Keluarga adalah cermin pada prinsip kemanusiaan secara umum. Filosofi itu disampaikan oleh Rizki A. Zaelani dalam sambutannya di Galeri Nasional, Kamis, 30 April 2015. Bersama Eddy Hermanto, ia mengkurasi pameran retrospektif bertajuk “Pada Cermin | On Mirror”. Melalui tema tersebut, pameran ini dirancang untuk melihat cerminan pengaruh, inspirasi, serta semangat dalam sebuah keluarga seniman. Adalah Rd. Hassan Pratama, Rd. Syarief Hidayat, Rd. Arya Pandjalu, dan Rd. Arya Sukapura Putra merupakan anak seniman Rd. Tohny Joesoef (Alm.) dan karya merekalah yang dicerminkan meski terpisah dua ruang pameran.
Di gedung B, karya-karya Tohny Joesoef diurutkan berdasarkan kronologi karakter karya. Di bagian depan, lukisan-lukisan pemandangan dan tumbuhan; di sebelahnya, untuk tema abstrak; di bagian lain, khusus untuk karya-karya drawing dan figur. Penataan ini memudahkan pengunjung melihat rekam jejak perkembangan karya sang seniman.
Memasuki gedung C dan melihat karya empat anaknya, pengunjung mulai bisa melakukan proses pencerminan. Benang merah yang bisa ditarik adalah adanya kepekaan terhadap alam, baik tumbuhan, hewan, dan lingkungan seperti yang tercermin pada Roosterman, karya instalasi Syarief Hidayat berupa sosok ayam berpenampilan superhero yang ia gambarkan sebagai manusia jago yang akan memperbaiki kehidupan sosial dan politik di Indonesia.
Selain itu, pada karya berjudul Garden of Delight, Arya Pandjalu berbagi pengalaman pribadi dengan sang ayah yang menginspirasi karyanya. “Bapak itu pecinta tanaman. Saya diajari menyiram, menanam, dan lainnya oleh beliau. Mungkin itu cara beliau mengajarkan saya soal kehidupan,” ujarnya.
Arya S. Putra, si bungsu, juga banyak bicara tentang kehidupan sosial lewat objek bumi yang muncul di atas kertas pada lukisan cat airnya yang berjudul Global Series, selain menampilkan karya-karya videonya. Hassan Pratama banyak membuat lukisan figur dengan warna-warna yang tegas. Yang paling menarik adalah karyanya berjudul The Artist Family, memuat lima kepala laki-laki tanpa wajah yang jika sekilas saja dicermati, tampak seperti potret keluarga Tohny dan empat anaknya.
Bicara soal pengaruh atau kesamaan dalam berkarya, Syarief mengaku bahwa sang bapak tidak pernah melihat anaknya berkarya. “Tapi bapak mencermati semangat anak-anaknya,” tambahnya. Arya Pandjalu justru mengakui bahwa di awal-awal masa berkeseniannya, ia banyak terpengaruh dari atmosfir kesenian di Sanggar Ligar Sari ’64, tempat Tohny Joesoef mendidik seniman-seniman muda. “Tumbuh di komunitas, saya diajari sampai saya SMA. Saat itu, pengaruh beliau masih kuat dalam karya saya, dari segi citraan, warna, garis, sebelum akhirnya sekarang hubungan pengaruh itu makin jauh,” ujar Arya.
Lewat Sanggar Ligar Sari ’64, Tohny memang telah banyak mencetak seniman berbakat, di antaranya Deden Sambas, Irman A. Rahman, atau Bambang Sudarsono.Berkat keberadaan sanggar ini juga, Tohny tak sekedar terkenal sebagai seniman di Bandung, tapi juga pendidik. Ia juga berperan mendorong seniman-seniman Bandung untuk berani berpameran di luar Bandung. Eddy Hermanto mengakui hal ini. “Sebagai guru, beliau memang keras. Tapi selalu mengedepankan sopan santun dalam berkesenian,” imbuhnya.
Sebagai seniman sendiri, Tohny Joesoef punya semangat belajar yang kuat dan inilah yang membuatnya menghasilkan banyak pendekatan berbeda dalam karyanya. Ia juga dikenal sebagai murid S. Soedjojono dan oleh karena itu pula Arya Pandjalu menilai bahwa sang ayah memang terpengaruh realisme sosial dari Yogyakarta.
Butuh waktu 14 tahun pasca meninggalnya Tohny Joesoef di tahun 2001 untuk membuat pameran retrospektif ini. Tidak sebentar, tapi hasilnya cukup sebanding dengan waktu yang panjang tersebut. Sampai 12 Mei 2015, pengunjung dapat melihat bagaimana darah seni terbukti mengalir deras dalam keluarga Tohny Joesoef.