'Liquefaction of Mooi' (2013), single channel video ; Karya Eldwin Pradipta
'Liquefaction of Mooi' (2013), single channel video ; Karya Eldwin Pradipta
‘Liquefaction of Mooi #2’ (2013), single channel video, Eldwin Pradipta. Image Source :IndoArtNow

Perkembangan seni rupa di Indonesia merupakan sebuah praktik yang dinamis, walau tidak berakar dari sumber dukungan lembaga pemerintah layaknya seni rupa di negara barat. Terkadang perkembangan ini terkesan mengadopsi sikap yang menganggap semua boleh, atau dalam kata lain semua halal. Demikian konsep ini diangkat oleh kurator Rifky Effendy menjadi tema pameran kelompok seniman Indonesia yang diselenggarakan di Vanessa Quang Galerie, Paris. Pameran berjudul “No Worries : Halal Indonesian Art” yang mengikutsertakan 11 seniman dari Indonesia ini berlangsung pada 19 Maret – 25 April 2015.

Yang menarik perhatian dari pameran ini terlebih dulu adalah konsep dan judul yang dipilih oleh tim kuratorial. Khususnya, pameran “No Worries: Halal Indonesian Art” ini mempersembahkan pengartian konsep dikotomi yang dapat menimbulkan artian lain jika dipamerkan melalui konteks geografi yang berbeda. Dari judul pameran sendiri, ada beberapa titik bedah yang merupakan usulan bagi para pengunjung untuk mencapai konsepsi awal mengenai tema pameran. Namun, satu kata yang mengandung fokus utama dari judul pameran ini terdapat pada kata ‘halal’.

Pemakaian kata ‘halal’ dalam konteks di mana karya seni diciptakan (Indonesia) dan di mana karya-karya ini dipamerkan (Perancis) bisa dikatakan cukup berbeda. Kasarnya, penyampaian dan pemakaian kata ‘halal’ di Perancis atau negara barat secara samar-samar mengandung konotasi yang religius, sedangkan kata ‘halal’ dalam konteks masyarakat Indonesia digunakan secara kasual dalam percakapan sehari-hari sebagai istilah legitimasi; menandakan mana yang boleh dan yang tidak.

“Dalam konteks pameran ini, kata ‘halal’ lebih tepatnya menggambarkan situasi di pusaran seni rupa Indonesia yang berdiri independen dari dukungan pemerintah, sehingga menciptakan sebuah metafor mengenai perkembangan seni yang dinamis dan semuanya boleh,” kata kurator Rifky Effendy.

Dari 11 seniman yang ikut serta dalam pameran ini, sembilan diantaranya mempersembahkan karya seni yang dapat digolongkan sebagai seni media baru (New Media Art) dan dua seniman lainnya memamerkan karya seni fotografi.

Karya seni media baru yang kian berkembang di Indonesia merupakan sebuah simbol dari seni ‘halal’ yang dimaksudkan kurator, dan menangkap dinamika perkembangan seni kontemporer tanpa dukungan dari lembaga pemerintah. Tekanan yang timbul dalam mengatasi berbagai permasalahan sosial ini malah dijadikan inspirasi dan tenaga untuk terus berkarya. Contohnya dapat dilihat dari karya berupa single channel video persembahan Eldwin Pradipta yang berjudul Liquefaction of Mooi #2 (2013).

Karya Agan Harahap yang ditampilkan dalam pameran No Worries : Halal Indonesian Art di Vanessa Quang Galerie, Paris yang berlangsung dari tanggal 19 Maret sampai dengan 25 April 2015. (sumber : Facebook)

Ketertarikan Eldwin kepada bentuk seni low art yang kerap dijadikan basis materi dalam karya-karya video-nya terlihat jelas pada karya ini. Menggambarkan video rekaman sebuah adegan dari kios jalanan penjual lukisan di  jalan Braga Bandung, video berdurasi 2 menit 30 detik ini juga cerminan dari pergumulan dan kritiknya terhadap pergerakan seni mooi indie yang hanya melukiskan keindahan pemandangan alam dan menyembunyikan keadaan sebenarnya yang tidak selalu terlihat cantik.

Dalam karya video ini, pemandangan pegunungan yang dilukiskan dan dijual pada kios sepanjang jalan braga terkesan bernyawa, dan secara perlahan animasi video ini menunjukkan gunung berapi yang sedang meletus dan melumatkan lukisan-lukisan bertema mooi indie sepanjang jalan Braga tersebut. Unsur mengejutkan ini mengungkapkan sisi lain dari keindahan alam Indonesia dan menunjukkan kritik seniman tentang keragaman seni high art dan low art yang keduanya hidup berdampingan di pusaran seni Indonesia.

Seniman lain yang turut serta dalam pameran “No Worries : Halal Indonesian Art” antara lain Wimo Ambala Bayang, Irwan Ahmett &Tita Salina, Muhammad Akbar, Agan Harahap, Krisna Murti, Anggun Priambodo, Ratu S. Saraswati, Melati Suryodarmo, dan TROMARAMA.

Secara logistik maupun konsep pameran, penyertaan seni media baru meperlebar adanya peluang untuk seniman-seniman Indonesia memamerkan karya mereka pada pasar seni Eropa. Namun, akankah pameran ini mempengaruhi konsepsi masyarakat barat terhadap keadaan seni rupa kontemporer Indonesia? Atau mungkin malah akan menimbulkan kesalahpahaman tentang tema dari pameran ini? Mungkin kata ‘halal’ bukanlah kata yang paling tepat untuk menggambarkan tema dari pameran ini, dan representasi seni rupa kontemporer Indonesia di arena internasional perlu dipertimbangkan lebih lanjut.