Indonesia dan Yunani. Dua negara ini sama-sama memiliki kekayaan mitologi. Dan lima perupa dari Yogyakarta, mencoba membawa interpretasi mereka tentang keberadaan mitos dalam kehidupan manusia, untuk ditampilkan ke Yunani.
Untuk pameran ke Yunani itulah, lima perupa yang tergabung dalam kelompok Jago Tarung Yogyakarta mengadakan pameran bertajuk The Myth is In Our Pocket di Cemara 6 Galeri – Jakarta, 17 – 24 Juli 2013, sebagai kegiatan pencarian dana untuk keperluan pendanaan keberangkatan mereka ke Yunani. Dalam pameran itu, ditampilkan 18 karya kontemporer bercorak ekspresionis, impresionis, abstrak, realis, hingga etsa.
Tema mitologi yang diangkat pameran ini, menurut Dedi Yuniarto selaku kurator, berangkat dari ide tentang posisi mitologi bagi Indonesia dan Yunani. “Indonesia dan Athena adalah dua negara yang sama-sama berkembang dalam kabut mitologi yang pekat. Meski sejarah, budaya, dan geografis keduanya berbeda jauh,” kata Dedi. Perbedaan di balik kesamaan ini pula yang membuat pameran ini menarik untuk diadakan di Athena. Dedi berharap ia bisa mengenalkan mitologi yang membangun kebudayaan Indonesia kepada dunia, sebagai salah satu warisan budaya yang bernilai tinggi.
Dalam membentuk tema untuk pameran ini, Dedi menelusuri perjalanan keberadaan mitologi dalam kebudayaan manusia. Ia menjelaskan bahwa mitologi sebelumnya hadir sebagai penanda sesuatu yang sakral, suci, dan selalu identik dengan masa lalu terutama yang bersifat statis dan kekal. Sebut saja, mitos tentang mula penciptaan dunia, turunnya manusia pertama ke bumi, susunan para dewa, hingga kisah petualangan dan percintaan mereka, serta bentuk topografi.
Seiring waktu, kata Dedi, ‘wujud’ mitos mulai beradaptasi dengan perkembangan zaman. Dalam perspektif budaya modern, mitos hadir sebagai type of speech (sisi lain dari bahasa), sebuah pesan yang kemudian diadopsi ke dalam beragam nilai. “Mitos tidak selalu berbentuk tuturan oral. Uraian wacana atau diskursus yang sengaja dihadirkan di tengah-tengah masyarakat, lalu diyakini maka ia menjadi mitos baru,” kata Dedi kepada Sarasvati.
Ia mencontohkan, saat sebuah perusahaan teknologi ingin meluncurkan produk terbarunya maka mereka akan menyebarkan dogma-dogma dalam beragam bentuk, salah satunya iklan. Saat wacana yang ‘diiklankan’ dibenarkan dan ditularkan dari satu individu ke individu lainnya, maka wacana itu menjadi mitos.
Kehadiran teknologi sebagai media mitos ‘ditangkap’ oleh perupa lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Rocka Radipa dalam karyanya berjudul Anthem & Brand, yang menampilkan dampak psikis teknologi yang divisualisasikan dalam bentuk ipod. “Benda berukuran kecil yang akrab di kalangan remaja ini cukup efektif memanipulasi panca indra bahkan pikiran pendengarnya. Pengaruhnya pun kian kuat setelah berulang kali didengarkan,” kata Dedi.
Media sebagai penyalur ‘pesan’ juga berperan sebagai penyebar mitos. Seperti yang disampaikan Dedy Sufriadi dalam tiga buah karya seri ‘hitam-putih’ berjudul After Text Series, Black White. Menggunakan surat kabar sebagai kolase, Dedy seakan ingin menabrakkan antara yang tersirat dan tersurat di balik selembar koran. “Kita tidak bisa memahami informasi dari media sebatas hitam dan putih saja. Karena di balik bahasa media sering kali terkandung agenda dan intervensi,” ujar Dedi.
Berbeda dengan dua seniman sebelumnya, Tomy Faisal Alim dan Syis Paindow tampil dengan kisah yang cukup akrab dengan telinga masyarakat di tanah air. Salah satu karya Tomy berjudul Banyak Anak Banyak Rejeki, berangkat dari dogma yang sudah kita kenal sejak menduduki bangku sekolah dasar. Begitu pula dengan karya Kabar Burung yang menjadi simbol awal mula kehadiran mitos. “Tomy memotret realitas masyarakat perkotaan yang kerap mengecap dirinya rasional, namun nyatanya terjebak dalam beragam irasionalitas,” ujarnya.
Syis hadir dengan tema yang lebih mudah dibaca, seperti dalam karyanya berjudul Jaka Tarub in My Mind dan The Queen of Rice (the Legend of Dewi Sri). Mitos-mitos yang sengaja dihadirkan untuk memberikan arahan dan pedoman tertentu kepada masyarakat. Dedi mengatakan, budaya Indonesia yang berakar pada nilai spiritual, animisme, dan dinamisme, meleluasakan mitos-mitos untuk hadir dalam cerita-cerita rakyat, legenda, dongeng, ataupun fabel.
Bukti bahwa mitos tidak pernah terbatasi oleh waktu dan ruang, ditampilkan Zam Kamil dalam karya lukisnya berjudul Waktu Terus Berlari yang melukiskan sesosok figur yang melesat di udara hitam melewati berbagai nama simbol mitos; seperti Andre Derain, Henry Matisse, Auguste Rodin dan Paul Cezanne. “Nama-nama itu telah menjadi mitos. Di kanvas yang sama lalu ia torehkan nama salah satu putrinya sebagai bentuk interelasi waktu dan ruang, antara mitos dan kesadaran,” kata Dedi.
Kelima perupa ini datang ke Yunani dalam rangkaian acara budaya yang digelar oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) untuk Athena setiap tahunnya. Tahun ini, mereka didaulat untuk mewakili seni rupa Indonesia di hadapan pecinta seni Athena.
Puncak acara akan berlangsung di AKTO Art and Design Collage di Athena, pada 21-25 Oktober 2013, yang akan diisi pula dengan kegiatan workshop batik dan sarasehan budaya bertajuk Mitologi Nusantara, Alam dan Manusia. Sebagai penutup, pameran dengan tema yang sama juga akan digelar kembali di Bali pada akhir tahun ini.
Indonesian version