Ketiga seniman ini tak hanya mewakili perkembangan karya dari negaranya, namun juga memberikan gambaran penting tentang perjalanan perkembangan seni rupa kontemporer di Asia.

Bukan tanpa maksud ketika Asia Society memberikan penghargaan khusus kepada tiga seniman dari tiga negara berikut ini: China, Korea Selatan, dan Indonesia dalam sebuah perhelatan yang berlangsung pada Mei 2013. Tiga negara ini dalam satu dasawarsa ini, memperlihatkan perkembangan yang terus menanjak baik dalam hal pencapaian estetika maupun dalam art market.

url6_small
Zeng FANZHI’s, Hospital Series, 1994, oil on canvas, 179.1 x 199.4 cm

Di balai lelang-balai lelang internasional, harga karya seni dari tiga negara ini, mencatat angka penjualan yang cukup signifikan. Namun di luar itu, sebagai lembaga nirlaba, Asia Society tentu saja lebih menekankan pada pandangan capaian kualitas artistik ketimbang art market, meski salah satu ukuran pengakuan kualitas adalah nilai nominal karya tersebut.

Landasan pencapaian kualitas inilah yang melatarbelakangi Asia Society untuk memilih Lee Ufan (Korea Selatan), Zeng Fanzhi (China) , dan Nyoman Masriadi (Indonesia). Ketiganya merupakan seniman yang memiliki reputasi internasional dan berhasil menjadikan karya-karya mereka sebagai bagian penting perjalanan perkembangan seni rupa kontemporer di Asia.

Lee Ufan misalnya. Meski berasal dari Korea Selatan, ia justru tercatat sebagai seniman yang menancapkan reputasinya di Jepang. Lahir di Korea Selatan pada tahun 1936, ia pindah ke Jepang pada tahun 1956 dan kemudian mendapatkan gelar sarjana filsafat dari Nihon University. Pada tahun 1960-an dan 1970-an, ia terkenal sebagai praktisi gerakan avant garde Mono-ha, yang muncul pertama kali di Jepang sebagai gerakan seni kontemporer pada akhir 1960-an. Gerakan ini mendasarkan diri pada aktivitas berkesenian yang antiformal dan bereksperiman pada pengolahan materi.

Dikenal dengan julukan philosopher-artist, Lee Ufan telah banyak berpameran di tingkat internasional sejak tahun 1967. Salah satu pameran yang memperlihatkan perhatian Barat pada karya-karyanya adalah ketika Solomon R. Guggenheim Museum mengadakan pameran retrospeksi lima dekade perjalanannya sebagai seniman pada Juni 2011 dengan judul Lee Ufan: Marking Infinity. Selain sebagai seniman, sejak tahun 1973, Lee Ufan mengajar di Tama Art University di Tokyo.

Reputasi internasional juga dimiliki Zheng Fanzhi, yang harga karyanya paling tinggi di antara pelukis China kontemporer lainnya. Bahkan berdasarkan Contemporary Art Market 2011/2012 dari ArtPrice, karya Fanzhi berada di posisi dua, tepat di bawahnya Jean-Michel Basquiat. Harga karyanya bahkan mengungguli Christopher Wool dan Damien Hirst.

Meski belum memiliki kelas setinggi Lee Ufan dan Zeng Fanzhi, Nyoman Masriadi juga termasuk seniman “berharga mahal” di Indonesia. Pada ajang Art Stage Singapura 2013 Januari lalu, karyanya berada di posisi kedua setelah karya Hiroshi Senju dari Jepang.

Di Contemporary Art Market 2011/2012 dari ArtPrice, Masriadi berada di posisi nomor 95, turun dari posisi 82 yang diraihnya pada tahun 2011. Dalam catatan penjualan karya tahun 2012 tersebut, Masriadi merupakan seniman Indonesia kedua dalam 100 peringkat setelah Ay Tjoe Christine di posisi 90.

Karya Masriadi memiliki ciri khas yang kerap menggambarkan figur-figur superhuman yang berakar pada sejarah budaya Indonesia. Dengan gaya witty dan menyindir, Masriadi menyampaikan komentar sosial dengan meminjam bahasa ungkap budaya pop. Pada tahun 2008, Singapore Art Museum menggelar pameran 10 tahun kariernya sebagai perupa.

Dengan latar belakang seperti itu, wajar jika ketiganya terpilih oleh Asia Society untuk mendapatkan penghargaan yang baru pertama ini dilakukan. Melissa Chiu, Direktur Asia Society Museum di New York dan Vice President of the Society’s Global Arts Programming ketika ditanya alasan pihaknya memilih ketiganya, menyatakan bahwa masing-masing dari mereka merepresentasikan lintasan dan praktik-praktik artistik yang berbeda.

guggenheim_1-1-1024x822_small
Lee Ufan, From Line, Pigment suspended in glue on canvas, 18 x 20 inches

“Lee Ufan dinilai sebagai salah satu figur kunci dalam sejarah seni rupa di Asia, dan dihormati atas tulisan dan karya seninya, terutama dengan gerakan Mono-ha di Jepang pada tahun 1960-an. Zeng Fanzhi telah memainkan peran penting dalam pembentukan ranah seni kontemporer di China, terutama saat negara ini mendapatkan pengakuan internasional pada tahun 1990-an. Dan Masriadi, meski karya-karyanya baru-baru ini saja mendapatkan perhatian internasional di luar Indonesia, ia telah melukis selama dua puluh tahun dengan karya-karya yang substansial,” ujar Melissa Chiu.

Penghargaan yang baru pertama kali ini dilakukan sempat memunculkan dugaan bahwa yayasan ini baru memberikan pengakuan ketika pasar seni rupa dunia saat ini tengah memutar arah ke Asia – terutama jika dikaitkan dengan perkembangan ekonomi dunia. Apalagi pemberikan anugerah ini dalam bulan dan kota yang sama dengan digelarnya Art Basel Hong Kong – art fair yang memang bertujuan untuk kegiatan perdagangan – yang berlangsung pada 23-26 Mei. Sementara acara anugerah dari Asia Society ini berlangsung pada 20 Mei di kantor pusat Asia Society di Hong Kong.

Namun anggapan ini langsung disanggah oleh Melissa Chiu yang menyatakan bahwa penghargaan ini bertepatan dengan keberadaan kantor baru Asia Society di Hong Kong. “Asia Society sudah terlebih dahulu mengenali karya-karya seni kontemporer Asia. Program pameran kami telah dimulai pada 1990-an – jauh sebelum muncul banyak museum dan jauh sebelum ada sistem galeri di pasar seni rupa. Dengan gedung pertama kami di Hong Kong, kami ingin melanjutkan usaha perintisan ini dengan memberikan penghargaan kepada beberapa seniman yang telah membuat kontribusi nyata di bidang ini,” kata Chiu sambil menambahkan bahwa pihaknya merencanakan pemberian anugerah ini sebagai acara tahunan.  Berdekatannya acara Asia Society dengan Art Basel, menurut peraih gelar PhD tentang seni kontemporer China dari University of Western Sydney ini, lebih dikarenakan supaya para crowd seni rupa bisa datang ke Hong Kong dalam waktu yang berdekatan.

Meski menampik bahwa acara gala penganugerahan ini tidak berkaitan dengan art market, namun Asia Society menempatkan beberapa pemilik galeri dan kolektor sebagai dewan kehormatan (honorary chairs). Mereka adalah Silas Chou – pengusaha yang masuk 50 orang terkaya di Hong Kong, Deddy Kusuma – kolektor dari Indonesia, Yoshiko Mori – Chairperson dari Mori Art Museum, Maggie Me-Hui Tsai, Larry Gagosian – American Art Dealer, Li Lanfang, Hyun Sook Lee dari Kukje Gallery, dan Jasdeep Sandhu dari Gajah Gallery SIngapura.

Pilihan-2_small
I Nyoman Masriadi, Pretending to be Prudent, 2010, acrylic on canvas, 200 x 300 cm

Terhadap hal ini, Chiu menilai bahwa keterlibatan kalangan “art market” justru memperlihatkan sebuah pertumbuhan, dan hal ini merupakan bagian penting dalam sebuah ekologi yang dewasa dan beragam yang sudah seharusnya melibatkan organisasi seniman, museum, galeri, dan balai lelang. “Kekayaan dalam art fair merefleksikan pertumbuhan art market secara global. Saya tidak melihat hal ini sebagai perkembangan positif atau negatif. Ketika dunia seni berekspansi dengan lebih banyak museum, galeri, dan art fair, kita memiliki lebih banyak peluang untuk menikmati seni,” ujar perempuan kelahiran Darwin, Australia ini.