nasjah djamin
Pengunjung sedang memperhatikan karya lukis Nasjah Djamin dalam pameran "Retrospeksi Nasjah Djamin" di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, 25 Oktober - 3 November 2017. (Foto: Silvia Galikano)

Nasjah Djamin (1924 – 1997) adalah nama yang asing bagi sebagian besar generasi 1990-an hingga generasi sekarang. Andai ada yang mengenalnya sebagai sastrawan yang menghasilkan banyak novel dan naskah drama, sepi yang tahu Nasjah Djamin sebagai pelukis juga.

Nasjah Djamin adalah salah satu eksponen sejarah seni rupa Indonesia. Karya-karyanya merepresentasikan seni rupa modern di zamannya. Lukisan Lestari Fardani (1958) dikoleksi Presiden Sukarno pada 1960, dan lukisan bertema panorama taman bertajuk Rimbun (1953) pernah dipamerkan pada Biennale Sao Paulo, Brasil, tahun 1957.

Kisah panjang Nasjah Djamin ditelusuri kembali melalui pameran seni rupa dan sastra serta peluncuran buku Retrospeksi Nasjah Djamin pada 24 Oktober hingga 3 November 2017 di Gedung B Galeri Nasional Indonesia, Jakarta.

Baca juga Lanskap Jiwa Nasjah Djamin

Dikuratori Suwarno Wisetrotomo, pameran ini menampilkan karya-karya lukisan Nasjah Djamin dari koleksi pribadi keluarganya, juga beberapa dokumentasi, arsip, serta artefak yang mengupas perjalanan keseniannya.

nasjah djamin
Nasjah Djamin, “Rimbun”, 45×65 cm, cat minyak di atas kanvas, 1953. (Foto: Jacky Rachmansyah)

Perhelatan ini merepresentasikan babakan-babakan sejarah yang merekonstruksi Nasjah Djamin sebagai seorang maestro, juga menyoal karya-karyanya yang layak untuk diapresiasi publik.

Diungkap Suwarno saat pembukaan pameran, lukisan-lukisan Nasjah Djamin dapat dikelompokkan dalam dua tema utama, yakni tema potret dan tema panorama (landscape). Lukisan potret itu sebagian besar merekam sosok tunggal, laki-laki maupun perempuan, dan sebagian lainnya potret kerumunan.

Baca juga Menggores Ekspresi dengan Teknik Gutha Tamarin

Lukisan-lukisan potret, yang umumnya dibuat pada 1940-an, jelas memperlihatkan pengaruh “guru-guru”-nya dalam melukis. Serupanya pendekatan bergaya realis dengan sapuan kuas yang kasar, tak dimungkiri ada “rasa” Affandi dan Sudjojono, seperti di Potret Diri (1948), Potret Diri dengan Pullover, serta Hang Tuah (1949).

Nasjah Djamin,
Nasjah Djamin, “Potret Diri”, 47x58cm, cat minyak di atas kanvas, 1948. (Dok. GNI)

Titik penting yang menjadi penanda Nasjah Djamin menemukan gaya khasnya dalam melukis, menurut  Suwarno, adalah lukisan Rimbun (1953). Dari sana, perlahan dan berproses, hingga pada 1970-an Nasjah Djamin mulai konsisten melukis panorama.

“Panorama adalah ruang yang tidak banyak bisa diceritakan di novelnya, dia ceritakan di lukisan,” kata Suwarno.

Tema  panorama dalam gubahan Nasjah Djamin adalah paduan antara realitas, imajinasi, dan situasi jiwa yang diungkap melalui berbagai wujud, antara lain lanskap pantai lepas, hamparan padang pasir dan perbukitan, serta bentangan sawah dan gunung-gunung.

Baca juga Karya Andy Warhol Dibuat Ulang, Sama dengan Menjiplak?

Pada setiap bentangan panorama, hampir selalu dia hadirkan sosok-sosok perempuan dalam citra gerak dan suasana bekerja. Mereka memanen padi, menambang pasir atau batu, petani garam, berarakan ke pasar dengan memanggul bakul, mengukuhkan bahwa mereka penyangga kehidupan keluarga, para pekerja keras dan mandiri.

“Sosok-sosok itu selalu tampak kecil, terlihat dari kejauhan,” ujar Suwarno. “Cara ungkap demikian dapat dilihat sebagai isyarat spiritualitas bahwa manusia sebagai khalifah Tuhan di bumi, sesungguhnya hanya makhluk kecil di tengah semesta raya.”

Nasjah Djamin,
Nasjah Djamin, “Beban Bakul”, 94x114cm_cat minyak di atas kanvas, 1993. (Dok. GNI)

Melukis, teman sepinya

Seniman kelahiran Perbaungan, Sumatera Utara pada 24 September 1924 itu punya nama lahir Noeralamsjah. Masa kecilnya dihabiskan di area perkebunan tembakau yang jauh dari kota. Setiap hari bersekolah di HIS swasta di jantung kota Medan yang ditempuh dengan berjalan kaki berkilo-kilo meter.

Sebagai “anak kebun” (anak udik), putra pasangan Djami’in (asal Padang) dan Siti Sini (asal Painan) ini minder dan enggan berkawan. Noeralamsjah berakrab dengan arang, kapur, dan kayu untuk menggambar, pelarian terbaiknya.

Baca juga “Cartography of Painting” Penanda Usainya Jeda

Beranjak remaja, dia punya satu lagi “teman sepi” selain melukis. Noeralamsjah menggemari membaca berbagai jenis bacaan, dari buku-buku berat seperti karangan Jules Verne dan Emile Zola, aneka majalah, hingga roman picisan karya penulis Medan. Kini impiannya bertambah, menjadi pengarang.

Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, Noeralamsjah remaja sempat bekerja menjual telur, menimbun lapangan udara Polonia, menjadi pegawai kebudayaan, terjun di dunia revolusi. Setelah memenangkan lomba poster yang diselenggarakan pemerintah Jepang, dia bekerja di Bunka Ka (kantor propaganda Jepang) sebagai tukang gambar, pelukis poster, dan pembuat Kami-sibai (gambar bercerita) atau komik.

Nasjah Djamin,
Nasjah Djamin, “Joko Tarub”, 107×177, cat minyak di atas kanvas, 1970. Foto: (Silvia Galikano)

Di sinilah Noeralamsjah mengakrabi seni lukis dan bertemu dengan para pelukis Medan, mengenal pelukis-pelukis dunia dengan berbagai alirannya. Timbullah keinginannya merantau belajar melukis di Jawa, karena di sana ada Basoeki Abdullah, Affandi, S. Sudjojono, dan Kartono Yudhokusumo.

Pada awal 1946, Noeralamsjah bertemu S. Soedjojono yang memiliki andil besar dalam perjalanannya menjadi pelukis. Ia juga bertemu Affandi, Soedarso, Hendra Gunawan, Trubus, dan para sastrawan, salah satunya Chairil Anwar.

Baca juga Nautika Rasa, Semangat Lestari dari Laut

Di Jawa inilah Noeralamsjah kemudian mempopulerkan dirinya dengan nama Nasjah Djamin. Kemungkinan besar, “Nasjah” merupakan kependekan dari Noeralamsjah, sedangkan Djamin diambil dari nama sang ayah.

Saat Agresi Militer Belanda II, Nasjah Djamin hijrah ke Jakarta dan bergabung dalam Gabungan Pelukis Indonesia (GPI) yang kemudian bermarkas di garasi Taman Siswa. Di kota ini, Nasjah Djamin sempat bekerja di Balai Pustaka sebagai ilustrator dan bergaul dengan para sastrawan Balai Pustaka.

Nasjah Djamin,
Nasjah Djamin, “Joglo”, 42×48, pewarna batik di atas kain. (Foto: Silvia Galikano)

Di Jakarta pula ia berjumpa kembali dengan Chairil Anwar yang memberikan pengaruh besar pada karier Nasjah Djamin sebagai sastrawan. Sejak saat itu, seni lukis dan sastra berbarengan menjadi napas hidupnya.

Nasjah Djamin kemudian dikenal sebagai pelukis sekaligus sastrawan yang produktif menulis cerita pendek, puisi, naskah drama dan film, serta novel. Ia juga sempat menjadi dekorator dan sutradara dalam panggung drama. Sebagai pelukis, Nasjah tercatat pernah berpameran tunggal dan bersama, baik di dalam maupun di luar negeri (Brasil, Singapura, Jepang, India).

Sebagai sastrawan, ia menelurkan banyak karya, beberapa di antaranya cergam buku anak-anak Hang Tuah (1951), buku anak-anak Si Pai Bengal (1952), naskah drama Titik-titik Hitam (1956), Gairah untuk Hidup dan Untuk Mati (1968), biografi Chairil Anwar Hari-hari Akhir Si Penyair (1982), biografi Affandi berjudul Affandi Pelukis (1988), sajak Pengungsi yang diterbitkan di Majalah Seniman Th. II No. 2–3 (Mei-Juli 1948).

Baca juga Warna-warni Mitos dan Pengetahuan yang Menyenangkan

Tak hanya produktif berkarya, Nasjah Djamin juga seorang pengarsip yang rajin. Ia mengumpulkan dan menyimpan rapi artikel yang membahas lukisan dan tulisannya, juga semua dokumentasi dirinya. Uniknya, dia juga mengkritik karyanya sendiri.

Nasjah kerap membubuhkan catatan-catatan koreksi dan komentar pendek yang kadang berupa uraian berlembar-lembar di samping artikel yang disimpannya. Dia juga membuat catatan-catatan autokritik terhadap lukisan-lukisannya.