kolektif hysteria
One Day Art Project. (Foto: Silvia Galikano)

Tahun ini, Kolektif Hysteria memasuki usia 13 tahun dan Pekakota 5 tahun. Satu acara dibuat untuk menandai hal tersebut, bernama “Pekakota Hub” yang menampilkan kerja kebudayan Hysteria pada medan visual dan relevansi kota selama 13 tahun terakhir.

Ragam tema yang diangkat adalah urbanisme warga, seni yang terlibat, placemaking atau space branding, kebebasan berekspresi, hak atas kota dan tata ruang, citizen science, dan ekonomi kreatif.

Baca juga Mencari Posisi Patung di Dalam Medan Seni Rupa Kontemporer

Acara yang dikurasi Adin dan Tommy Ari Wibowo ini berlangsung di dua tempat, Monodhuis dan Gedung Widya Mitra. Monodhuis Jl. Kepondang No 11-13 Kota Lama Semarang menjadi lokasi Peka Kota Forum pada 28 Oktober 2017.

Peka Kota Forum adalah forum diskusi yang melibatkan pegiat kampung, antropolog, komunitas, dan akademisi antara lain Hari Bustaman, Agus Maladi Irianto, Wandah Wibawanto, Kriswandhono, Krispantono, Mila Karmilah, dan Purnomo Dwi Sasongko.

Sedangkan Gedung Widya Mitra di Jl. MT Haryono No 360 Semarang menjadi tempat digelarnya pameran karya seni rupa dari 28 Oktober 2017 hingga 18 November 2017. Seniman yang terlibat adalah Tyok Hari, Zone Of Street Art (ZOS), Annisa Rizkiana, Andimeinl, Medialegal, Prigel, Liam Smyth, Kolektif Hysteria, Odap, Pena Hitam, Frau, dan Figura Renata.

kolektif hysteria
Suasana pembukaan “Pekakota Hub” di Gedung Widya Mitra, Semarang, 27 Oktober 2017. (Foto: Silvia Galikano)

ZOS merespons beberapa kegiatan yang pernah dilakukan Hysteria selama lima tahun terakhir, antara lain gerobak bioskop. ZOS membuat instalasi gerobak bioskop versi ZOS dengan dibalut style graffiti.

Seni suara juga ditampilkan dengan cara unik dan terbilang masih jarang di Semarang, yakni soundscape yang diputar terus menerus selama pameran berlangsung. Soundscape ini diproduksi dari materi suara-suara saat Hysteria berkegiatan.

Baca juga Subjektivitas Tubuh Melati Suryodarmo

Hasilnya adalah suara-suara obrolan, rapat, yang saling tumpang tindih. Tak jarang pengunjung teralihkan konsentrasinya dari karya yang sedang dilihat ketika suara yang terdengar mendadak tinggi volumenya.

Menurut Kartun, tokoh di balik pembuatan soundscape, output dari karyanya adalah pengetahuan tentang seni suara, bahwa seni tidak melulu visual atau sesuatu yang dilihat, tapi bisa juga sesuatu yang didengar.

kolektif hysteria
Liam Smyth, “Augmented Reality”. (Foto: Silvia Galikano)

Hysteria adalah kolektif seniman yang peduli pada isu kota, anak muda, dan komunitas, berbasis di Semarang. Mulai aktif pada 2004, jejaring Hysteria kini berskala internasional.  Sedangkan Pekakota adalah platform kekotaan warga (citizen urbanism) yang mendorong rasa kepemilikan terhadap kota dan menjadi bagian dari solusi.

Seperti tertulis di catatan kuratorial, baru lima tahun lalu Hysteria mencari kontekstualitas relevansi keberadaan mereka di Semarang. Apa guna kesenian dan bagaimana strategi yang pas untuk terus aktif di kota-kota yang infrastruktur dan tradisi visualnya tidak bagus? Itu sebab kemudian Hysteria lebih banyak membangun program dengan konten isu kota.

Baca juga Harmoni Keragaman Europalia Indonesia

“Selain merayakan 13 tahun Hysteria, acara ini juga ingin melihat ulang Pekakota selama  lima tahun terakhir. Setelah lima tahun, Pekakota akhirnya merintis jejaring di delapan kampung yang menggunakan seni sebagai salah satu bagian aktivitas yang penting,” ujar Direktur Hysteria Adin saat pembukaan acara.

Dengan acara ini, diharapkan seniman akan terbiasa mengolah isu seni dan masyarakat. Warga juga dapat memanfaatkan seni sebagai strategi branding kampung dan media pendidikan atas ruang.