Indonesia Contemporary Art and Design (ICAD) 2019 masih berlangsung hingga 24 November nanti. Dalam gelaran konvensi yang ke-3 sekaligus sebagai penutup, ICAD mengangkat tema “Architecture as an Art”. Dalam konvensi ini, ICAD berkolaborasi dengan Ikatan Arsitek Indonesia Jakarta menghadirkan 3 arsitek ternama sebagai pembicara, mereka adalah Cosmas Damianus Ghozali, Revano Satria dan Budi Pradono. Konvensi “Architecture as an Art” diadakan di Sparca Lounge grandkemang Hotel Jakarta.
Acara konvensi dibuka oleh sambutan dari Harry Purwanto selaku ketua Yayasan Design+Art Indonesia dan Ricky Joseph Pesik mantan wakil kepala Bekraf. Dalam sambutannya Harry Purwanto mengumumkan pemenang ICAD Award 2019. Berbeda dari edisi-edisi sebelumnya, ICAD tahun ini mengadakan ICAD Award 2019 sebagai penghargaan untuk mereka yang telah berkontribusi bagi industri kreatif Indonesia. Penghargaan ICAD Award tahun ini diberikan kepada desainer dan seniman Irwan Ahmett asal Jakarta. Proses penentuan pemenang ICAD Award ditentukan oleh lima orang juri yaitu Bambang Budjono, Hilmar Farid, Ricky Joseph Pesik, Diana Nazir dan Harry Purwanto. Dengan diberikannya penghargaan ICAD Award kepada Irwan Ahmett, diharapkan ke depan karya-karyanya dapat memberikan inspirasi yang lebih luas terhadap kalangan desainer atau seniman kontemporer.
Dalam paparannya menanggapi tema “Architecture as an Art”, arsitek Cosmas Ghozali mengemukakan jika “Architecture as an art itu telah lahir semenjak zaman Renaissance, seluruh bangunan yang dibuat para arsitek di zaman itu, bukan hanya memikirkan fungsi bangunan tapi juga mementingkan estetika. Namun akhirnya semua kebiasaan itu hilang dampak dari tumbuhnya industrialisasi, sehingga orang-orang cenderung mempercepat dan mempersingkat waktu saat akan mendirikan bangunan.” kata Cosmas.
Terlebih lanjut Cosmas memaparkan “Tujuan utama seorang arsitek memang merancang konsep bangunan, tetapi dalam perkembangannya arsitek juga kerap kali memikirkan karya arsitektur yang dirancang nantinya akan menjadi sebuah karya seni.” Cosmas lalu memberi contoh dari pengalamannya “Dalam sebuah proyek, saya pernah terinspirasi dari karya Leonardo Da Vinci di The Sistine Chapel yang berjudul “Father and Son” saya mengambil ide tersebut untuk membuat sebuah kanopi yang akan menghubungkan 2 buah gedung, agar kedua gedung tersebut terlihat saling berinteraksi.” tutur Cosmas.
Cosmas Damianus Ghozali adalah seorang arsitek muda professional yang telah malang melintang selama belasan tahun di dunia arsitektur. Karyanya juga telah memenangkan beberapa penghargaan bergengsi seperti Rumah Ganesha di Bali yang memenangkan IAI Award Winning Team pada tahun 2002;Rumah Origami (Bandung,2002) dan Rumah Opera (Jakarta, 2002) yang memenangkan ICI Award Winning Team. Lulusan Technische Universitats Wien, Austria ini juga dikenal sebagai kolektor seni rupa dan kerap menghadiri berbagai pameran lokal maupun internasional.
Pembicara selanjutnya, arsitek Revano Satria mengemukakan sebuah statement “Karya arsitektural itu adalah ekspresi para arsitek itu sendiri, cara berpikir arsitek tersebut. Jadi ketika dikaitkan arsitektur sebagai sebuah karya seni, itu sangat relevan.” Namun Revano juga mengakui bukan berarti tidak ada pertentangan dalam gagasan arsitektur sebagai sebuah karya seni, arsitek Jerman Patrik Schumacher dalam pembukaan Venice Biennale 2014 pernah berkata “Arsitektur itu bukan karya seni, arsitektur adalah tentang bentuk dari sebuah bangunan, bukan tentang isinya. Meskipun hal tersebut masih debatable” tambah Revano Satria.
Revano Satria adalah arsitek lulusan Architectural Association School of Architecture di London. Diantara banyak karya yang telah dihasilkannya, karya yang berjudul ‘Twist and Shout’ – yang diadaptasi dari judul lagu The Beatles—memenangkan penghargaan “Arsitektur Rumah Tinggal Terbaik” se-Asia Pasifik dari The International Property Awards; The Golden Award dari Golden A’ Design Award dan baru baru ini, MSSM’s Origami School dan Nusa Takao dipamerkan di 2018 Biennale Architettura 2018.
Sebagai penghujung, arsitek Budhi Pradono menutup konvensi dengan berbicara tentang kota-kota besar di dunia yang memiliki karya arsitektural sebagai landmark kota, dan akhirnya menjadi simbol kebudayaan dan peradaban masyarakat kota itu sendiri. Menutup presentasinya, Budhi Pradhono mengatakan “saya sendiri sebagai seorang arsitek dalam berkarya selalu mempertanyakan status quo, saya kerap mempertanyakan sesuatu yang sudah stabil, seperti kenapa jendela itu selalu kotak atau kenapa kolam itu selalu lurus, itu adalah salah satu cara saya mengekspresikan arsitektur sebagai bagian karya seni kontemporer.”
Budi Pradono merupakan salah satu arsitek berpengaruh Indonesia yang karyanya telah menjadi perbincangan dunia dan telah memperoleh sejumlah penghargaan bertaraf internasional. Penghargaan-penghargaan tersebut antara lain, Cityscape architecture award, Dubai 2004; AR Awards for Emerging Architecture, London, 2005; World Architecture Festival Award, Barcelona 2008; Silver medal & Honorary diploma INTERARCH, Triennial Architecture, Sofia Bulgaria 2009. Karya-karya Budi Pradono mengangkat konsep bangunan yang menyatu dengan alam. Dalam konsep Green Architecture yang dikembangkannya, ia menegaskan bahwa seorang arsitek dalam merancang suatu bangunan harus memperhatikan ketiga prinsip yakni sustainability, eco-friendly, dan high performance building.
Pameran ICAD 2019 – Faktor X masih terus berlangsung hingga 24 November 2019 di grandkemang Hotel Jakarta. Untuk informasi selengkapnya kunjungi www.arturaicad.com