Ketertarikan akan alam pikiran dan perilaku seorang anak berusia 3 tahun adalah titik awal dari “Gendhuk”, sebagai pameran sekaligus proyek dari seniman asal Bandung, Nala Nandana. Anak 3 tahun tersebut adalah Leah, yang tak lain anak perempuan Nala.
Di proyek “Gendhuk”, Nala mencoba memahami ketika Leah menyerap dunia sekitar dan merefleksikan kembali lewat berbagai tingkah laku, celotehan, dan coretan sebagai seorang anak kecil. Interpretasi tentang Leah akhirnya dituangkan seniman kelahiran 1985 tersebut dalam berbagai karya dua dimensi maupun instalasi yang menggunakan media campuran seperti kertas, kanvas, kayu, hingga found object. Kesempatan pameran tunggal Nala yang kedua ini berlangsung pada 4-11 Agustus di Kolekt, sebuah ruang alternatif yang terletak di Jalan Gudang Selatan, Bandung.
Istilah gendhuk digunakan di budaya Jawa sebagai panggilan kepada anak perempuan. Nala mengangkat analogi gendhuk dari kisah Gendhuk Duku, yakni teman bermain Roro Mendut sejak berada di kadipaten Pati. Dalam kisah tersebut, Gendhuk Duku digambarkan sebagai seorang anak yang tumbuh dewasa lewat pembelajaran hidup yang diserapnya dari pengalaman hidup Roro Mendut. Analogi ini mewakili keinginan Nala sebagai seseorang yang bisa berpengaruh bagi Leah, yang memberi pembelajaran hingga dewasa. Untuk bisa memberikan pengajaran yang tepat guna, Nala berupaya memahami dunia Leah yang jauh berbeda dengan kehidupan orang dewasa.
Lewat interaksi yang terjadi antara Nala dan Leah di keseharian, keduanya saling menghadapi keadaan yang asing. Rifandy Priatna yang menuliskan catatan pengantar di pameran ini menjelaskan bahwa sesuatu yang asing dan aneh dalam dunia Leah terkadang hasil dari sesuatu yang terasa normal dan biasa saja dalam dunia Nala. Begitu pun sebaliknya. Pola hubungan dari kedua “dunia” yang berkebalikan tersebut menghasilkan sebuah dunia baru yang tampak pada serangkaian karya Nala.
“Proses memahami merupakan tantangan bagi saya untuk mengukur seberapa baik visualisasi sebagai bentuk pembacaan sebuah fenomena. Dengan menampilkan visual yang akrab saya temui, proyek ini berupaya menampilkan berbagai bentuk analogi yang saya lakukan saat memahami imajinasi secara subjektif di atas imajinasi seorang anak,” papar Nala.
Untuk memilih analogi visual yang tepat dalam menginterpretasi dunia imajinasi Leah, Nala mencoba membagi cara berpikir menjadi tiga cara pengelompokan, yakni secara visual, logika abstraksi, dan alegori. Tiga cara yang digunakan sebagai kerangka berpikir tersebut bertujuan melihat kemungkinan bentuk visual saat bermain dalam imajinasi Leah.
Dari sana, segala informasi yang didapat Nala menjadi rujukan dan diinterpretasi dalam bentuk-bentuk visual. Meski begitu, karya yang ditampilkan dalam “Gendhuk” tidak melulu menunjukkan detail pada bentuk. Salah satu karya yang juga bertajuk sama dengan proyek ini, dihadirkan Nala lewat goresan tinta pada kulit nabati yang dipasang di atas papan kayu. Karya tersebut menghadirkan sesosok anak kecil yang separuhnya terlihat dari tampak luar dan separuhnya lagi dilihat dari segi kerangka tubuhnya.
Pengunjung juga bisa melihat karya bertajuk Untitled berupa tiga panel gambar foto ultrasonografri yang kemungkinan besar adalah keadaan Leah sewaktu masih di dalam kandungan. Sedangkan di tengah ruang pamer, sebidang instalasi bertajuk Tumbuh menghadirkan meja kayu yang menopang pasir kasar dengan tumbuhan yang menyembul di antaranya, memberi gambaran tantangan untuk bertumbuh dan berkembang di masa kini.
“Sebagai seorang ayah, sudah mejadi kewajiban untuk selalu memberi bekal pada keturunannya. Proses pemberian bekal ini yang menjadi tolok ukur bagi saya untuk selalu membekali Leah berbagai hal baik guna menjalani kehidupannya kelak,” jelas Nala.