Bioskop mati tidak menghentikan semangat pemuda Banyumas mengadakan festival
film tahunan. Mereka menggelarnya dalam format layar tancap.
Wafiq duduk bertopang dagu di atas terpal biru di halaman Pondok Pesantren Nurul Ulum, Desa Pasunggingan, Purbalingga, Jawa Tengah. Pandangan bocah delapan tahun itu terpaku pada film di layar putih besar yang berjarak lima meter di depannya. Tak lama kemudian, ia tertawa geli melihat adegan seorang kakek, Maryoto, dari grup kesenian Sri Rahayu, dan delapan warga lelaki Pasunggingan berjoget membawakan Tari Angguk.
“Pemutaran layar tancap jadi alternatif hiburan buat warga sini. Anak-anak semua kumpul. Saya juga senang. Biasanya, cuma nonton televisi,” ujar Azizah, 31 tahun, ibu Wafiq, di sela acara “Layar Tanjleb Keliling Desa” pada Festival Film Purbalingga (FFP) 2014.
FFP adalah kegiatan tahunan yang digelar oleh Cinema Lovers Community (CLC) di empat kabupaten Banyumas Raya: Purbalingga, Banjarnegara, Cilacap, dan Banyumas. Tujuannya, memperkenalkan film, terutama film pendek, ke masyarakat. “Sekarang ini susah menonton film bagus di sini. Bioskop-bioskop lokal mati satu per satu. Warga mesti naik motor satu jam ke Purwokerto untuk bisa nonton bioskop,” kata Bowo Leksono, Direktur CLC, di markas mereka di Jalan Puring, Kabupaten Purbalingga.
Markas CLC, sebuah rumah kontrakan dua kamar sederhana, adalah tempat anggota komunitas itu rutin berkumpul, berdiskusi, dan memutar film bulanan. Mereka juga mempunyai satu buah mobil bak terbuka yang biasa digunakan membawa perlengkapan layar tancap.
Di Kabupaten Purbalingga hingga era 1990-an ada tiga bioskop lokal: Rayuan Theater, Braling Theater, dan Indra Theater. Bowo mengingat ia sering pergi ke Indra Theater di Kecamatan Bobotsari saat masih kecil dan menyelinap masuk dengan berpura-pura menjadi adik salah seorang penonton dewasa. “Bioskop dulu ramai. Orang datang berduyun-duyun dari mana-mana, naik truk, naik angkot untuk bisa menonton film Saur Sepuh. Kadang bahkan rela menginap dekat bioskop biar dapat tiket,” ujarnya.
Namun, lambat-laun gedung-gedung bioskop tersebut bangkrut dan tutup. Gedung-gedung bioskop kini sudah beralih fungsi menjadi kantor dealer otomotif dan pasar swalayan. Absennya gedung bioskop mendorong pemuda-pemuda Purbalingga pencinta film mendirikan CLC pada 4 Maret 2006.
Pada awal terbentuknya CLC, para anggota rutin mengadakan program pemutaran film bulanan dengan menyewa gedung. “Saat itu, kami juga mendapatkan bantuan gedung pemutaran dari Pemda. Tetapi, baru dua kali, gedung sudah dilarang digunakan,” ujar Bowo. Sampai saat ini tidak ada alasan jelas mengenai pelarangan itu. Semenjak itu, anggota komunitas memutuskan berjalan independen: memutar film dengan layar tancap sederhana di desa-desa dan memutar film pendek di sekolah.
Pada tahun ini, ada 12 titik desa yang terseleksi menjadi tempat acara—lebih banyak dari tahun sebelumnya yang cuma empat desa. Untuk memutar layar tancap di pelosok desa, mereka menyewa truk kecil yang tarifnya Rp 100 ribu per hari. Film yang diputar di desa-desa berdurasi paling lama 15 menit dan umumnya dibuat oleh pelajar SMP dan SMA di Purbalingga.
Minat pelajar pada film pendek sebenarnya tak serta merta muncul. Awalnya, perjuangan komunitas memperkenalkan film pendek ke sekolah-sekolah melalui ekstra kurikuler teater mendapatkan penolakan dari banyak kepala sekolah dan guru. Alasannya, dianggap tidak menunjang pelajaran. “Pada 2004, hanya ada tiga SMA yang mengizinkan, yakni SMA Bobotsari, SMA Muhammadiyah Purbalingga, dan SMA 2 Purbalingga,” kata Bowo, yang juga pengajar teater .
Dua tahun kemudian, tepatnya pada 2006, minat pelajar terhadap film pendek semakin berkembang. Banyak anak sekolah yang berinisiatif datang ke markas CLC meminta secara khusus diajari membuat film pendek. Inisiatif dari kalangan pelajar ini kemudian mendorong pihak sekolah akhirnya menghadirkan ekstrakurikuler sinematografi sejak 2010. Saat ini, sudah ada sepuluh SMA di Purbalingga yang memiliki ekstrakurikuler ini.
Beberapa film pendek kualitas juara festival sudah lahir dari tangan pelajar Purbalingga seperti Penderes dan Pengidep (2014), Angguk (2014), Lawuh Boled (2013), Pigura (2011) dan Kalung Sepatu (2011), yang terakhir bahkan masuk ke Festival Film South to South pada 2012.
Wildan A. Saputra, 17 tahun, mantan ketua ekstrakurikuler sinematografi Papringan Pictures dari SMA Kutasari Purbalingga yang langganan juara festival film pendek, mengatakan bahwa ia selalu mengambil inspirasi kehidupan sekitar, termasuk persoalan sosial masyarakat serta seni budaya. “Saya merasa berhasil buat film bagus kalau saat menonton film, kita merasa dekat dengan sang tokoh,” ujar Wildan yang memenangkan penghargaan naskah terbaik untuk Gang Selingkuh dalam Festival Film Creabo Pekan Komunikasi UI (Universitas Indonesia) 2014.
Sementara itu, Achmad Ulfi, 16 tahun, sutradara film Penderes dan Pengidep, mengatakan bahwa mengikuti ekstrakurikuler sinematografi berdampak banyak terhadap perubahan sikap dirinya. Ulfi yang awalnya sangat pemalu dan sungkan mengutarakan pendapatnya kini menjadi lebih terbuka dan berani. Untuk film Penderes dan Pengidep, yang memenangkan penghargaan film terbaik kategori dokumenter pelajar di Malang Film Festival 2014, ia melakukan riset selama hampir dua minggu lebih. Hampir setiap hari Ulfi datang ke rumah narasumbernya, keluarga perajin gula merah dan perajin bulu mata palsu. Setelah melakukan observasi langsung, ia pulang ke rumah pukul sebelas malam untuk kemudian mengerjakan tugas-tugas sekolah.
“Bagi waktunya berat tapi dengan ikut ekstrakurikuler sinematografi saya jadi lebih bertanggung jawab,” ujarnya.
Dukungan untuk CLC juga datang dari kalangan pesantren. Mereka menyadari bahwa film lebih daripada sekadar hiburan. Rohedi, pemimpin Pondok Pesantren Nurul Ulum Pasunggingan, memberikan izin tempat pada Karang Taruna Pasunggingan memutar layar tancap di halaman pondok. “Kita bisa perkenalkan budaya masyarakat Purbalingga lewat film. Anak-anak kecil jadi tahu,” ujarnya.
Bowo mengatakan saat ini dampak pemutaran film pendek memang belum dirasa terlalu mempengaruhi masyarakat secara langsung. Demikian pula halnya dengan pariwisata kota Purbalingga. Padahal, adanya festival film pendek tersebut ia yakini mampu menjadi daya tarik tersendiri jika digarap secara serius dengan banyak pihak. “Sampai saat ini belum ada yang saya lihat itikadnya kuat. Donatur menawarkan bantuan sponsor tetapi permintaannya macam-macam. Kami terpaksa tolak semuanya,” katanya. FFP 2014 menghabiskan dana sekitar Rp 60 juta.
Meskipun demikian, ia tetap melihat adanya geliat. Komunitas-komunitas film di pelosok-pelosok desa dan kabupaten di Banyumas Raya satu persatu mulai terbentuk, di antaranya Sangkanparan di Cilacap dan Godong Gedang di Banjarnegara. Di beberapa daerah lain komunitas filmnya masih pasang surut, terutama yang menggantungkan kucuran dana dari Pemda. Tapi, militansi menghidupkan seni sudah bersemi.