura.
Angin segar itu tentu mengembalikan gairah para seniman Indonesia. Setidaknya, dalam setahun diperkirakan ada 6000 seniman lahir dari kantong-kantong instansi pendidikan seni di berbagai kota. Sayangnya, hanya 10 persen dari mereka yang ‘beruntung’ dan berhasil menjual namanya di ranah seni dunia. Sisanya, masih terus berusaha keras setidaknya untuk bisa ‘terlihat’.
“Indonesia adalah negara terbesar di Asia Tenggara, jumlah senimannya jauh lebih banyak dibanding negara-negara tetangganya. Sudah seharusnya, event-event seni rupa paling akbar di Asia Tenggara diadakan di Indonesia. Tapi justru negara terkecil, Singapura, yang sukses mengadakan art fair dan biennale terbesar di regional ini,” keluh dr. Oei Hong Djien, tokoh seni rupa di Indonesia.
Kini , galeri-galeri seni kian menjamur di Singapura. Negara itu pun menjadi tujuan utama para seniman-seniman Asia yang ingin go international. Kuncinya, kata dr. Oei, adalah kemapanan infrastruktur seni mereka yang sayangnya tidak dimiliki Indonesia. “Seluruh stakeholders seyogyanya bersatu, bahu-membahu mewujudkan infrastruktur seni Indonesia jika tak ingin tertinggal dari negara-negara Asia lainnya,” kata dr. Oei.
Kesadaran yang sama juga mendasari aksi sembilan pengusaha sukses di Indonesia untuk memunculkan proyek revitalisasi Kota Tua Jakarta yang kemudian mendorong mereka untuk mendirikan PT Pembangunan Kota Tua Jakarta (Jakarta Old Town Revitalization Corp – JOTRC) dan Jakarta Endowments for Art & Heritage (JEFORAH). Tujuan utamanya sederhana, yaitu “memulihkan kembali kawasan Kota Tua Jakarta yang telah mengalami pelapukan dan mengembalikan identitasnya sebagai the center of excellence,” ujar CEO JOTRC dan JEFORAH, Lin Che Wei.
Akan tetapi, mereka tidak menjadikan kawasan Kota Tua semata-mata sebagai pusat museum, kawasan untuk mengenang dan mempelajari sejarah. JOTRC dan JEFORAH justru menghidupkannya dengan cara yang lebih modern. Salah satunya dengan mengalihfungsikan lantai dua bangunan tua bersejarah Kantor Pos Fatahillah sebagai Jakarta Contemporary Art Space. Ruang seluas 1.182 meter persegi itu didedikasikan untuk mendukung seniman-seniman kontemporer Indonesia yang kekurangan ruang untuk memamerkan karya-karyanya, sekaligus mencatat pencapaian kreatif mereka yang belum pernah tercatat dalam sejarah.
Pada malam peresmian Jakarta Contemporary Art Space yang berlangsung pada 13 Maret 2014, sebanyak 47 seniman kontemporer Indonesia akan memamerkan karya-karya terbaik mereka dalam pameran bersama bertajuk “Center of Excellence”. Pameran yang berlangsung hingga 13 September 2014 ini digelar atas kerjasama Sarasvati Art Management, OHD Management, dan Heri Pemad Management.
Tapi tentu saja, malam 13 Maret 2014 bukanlah puncaknya. Diperlukan strategi dan rencana berkelanjutan yang tidak melulu menggandeng kata ‘dahulu’ dan ‘kuno’. Pengalihan fungsi bangunan-bangunan tua menjadi sarana yang lebih modern, seperti yang dilakukan Singapura, Cina, dan Malaysia, dengan menjadikan bangunan-bangunan tua sebagai hotel, restoran, galeri seni, dan juga pusat perbelanjaan, sepertinya menjadi jawaban yang lebih realistis.