Kerjasama brand besar dengan kegiatan seni rupa di Indonesia memberikan warna tersendiri bagi acara seni, serta memunculkan citra lain bagi brand yang sudah mapan. Tujuan utamanya mengembangkan brand equity, bukan mendongkrak angka penjualan. Sederhananya, menanam karma baik.
Saat ini masih berlangsung pameran tunggal Goenawan Mohamad bertajuk “Warna” di Faber-Castell Store, Plaza Senayan, Jakarta, 30 Mei hingga 20 Juni 2018. Baru kali ini drawing-nya menggunakan warna.
Di Studiohanafi pada 27 Mei 2018 hingga 26 Juni 2018 digelar pameran lukisan dan instalasi Farhan Siki bertajuk “M A L”. Juga sekali lagi Goenawan Mohamad akan berpameran, pada 31 Juni 2018, kali ini bersama seniman Hanafi di Galeri Nasional.
Baca juga Saumata dan AGSI Sandingkan Arsitektur dan Seni
Kesamaan dari tiga acara yang susul menyusul itu adalah sama-sama disponsori Faber-Castell, produsen alat tulis gambar asal Jerman. Bentuk kerja samanya adalah Faber-Castell menyediakan peralatan gambar dan lukis untuk digunakan seniman dan peserta workshop. Brand ini akan mendapat eksposur maksimal sepanjang penyelenggaraan pameran.
“Warna” adalah pameran seni ke-8 yang diikuti Faber-Castell Indonesia, dimulai empat tahun lampau. Menarik masyarakat ke seni adalah tujuan utama Faber-Castell bekerja sama dalam pameran-pameran seni.
Seperti dikatakan President Director Faber-Castell International Indonesia Yandramin Halim saat pembukaan “Warna”, “Seni bukan hanya untuk kalangan seniman. Ada nilai intrinsik yang dapat dinikmati anak-anak hingga orang tua. Nilai itu bisa didapat dengan mengadakan pelatihan, workshop, dan pameran.”
Pelatihan dan workshop menjadi sarana edukasi tentang penggunaan alat gambar berkualitas baik sehingga karyanya layak jual dan tahan hampir 100 tahun tanpa pudar.
Selain kerja sama dalam acara-acara seni, Faber-Castell telah 17 tahun mengadakan pelatihan gambar untuk 7000 guru TK dan SD, serta belakangan pelatihan sketsa ke kampus-kampus dengan mendatangkan tamu komikus.
Baca juga Seni Menyoal Turbulensi Sosial
Kegiatan-kegiatan tersebut dapat dikata tak membawa keuntungan langsung bagi Faber-Castell.
“Kalau hanya ‘mikir sale, tidak (ada untungnya). Saya melakukan karena ini membawa benefit untuk masyarakat. Menanam karma baik. Kalau kita berbuat baik, orang akan simpati ke kita,” ujar Halim.
Alasan serupa juga dianut Martell Cognac, brand minuman beralkohol dari Prancis yang bekerja sama dengan Edwin’s Gallery dalam pameran.
Baca juga Butet Kartaredjasa Bermain Rupa dengan Keramik
Yang jelas, keuntungan itu bukan ke penjualan, melainkan untuk membangun brand equity. Terlebih Martell memiliki “DNA” yang bisa dibilang sama dengan karya seni yang butuh waktu untuk diapresasi. Tak jarang apresiasi itu didapat ketika kreatornya sudah meninggal dunia.
Martell dibuat bukan dengan mesin, melainkan manual oleh tangan-tangan terampil. Dari buah anggur yang diproses, disuling, disimpan dalam tong-tong kayu selama 10 – 50 tahun, lalu dicampur antara isi tong satu dengan isi tong lainnya, baru kemudian dimasukkan ke dalam botol dan siap dinikmati.
Edhi Sumadi, Managing Director PT Pernod- Indonesia, perusahaan yang membawahi Martell Cognac, menyampaikan dalam sambungan telepon pada Rabu, 6 Juni 2018, “Pada dasarnya, seni bukan dunia kami. Kami masih belajar, masih menjajaki seni rupa kontemporer, membentuk jaringan, mendekati pihak lain. Dalam proses ini kami menemukan mitra, pak Edwin Rahardjo, pemilik Edwin’s Gallery.”
Tahun ini adalah tahun ke-3 Martell bekerja sama dengan Edwin’s Gallery. Selain dengan Edwin Gallery, Martell juga merangkul tokoh-tokoh dan galeri-galeri seni, seperti Amalia Wirjono, Mia Maria, Vivi Yip, D Gallerie, Ruang Rupa (RuRu), dan event organizer acara-acara seni.
Kerja sama dilakukan pula dengan tempat-tempat yang bukan mengkhususkan diri pada seni namun mendukung kegiatan seni, seperti Modena, Tugu Kunstkring Paleis, Plaza Indonesia, dan sejumlah hotel.
Baca juga 10 Lukisan Termahal Dunia 2017
Praktis dalam setahun, 2-3 kali Martell bekerja sama dalam pameran seni, umumnya melibatkan 10-15 seniman. Bentuk kerja samanya antara lain membiayai sewa tempat, organizing committee, serta ongkos kirim karya jika senimannya dari luar kota.
Melalui proses belajar delapan tahun, sinergi yang dibangun pun semakin kuat, sehingga diharapkan semakin mendekati cita-cita ideal Martell, yakni karya seniman kontemporer Indonesia diakui pencinta seni dunia.
“Mudah-mudahan bisa terjadi pertukaran dengan negara lain, atau karya seniman Indonesia dipamerkan di Prancis. Ini menjadi kesempatan bagi seniman pendatang baru agar karyanya bisa dikenal lebih baik,” ujar Edhi.