Garis-garisnya spontan nan ekspresif. Tidak ada keraguan dalam setiap tarikannya, membaur dan seringkali menghantam objek-objek abstrak. Warna-warnanya pun tampak sembrono, dari pastel hingga bauran warna-warna dingin. Semuanya dicampurkan ke dalam satu bidang kanvas, menghasilkan komposisi warna yang kacau. Sementara figur utama yang buruk rupa, kokoh bertengger di tengah bidang kanvas. Inilah “Grotesk” dari Natisa Jones, wajah-wajah buruk rupa yang tak memiliki konformitas bentuk yang mencoba lepas dari pakem dunia.
Natisa Jones, adalah seniman muda asal Bali dan lulusan seni lukis dari Royal Melbourne Institute of Technology. Tidak seperti pelukis Bali lainnya, Natisa enggan mengadopsi bentuk-bentuk figuratif dan dekoratif ke dalam lukisannya. Dia lebih memilih bentuk-bentuk penuh distorsi dan bermain pada tataran ekspresi yang banal, keseharian, identitas, dan alam bawah sadar manusia. Ia sering bereksperimen menggunakan tinta, grafit, dan akrilik.
“Grotesk” adalah pameran tunggal ketiga Natisa, bertempat di Galeri Salihara dan berlangsung dari 01—26 Juli 2018. Dua tahun sebelumnya, Natisa juga pernah menyelenggarakan pameran tunggal “Tough Romance” di Ruci Art Space. “Tough Romance” menyajikan sisi murni anak-anak sang seniman dalam konteks dunia dewasa. Melalui penggunaan warna-warna yang lembut, Natisa mengeksplorasi kembali perasaan riang anak-anak, keingintahuan, dan urgensi untuk bermain-main.
Dua tahun telah berselang, Natisa pun kembali berpameran tunggal, tentunya dengan karya-karya yang berbeda. Karya-karya barunya terbilang cukup segar dan lebih matang dalam hal pemikiran. Menampilkan lukisan, drawing hingga instalasi puisi. Karyanya juga tidak melulu soal bentuk dan figur, tapi mengusung ekspresi dengan penyajian yang mengganggu. Untuk itu, Natisa enggan memberikan konsep pada karya-karyanya. Ia lebih memilih berkarya secara spontan, membiarkan emosi mengalir pada garis-garis biomorfisnya. Begitu pula yang terlihat dari goresan catnya, terlihat kuat sekaligus sembarangan. Namun itu lah yang membuat karya-karya Natisa menarik. Perenungan, ekspresi, dan emosi campur ke dalam sapuan kanvas yang impulsif.
Kesan awal saat melihat “Grotesk” dari Natisa, sosok buruk dari gambar-gambar Francis Bacon selintas bermunculan. Sosok-sosok pipih yang tak acuh, menatap sinis realita yang terpajang di kanvas. Natisa memang tidak secara langsung memberikan pernyataan perihal bentuk, tapi pemberian nama pameran “Grotesk” (dari kata grotesque) oleh Asikin Hasan selaku kurator sangat sesuai. Grotesque adalah kombinasi keburukan imaji-imaji hibrida atas kenyataan yang terjadi.
“Pun, karya-karya Natisa bisa jadi adalah gambaran dunia bawah sadar dengan peristiwa lain yang mencoba meloloskan diri dari kesesakan dan kepungan sensor resmi yang punya definisi umum tentang ‘kebaikan’. Ia mencoba mengembalikan manusia pada pengalaman-pengalaman paling personal, menempatkan sesuatu yang dianggap ‘suci’ menjadi biasa-biasa saja, yang tabu menjadi terbuka-agar manusia kembali melihat kesejatian dirinya” ungkap Asikin dalam pengantar kuratorial “Grotesk”
Sementara itu, grotesque Natisa tidak lah gelap sebagaimana Bacon, tapi penuh warna cerah yang bertabrakan.
Di antara karya-karyanya yang ditampilkan di pameran ini, sekiranya Hungry adalah penjelmaan ekspresi Natisa yang paling kuat. Sosok perempuan besar berdiri mengisi sebagian besar bidang kanvas. Tubuhnya dipenuhi oleh sapuan spontan yang sesekali berulang dan saling menindih, untuk selanjutnya membaur bersama dengan latar yang kacau. Alih-alih memikirkan konfigurasi warna, Natisa lebih suka bergerak bebas. Menarik garis sekali tarik, melalui bidang-bidang warna. Ia juga kerap menggambarkan objek bunga sebagai metafora atas ketakutan-ketakutan yang ia alami sebagaimana yang tampak pada Hungry.
Andaikata sosok perempuan pada Hungry adalah representasi sang seniman sendiri, lukisan ini dapat dibaca sebagai pengejawantahan kegelisahan ataupun ketakutan Natisa sebagai seniman perempuan. Menghadapi stereotype perempuan dan laki-laki dalam hiruk pikuk dunia seni yang secara gamblang terlihat pada permainan warna-warna latar lukisan.
Lukisan lain yang cukup mencuri perhatian adalah The Ghost We Carry In The Dirt. Sosok hitam, tak bergender, seolah duduk dengan sebagian tubuh berwarna hitam dan kaki putih yang terkulai. Di belakang sosok hitam tersebut, campuran warna hijau-biru disapukan secara tipis dan dibingkai dengan warna hitam tebal. Pada bagian kanan kanvas, garis-garis hitam ditarik dari atas ke bawah memberi kesan cat yang menetes. The Ghost We Carry In The Dirt, sebagaimana yang sudah jelas dibaca melalui judulnya sendiri, merupakan gambaran universal manusia yang selalu dihantui oleh segala macam prasangka, ketakutan, kegelisahan, hingga pikiran jahat. Melalui The Ghost We Carry In The Dirt, Natisa ingin menelusuri jejak paling dalam dari kesadaran manusia termasuk dirinya. Ketakutan yang tersemat pada setiap individu.
Di samping lukisan-lukisan berukuran besar, “Grotesk” juga menyuguhkan karya drawing Natisa. Ekspresi spontan terlihat melalui garis-garis yang terkadang seperti anak-anak. Riang, tapi juga dapat bertransformasi menjadi garis-garis yang bimbang dan masygul. Mengamati setiap karya drawing Natisa, ada suatu perasaan keintiman dan intensitas yang muncul, menjadikan karya lebih personal dan simpatik.
“Tough Romance” telah matang dan bermetamorfosis menjadi “Grotesk”, sosok-sosok buruk yang meng-anomali keindahan. Karya-karyanya masih memperlihatkan sisi anak-anak sang seniman yang murni, hanya saja lebih dewasa dalam hal pemikiran. Menanggapi berbagai macam gejolak keseharian, sifat universal manusia, identitas, dan alam bawah sadar manusia.Tak berlebihan jika lantas menyebut “Grotesk” sebagai pencapaian kontemplasi sekaligus fantasi hibrida Natisa Jones.