Yogyakarta Aktif Telurkan Kurator

0
4716
kurator
Kurator memiliki peranan penting dalam menyeleksi dan menerjemahkan bahasa visual seniman (Foto: Jacky Rachmansyah)

Selain seniman, sosok kurator memiliki peranan penting di balik berlangsungnya sebuah pameran. Kurator akan mengamati dan menganalisis perkembangan seni rupa seniman, menyeleksi, memberi panduan, hingga menentukan objek-objek yang akan dipamerkan.

Kurator biasanya terikat dalam sebuah institusi seperti museum atau galeri, yang bertugas menjaga, meneliti, mengkaji dan memilah-milah koleksi yang akan ditampilkan. Namun dalam perkembangannya, kini telah muncul banyak kurator independen yang secara lepas bekerja tanpa tergabung dalam institusi manapun, dengan pola dan sistem kerja yang lebih fleksibel serta cakupan yang lebih luas. Kehadiran kurator independen inilah yang turut memandu pameran dalam ruang-ruang seni alternatif.

Di samping terikat atau tidaknya dalam sebuah institusi, kemampuan kurator untuk menerjemahkan bahasa visual seniman ke dalam bahasa lisan atau tertulis supaya lebih mudah dimengerti adalah hal penting. Untuk menjembatani dan menarasikan pameran dari seniman ke audiens.

Dunia Seni Rupa Indonesia sendiri memiliki sosok kurator senior yang telah mendampingi berbagai pameran seperti Jim Supangkat, Asikin Hasan, Asmudjo, Eddy Soetriyono, Suwarno Wisetrotomo, dsb.

Sebagai salah satu kota penggiat seni, Yogyakarta  memiliki kontribusi dalam regenerasi kurator atau pun menyediakan ruang eksplorasi bagi kurator tersebut. Beberapa di antaranya seperti Grace Samboh, Alia Swastika, Farah Wardani, Rain Rosidi, dan Pius Sigit Kuncoro yang aktif di dalam mau pun luar negeri.

 

1. GRACE SAMBOH

Grace Samboh (sumber: CoBo social)
Grace Samboh (sumber: CoBo social)

Nama Grace Samboh telah banyak malang melintang di dunia kuratorial nasional maupun Internasional. Ia dikenal lewat kurasi-kurasinya yang melibatkan pembacaan sejarah, arsip, dan cenderung eksperimentatif. Karir seninya dimulai saat bergabung dengan ruangrupa, sebuah kolektif seni di Jakarta. Di sana ia aktif terlibat dalam penyelenggaraan OK Video. Ia pun pindah ke Yogyakarta untuk meraih gelar master dalam studi seni rupa dari Pascasarjana UGM.

Pada 2009, dia ditugasi oleh IVAA untuk mengkaji ulang 21 Tahun Retrospeksi Jogja Biennale, sebagai bagian acara dari Jogja Biennale X (2009). Keingintahuannya untuk menggali lebih dalam sejarah seni rupa Indonesia, mendorongnya untuk mendirikan Hyphen pada 2011. Hyphen adalah kelompok diskusi tertutup yang berusaha untuk mengkonstruksikan kembali sejarah seni rupa Indonesia, terutama pembacaan praktik seni kontemporer Indonesia. Pada 2014, ia berkolaborasi dengan Lifepatch dan Hackteria dalam membuat proyek pertemuan, simposium, studi banding dan pameran HackteriaLab 2014 di Yogyakarta.

Pada 2015, Grace mengkurasi Tahun Tanah, sebuah acara seni di Jatiwangi Art Factory. Saat ini Grace menjabat sebagai program manager untuk Equator Symposium Jogja Biennale, sebuah forum yang mempertemukan para intelektual dan praktisi kebudayaan untuk berbagai perspektif tentang persoalan kebijakan budaya.

2. ALIA SWASTIKA

Alia Swastika (Sumber: Melbourne Art Fair)
Alia Swastika (Sumber: Melbourne Art Fair)

Meski berasal dari luar disiplin ilmu seni, Alia Swastika merupakan salah satu kurator yang sukses malang melintang di skena seni rupa Indonesia dan mancanegara. Perempuan kelahiran 1980 ini sempat mengenyam pendidikan Komunikasi Universitas Gadjah Mada pada 1998. Dua tahun setelahnya, Ia bergabung dengan KUNCI Cultural Studies.

Selama bergabung di KUNCI, Alia aktif mempublikasikan artikel ilmiah dan mempresentasikan risetnya di berbagai seminar ataupun lokakarya.  Pada 2002, Ia bergabung dengan Cemeti Art Foundation dan menjabat sebagai editor newsletter seni rupa. Kemudian pada 2004, ia didaulat menjadi manager artistik Cemeti. Inilah yang kemudian memantapkan langkahnya menjadi seorang kurator hingga pada 2008, dia mengemban tanggung jawab sebagai kurator dari Ark Galerie, Jakarta.

Karya-karya kuratorialnya antara lain The Past The Forgotten Time (Amsterdam, Jakarta, Semarang, Shanghai, Singapura, 2007-2008); Manifesto: The New Aesthetic of Seven Indonesian Artists (Institute of Contemporary Arts, Singapura, 2010); serta pameran tunggal Eko Nugroho, Tintin Wulia, Wimo Ambala Bayang dan Jompet Kuswidananto. Di samping itu, Alia juga pernah mendapatkan beberapa program pelatihan maupun residensi program: UfaFabrik di Berlin, Jerman (2005), magang di The Asia Society, New York, dengan grant dari Asian Cultural Council (2006), ArtHub, Shanghai (2007) dan berkesempatan magang di National Art Gallery, Singapura (2010).

Pada 2011 Alia menjadi kurator Biennale Jogja dan pada 2012 dia didapuk menjadi ko-direktur artistik The 9th Gwangju Biennale: Roundtable, Korea Selatan, bersama lima kurator lainnya dari Asia.

3. FARAH WARDANI

Farah Wardani (Sumber: Redbase Foundation)
Farah Wardani (Sumber: Redbase Foundation)

Selepas menyelesaikan pendidikan masternya dalam Sejarah Seni Abad ke-20 dari Departemen Studi Sejarah & Budaya, Goldsmiths College, London, Inggris pada 2001, Farah aktif berkecimpung menjadi guru, penulis, kurator dan penyelenggara berbagai macam acara seni di Indonesia. Pada 2007, ia turut serta dalam penulisan buku Indonesian Women Artists: The Curtain Opens, bersama wartawan seni senior Carla Bianpoen dan peneliti seni Wulan Dirgantoro.

Karya kuratorialnya mencakup proyek-proyek yang berkolaborasi dengan ruang-ruang seni seperti Cemeti Art House, ruangrupa, Edwin’s Gallery, Nadi Gallery, dan Valentine Willie Fine Arts.  Pada 2007, ia menjabat sebagai direktur eksekutif dari Indonesian Visual Art Archive (IVAA) di Yogyakarta, Indonesia, dengan karya-karya termasuk IVAA Digital Archive (http://archive.ivaa-online.org/), arsip digital pertama kontemporer seni di Indonesia. Pada 2011, Farah diamanahkan sebagai kurator konsultan untuk pameran exhibition Indonesian Eye: Fantasies & Realities di Saatchi Gallery, London. Karirnya kemudian terus menanjak dengan menjadi direktur artistik Jogja Biennale XII (2013).

4. RAIN ROSIDI

Rain Rosidi (Sumber: Redbase Foundation)
Rain Rosidi (Sumber: Redbase Foundation)

Selain sebagai kurator, Rain Rosidi adalah dosen seni rupa di Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Di kampus yang sama pula, Rain pernah menimba ilmu seni rupa dan lulus pada 1999. Kemudian, ia melanjutkan pendidikan S2 di Jurusan Kajian Budaya dan Media di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Sepak terjang kuratorialnya di mulai pada 1999, ketika dia mendirikan sekaligus mengkuratori berbagai macam pameran di Gelaran Budaya Yogyakarta (GBY). GBY adalah ruang alternatif yang menyelenggarakan pameran seni rupa dan diskusi seni secara independen. Sejak saat itu, namanya mulai dikenal di kalangan seni Yogya. Karya-karya kuratorialnya antara lain Neo Iconoclasts, Magelang (2014), Geneng Street Art Project, Yogyakarta (2013), Future of Us, Yogyakarta (2012), Jogja Agro Pop, Yogyakarta (2011), Sensual Musical, a. Rouse, Kuala Lumpur (2011), Jogja Art Scene, at Yogyakarta Art Festival (2011), dan masih banyak lainnya. Terakhir, dia menjadi direktur artistik di Biennale Jogja XIII.

5. PIUS SIGIT KUNCORO

Pius Sigit Kuncoro (Sumber: istimewa)
Pius Sigit Kuncoro (Sumber: istimewa)

Pius adalah seniman terkenal Yogyakarta, lulusan dari Desain Komunikasi Visual ISI. Pada 2017 silam, ia menjabat sebagai kurator dari Jogja Biennale XIV. Mulanya, Pius berkarir sebagai seniman multimedia dengan bereksperimen pada video dan seni performans. Sebagian besar tema berkeseniannya menyangkut realitas sosial dan kritik terhadap pemerintah.

Pada 1999, ia mendirikan Geber Modus Operandi bersama kedua kawannya, Bintang Hanggono dan Wildan Antares. Geber Modus Operandi merupakan kelompok seni performans interdisiplin yang menggabungkan seni rupa, multimedia, teater, dan suara. Kelompok ini seringkali menyuarakan persoalan identitas dan tubuh. Sayangnya, Geber Modus Operandi tidak berumur panjang. Pius pun lantas beralih ke drawing dan seni lukis dengan mengadopsi gaya realis. Ia pernah berpameran di Indonesia, Jepang, dan Inggris. Selain itu, ia juga beberapa kali mengikuti program residensi: CAP house Kobe (2007) dan Fukuoka Asian Contemporary Art Museum (2005) di Jepang.penutup_small