
Makna “Arus Balik” yang dijadikan tema pameran tunggal perdana Misbach Thamrin, barangkali menyulut percabangan tafsir. Dari ungkapan “Membangun Negeriku Sebagai Poros Maritim Dunia dan Merajut Kembali Halaman Sejarah yang Hilang” sebagai tambahan judul pameran saja setidaknya kita sudah punya dua alternatif. Pertama, “Membangun Negeriku Sebagai Poros Maritim Dunia”. Kalimat ini kurang lebih menunjukkan, hakikatnya beberapa karya dalam pameran yang dihelat di Galeri Nasional Indonesia, 21-30 November 2015 ini, menyadarkan kita bahwa sejak dulu Indonesia dikaruniai anugerah laut yang potensial, yang boleh jadi menurut Misbach, tidak dimanfaatkan hingga hari ini.
“Arus Balik” versi itu bisa dilihat dari sejumlah karya macam Membangun Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia (2015), Berderap Maju Demi Kelautan Nusantara (2015), Kehidupan Pantai Nusantara (2015), Nelayan (2007), Kesibukan Saat Fajar (2009), atau Kota di Atas Air (1999). Pada karya-karya itu Misbach menghadirkan optimismenya bahwa kebangkitan negerinya bisa dicapai lewat memaksimalkan potensi maritim. Pandangannya ini seperti menjawab kritiknya sendiri atas pembangunan yang menggerus kota yang ia lukis dalam karya Penggusuran (2008), Mas Suparman (2009), atau Bertahan (2008). Lewat gaya realisnya, pelukis Sanggar Bumi Tarung ini seperti bicara, “Berkutat pada kesemrawutan kota, hanya akan menambah semrawut kondisi yang sudah ada.”
Belum cukup di situ, visinya akan kejayaan maritim Indonesia divisualkan dalam satu ruang khusus yang dipakai untuk memamerkan lukisan-lukisan tentang perjalanan Laksamana Cheng Ho, seorang pelaut dan penjelajah Tiongkok terkenal yang melakukan beberapa penjelajahan antara tahun 1405 hingga 1433. Lewat lukisan Cheng Ho ini Misbach seperti menyadarkan kembali bahwa laut harus kita hidupi dan jika itu dilakukan, pencapaian-pencapaian Cheng Ho juga bisa kita dapatkan.
Itu yang pertama. “Arus Balik” kedua dalam pameran ini ada pada kalimat selanjutnya “Merajut Kembali Halaman Sejarah yang Hilang”. Di sinilah Misbach mengajak menengok kembali kejadian atau ide-ide yang pernah ada di masa lalu. Eksekusi di Tepi Jurang (2011), misalnya, membawa kita kembali pada kasus-kasus kekerasan HAM di masa lalu yang dilakukan negara, dan tentu sejarah itu memang hilang sampai sekarang. Tujuh orang laki-laki berdiri di pinggir jurang dan di depannya moncong senapan tentara-tentara diarahkan pada mereka. Ketegangan dan keharuan yang terasa. Sama halnya seperti pada lukisan Perpisahan (2007) yang menunjukkan proses “penjemputan” orang-orang oleh tentara.

Jika yang dua tadi adalah kejadian, berbeda dengan lukisan Patriotisme vs Imperialisme (2010). Karya ini memang tidak bicara secara spesifik mengenai satu kejadian sejarah, tapi karya ini – lewat simbolisasi hewan dan tokoh-tokoh dunia – memukul telak kepala kita untuk merefleksi lagi bahwa identitas bangsa kita saat ini harus didapat jawabannya dari pertarungan menahun patriotisme dan imperialisme.

Namun, ada juga karya-karya yang tidak masuk ke dalam dua bingkai itu. Karya-karya seperti Mandau dan Telabang (2002), Berdialog dengan Kolektorku (2009), atau Potret Kolektorku (2005) terlalu personal untuk ditarik masuk ke dalam dua wacana yang diusung tema. Ini agak membingungkan. Apakah karya-karya jenis ini bisa kita masukkan ke dalam bagian “sejarah”? Jika iya, kita punya “Arus Balik” ketiga; arus balik yang membawa kita menengok perjalanan kekaryaan seorang Misbach Thamrin. Mungkin tepat juga seperti yang dikatakan Agus Dermawan T. pada tulisannya, “Pameran ini juga dianggap pameran retrospeksi, karena juga mengikutkan karya-karya lamanya.” Seandainya karya-karya lama itu masih mempunyai benang merah dengan tema pameran, kiranya membaca lipatan-lipatan warna vertikal di lukisan pelukis berusia 74 tahun ini bisa lebih padat dan tepat sasaran.