(kiri ke kanan) Lin Che Wei, Riduan, Singgih Susilo Kartono, dan Muhammad Thamrin saat jumpa pers OLVEH Flagship kedua, 24 November 2016. (Foto: Rizaldy Yusuf)

OLVEH Flagship kembali diadakan untuk kedua kalinya. Acara yang dibuka pada 24 November 2016 di Gedung OLVEH, Jakarta ini menghadirkan tiga talenta kreatif dari tiga bidang berbeda.

Tiga dewan juri, yaitu Diana Nazir (desain), Boy Bhirawa (arsitektur), dan Oei Hong Djien (seni rupa), memilih Riduan untuk kategori seni rupa, Muhammad Thamrin untuk kategori arsitektur, dan Singgih Susilo Kartono untuk kategori desain.

Pada jumpa pers, ketiganya menyampaikan visi misi berkarya yang mereka lakoni sekaligus menceritakan pandangan-pandangan mereka terkait muatan dalam karya yang dibuat. Muhammad Thamrin, pria yang telah menggeluti dunia arsitektur selama 25 tahun, menceritakan kesukaannya pada proyek-proyek revitalisasi serta urbanisme.

Arsitek pemenang sayembara Desain Paviliun Indonesia untuk Frankfurt Book Fair 2015 ini menganggap proyek revitalisasi sebagai pekerjaan menarik sebab berkaitan dengan sejarah suatu bangunan.

“Saya saat ini sedang menangani proyek revitalisasi pabrik kina di Bandung. Waktu saya kecil, ayah saya sering menunjukkan bangunan itu di masa aktifnya. Sekarang, ketika saya diminta merevitalisasi bangunan tersebut, saya membuka kembali memori tentang kebesaran pabrik kina itu di masanya,” ujar Thamrin dalam jumpa wartawan.

Berbeda dengan Thamrin yang menaruh minat pada isu-isu perkotaan, Singgih dan Ridwan justru tertarik pada apa yang tradisional. Singgih, misalnya. Setelah bekerja tiga tahun di Bandung sejak lulus kuliah, ia memutuskan kembali ke Desa Kandangan, Temanggung, Jawa Barat. Di sana, ia mengajak penduduk setempat ambil bagian di perusahaan Magno-Piranti Works miliknya.

Perusahaan yang dibangun Singgih adalah perusahaan dengan kiprah yang sudah melanglang buana ke negara-negara lain. Produk-produk berbahan kayu yang dia hasilkan, seperti radio, pengeras suara, hingga sepeda, telah memberi banyak penghargaan kepada pria lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung ini.

Pada 1997, ia meraih juara kedua International Design Resource Award (IDRA), Seattle, USA. Pada 2006, ia menjadi juara Indonesian Good Design Selection. Dan dua tahun berikutnya ia memperoleh Grand Award “Design for Asia Award” dari Hongkong Design Centre.

“Bagi saya, produk adalah alat sebuah gerakan (movement),” ucap Singgih menerangkan alasannya memilih bahan-bahan semacam kayu dan bambu.

Ia berpendapat kesederhanaan hidup di desa adalah jawaban dari ketidakseimbangan hidup di kota yang sekarang melanda orang-orang. Alih-alih terhanyut habis-habisan pada segala yang modern, Singgih lebih memilih untuk mendatangi masa lalu sebagai masa depan.

“Kita boleh saja menguasai teknik dari Barat, tapi mengapa kita tidak memanfaatkan saja apa yang kita punya? Kesederhanaan ini yang menjadikan produk-produk saya dihargai tinggi di luar sana,” katanya lagi.

Sama seperti Singgih, Riduan pun tertarik dengan hal-hal yang berbau tradisional. Di dalam kanvasnya yang penuh warna muram dan mistis, ia memerangkap sebuah lanskap tempat upacara-upacara keagamaan tradisional berlangsung.

Ia mendatangi ritual upacara pembersihan diri di Kali Kuning yang terletak di kawasan lereng Gunung Merapi, Yogyakarta.

“Saya dibawa oleh juru kunci untuk berendam di sana. Sepanjang perjalanan, sama sekali tidak ada cahaya, tetapi kita bisa berjalan tanpa menabrak,” ujarnya.

Pengalaman ini kemudian ia pendam dan ia biarkan mengusik imajinasinya. Yang terjadi berikutnya adalah Riduan mengingat kembali pengalaman tersebut dan mencoba mengungkap nuansa yang ia rasakan di tempat itu. Hasilnya adalah sebuah lukisan lanskap yang gelap, mistis, dengan cahaya merah samar menyala di tengah kanvas.

“Di kali itu, saya terpukau pada pertemuan Gunung Merapi dan Merbabu,” ujarnya.

Ketiga talenta ini sesungguhnya memberi bukti kekayaan potensi kreatif di Indonesia. OLVEH Flagship mencoba menghubungkan hal tersebut dengan bidang-bidang lain, seperti bisnis dan pemerintahan agar tercipta sebuah kolaborasi sinergis.

Lin Che Wei, Direktur IRAI dan pendiri Sarasvati, mengungkapkan lima poin penting mengapa inovasi dari talenta-talenta kreatif harus didorong.

Pertama, Indonesia mempunyai begitu banyak produk yang baik. Kedua, Indonesia memiliki banyak talenta yang bisa menghasilkan produk yang baik.

Ketiga, kita tidak pernah melakukan kurasi dengan baik terhadap potensi tersebut, sehingga jika ada kebutuhan, kita hanya menunjuk orang-orang yang dekat dengan bagian pengadaan.

Keempat, kita tidak pernah mengemas aset kreatif kita dengan baik. Kelima, dalam globalisasi seperti ini, kita harus mampu melakukan kolaborasi, promosi, dan seleksi.

Pameran karya-karya tiga talenta kreatif akan berlangsung sampai 10 Januari 2017 di Gedung OLVEH, Kota Tua, Jakarta.