Atmosfer kota Yogyakarta yang sarat akan seni dan budaya rupanya mengundang perhatian British Council Indonesia dan Festival Edinburgh. Mengundang James McVeigh selaku Head of Marketing and Innovation Festival Edinburgh, British Council Indonesia menyelenggarakan lokakarya bertajuk “Manajemen Festival dan Branding Yogyakarta”.
Lokakarya tersebut merupakan lanjutan dari dua lokakarya sebelumnya yang pernah diadakan di 2014. Jika pada dua lokakarya sebelumnya agenda yang dibicarakan lebih menjurus pada pemetaan stakeholder, peluang, dan antisipasi hambatan, maka pada kesempatan ketiga yang berlangsung 22-24 April 2015 di Greenhost Boutique Hotel, Prawirotaman, Yogyakarta, James McVeigh akan berbagi mengenai konsep promosi festival gabungan dan dampak sebuah festival berdasarkan pengalamannya mengelola Festival Edinburgh.
Sebanyak 18 festival dan komunitas seni budaya di Yogyakarta ikut serta dalam lokakarya ini, di antaranya Artjog, Biennale Jogja, Ngayogjazz, Papermoon Puppet Theatre, dan lainnya. Kolektif tersebut akan mendapatkan pelajaran mengelola festival dengan mengacu pada kesuksesan penyelenggaraan Festival Edinburgh. Seluruh festival ini nantinya akan saling berkolaborasi dan melebur menjadi satu di bawah bendera jogjafestivals.
Sebagai catatan, Festival Edinburgh sudah diadakan sejak tahun 1947, dua tahun setelah berakhirnya Perang Dunia II. Pada penyelenggaraan pertamanya, Festival Edinburgh berhasil menyatukan penduduknya ke dalam gegap gempita dan sejenak melupakan perang. Pada penyelenggaraan-penyelenggaraan berikutnya, Festival Edinburgh menjelma menjadi salah satu festival bergengsi dan berhasil mendapat sorotan dunia. Ribuan pengunjung, artis, dan media coverage mengalir pada tiap penyelenggaraan mereka.
Lalu, apakah strategi yang diimplementasikan di Festival Edinburgh relevan dengan medan seni budaya Yogyakarta? James, dalam sesi terbatas untuk media yang diadakan di Morrissey Hotel, Jakarta, berpendapat bahwa Edinburgh dan Yogyakarta memiliki beberapa kemiripan, misalnya dalam hal ukuran kota yang tidak terlalu besar dan jumlah populasi penduduknya. “Sulit untuk membuat festival besar di kota seluas Jakarta, tapi Yogyakarta punya potensi tersebut,” ujarnya.
Sebuah festival tentu bukan hanya perkara luas kota dan jumlah penduduk, tetapi juga faktor masyarakat di tempat berlangsungnya festival. Apakah orang-orang di Edinburgh punya karakteristik yang sama dengan orang-orang Yogyakarta? James masih percaya diri menanggapi hal ini. Ia mengatakan, “Saya rasa semua orang akan senang dengan festival. Mereka butuh sesuatu yang baru dalam kehidupan sehari-hari mereka.”