Di balik rangkaian perayaan seratus tahun Basoeki Abdullah, berbagai stigma perihal karyanya masih diingat masyarakat, terutama di kalangan seniman. Menelaah hal tersebut, kurator Eddy Soetriyono, Mikke Susanto, Rektor Institut Kesenian Jakarta Wagiono Sunarto, dan sejarawan JJ Rizal membahas latar belakang dan kekaryaan sang maestro di Indonesia dalam seminar bertajuk ‘Basoeki Abdullah di Tengah Bangsa dan Seni Rupa Indonesia’ di Museum Nasional Indonesia, 23 Oktober 2015.
Salah satu stigma yang melekat pada sosok Basoeki Abdullah yakni gaya kebaratan yang juga sempat ditudingkan S. Sudjojono padanya. Menanggapi pandangan ini, Eddy Soetriyono mencatat, di era kolonialisme, makna modernisasi di negeri terjajah ‘diberi’ kiblat Barat. Dengan demikian, menurutnya, jagat seni rupa Indonesia melahirkan seniman-seniman anak kandung zaman sebagai sebuah keniscayaan, di mana seharusnya bukan hanya Basoeki Abdullah saja yang kebarat-baratan, melainkan juga Affandi, Hendra, juga S. Sudjojono.
“Bagaimana seorang pemeluk Katolik Roma yang ‘kebarat-baratan’ mampu melahirkan lukisan Bunda Maria dalam pakaian kebaya dan sinjang batik bermotif parang rusak, terbang melayang di atas Gunung Merapi, lengkap dengan hamparan sawah serta nyiur melambai?” kata Eddy. Lukisan Bunda Maria versi Jawa tersebut menjadi koleksi di Museum Nijmegen, Belanda.
Kekentalan pengaruh Jawa seringkali hadir dalam karya-karya Basoeki yang dilatari folklore dan legenda Jawa seperti Pertarungan Gatotkaca dan Antasena, Garuda menyelamatkan Shinta, Kisah Jaka Tarub, dan Kanjeng Kidul. Menurut Wagiono Sunarto, Basoeki yang terlahir sebagai anak Jawa di masa penjajahan, dibesarkan di alam Jawa, dan belajar seni secara Eropa, membuatnya mengungkapkan tema-tema bernafas tanah kelahirannya lewat gaya barat. Posisinya yang lahir dan besar di Jawa, menurut Wagiono, tidak membuatnya kemudian melukiskan tema kecantikan yang naif seperti sikap orientalis seniman barat.
Tema-tema Basoeki yang lebih mengedepankan kisah heroik, legenda, dan peristiwa dramatis bagi Wagiono lebih dekat pada gaya romantikisme, dan neoklasik. Dalam gaya ini, alam dan landscape tampil realistik, dengan anatomi yang didistorsikan untuk meningkatkan drama, background yang dramatis, dan detil yang indah.
Distorsi ini pula yang kemudian menjadi sangkalan atas salah tafsir pada penyebutan prestasinya sebagai ‘seorang pelukis potret’. Sebagaimana yang ditulis Eddy dalam makalah Yang Sering Disalahtafsirkan dari Pelukis Basoeki Abdullah untuk 100 Tahun Basoeki, kalangan seni rupa yang pertama kali berani menyanggah hal ini adalah Affandi. Menurut Affandi, sebagaimana dituturkan salah seorang kolektor besarnya, John Mamesah, Basoeki sama sekali bukan pelukis potret. Pasalnya, Basoeki tak pernah bisa melukis sosok manusia sebagaimana adanya, melainkan selalu lebih indah dan lebih cantik ketimbang aslinya.
Hal ini tampak dalam lukisan Imelda Marcos, Ratu Sirikit, dan Naoko Nemoto yang tampak lebih muda dan berkulit halus mulus, tidak seperti potret hasil jepretan sebuah lensa kamera saat menangkap figur manusia. Sementara itu Mikke Susanto menafsirkannya sebagai beautifikasi yang diterapkan Basoeki dengan memegang ideologi bahwa lukisan merupakan medan yang memberi kelebihan dibanding realitas, sehingga dapat dibuat lebih indah dari aslinya.
Di sisi lain, unsur ‘kecantikan’ atau ‘kebagusan’ ini dengan senang hati dibuang Basoeki saat tema lukisannya tidak menuntut hal semacam itu. Seperti halnya untuk menampilkan figur Raden Ayu Oentarti Roosseno sebagai pendamping hidup Prof. Dr. Ir. Roosseno, ahli restorasi yang berjasa memugar Candi Borobudur, Basoeki mencoba sedikit mendeformasi sosok Oentarti ala constructivism art.
Untuk menjaga ungkapan realismenya dari kesan klise, ‘mannerrism’, dan repetitif, Basoeki mencari metafor-metafor visual lainnya dengan mengongkosi dirinya sendiri ke berbagai negara. “Tidak dengan mengaku idealis namun ‘ngemis’, sibuk mencari sponsorship ke berbagai lembaga dan instansi,” kata Eddy.
Hal ini pula yang menurut Mikke membuat Basoeki memilih tidak tinggal di istana presiden dan menjadi pelukis di sana saat diminta Soekarno. Mikke menilai Basoeki seperti perpanjangan tangan artistik Soekarno, di mana Soekarno menjadi kacamatanya untuk menerjemahkan Indonesia secara artistik. Karakter lukisan Basoeki yang sangat kuat adalah lukisan bertema nasionalisme: potret pahlawan maupun mitologi lokal Jawa. Dengan tema-tema ini, Soekarno amat terbantu untuk ‘menyusun’ dan menyajikan imaji-imaji kebangsaan, utamanya bagi bangsa yang baru merdeka.
Senafas dengan pemikiran untuk menciptakan visual bangsa yang besar dan merdeka, JJ Rizal menangkap pola penggambaran sosok Soekarno yang dilukis Basoeki selalu memikili satu benang merah, dengan tampil berwibawa, penuh percaya diri, bergairah, dengan semangat berkobar, berseragam, dan berpeci; menempatkan Sukarno sebagai panutan dan tokoh yang harus dihormati.
Melalui lukisan semacam ini, menurut JJ Rizal, Sukarno, sebagai presiden maupun pribadi, terpanggil untuk mengoleksinya. Ia membutuhkan para pelukis dan lukisan-lukisan ini untuk dipakai sebagai pencitraan bangsa yang besar dan kaya akan sumber daya manusia, alam, dan budaya.
Sisi lain Sukarno yang apresiatif dan mau tahu pada keindahan pun mengiringi kedekatannya dengan basoeki, sampai pada selera lukisan perempuan. Kegemaran Basoeki membuat lukisan nude ini bagi Mikke menjadi puncak pertaruhan kreativitas sang maestro. Hal ini mengundang anggapan bahwa dirinya seringkali mengeksploitasi perempuan dalam karyanya.
Meski demikian , menurut Mikke, konsep ketelanjangan yang tersirat dari lukisan Basoeki lebih pada pengambil-alihan pose tentang keindahan tubuh dengan efek geraknya. Seperti yang dikutip Mikke dalam makalah Intimasi: Basoeki Abdullah, Sukarno, & Lukisan tentang Perempuan, Basoeki menyanggah, “Selain seni, ketelanjangan adalah sikap sempurna dan cermin kepolosan.”