Pada pameran tunggal Budi Ubrux yang bertajuk “Indonesia”, gedung B Galeri Nasional Indonesia, Jakarta disulap habis-habisan. Objek-objek instalasi bermaterikan kayu memenuhi ruangan, termasuk bagian depan yang dipenuhi instalasi nasi bungkus dari materi yang sama. Tapi ada satu benang merah yang merangkul karya-karya ini: koran.
Pameran yang berlangsung pada 3-13 Agustus 2017 ini memperlihatkan ketertarikan Ubrux pada dunia jurnalistik. AA Nurjaman, yang mengkuratori pameran ini bersama Wahyudin dan Kuss Indarto, mengatakan, “Bagi Ubrux, jurnalis punya peran penting dalam proses pembentukan negara Indonesia.”
Masuk ke ruangan pertama gedung B, pengunjung mendapati tiga patung wanita berwarna perak dan instalasi ruang tamu di tengah. Kursi dan mejanya sudah Ubrux lukis sedemikian rupa sehingga tampak seolah dibungkus koran yang memuat nama-nama besar yang pernah lahir di republik ini seperti Soekarno, Hatta, R.A. Kartini, Tirto Adhi Soerjo, hingga Douwes Dekker, judulnya Mereka yang Terhormat.
Di ruangan ini ada juga empat lukisan dengan gaya berlainan. Pertama, lukisan realis berjudul The Boat and The Workers; kedua, lukisan berjudul Ayam-ayam buatan tahun 1997; ketiga, lukisan Peta Perjalanan Cheng Ho yang menampilkan seekor naga di antara dedaunan yang dua bagian kelopaknya bertorehkan peta zaman silam.
Wahyudin menyebut bagian ruang pertama ini sebagai simbol perjalanan kekaryaan Ubrux sejak 1997. Karya-karya realisnya yang menampilkan manusia koran seperti di The Boat and The Workers adalah model pernyataan dan komentarnya soal kondisi sosial. Sedangkan karya Ayam-ayam adalah sekadar model penggambaran, tanpa diskursus.
“Karena memang dibuat untuk dijual dan itu karya dia yang laris di masa itu. Kalau yang abstrak, karena saat itu di Yogyakarta sedang tren lukisan abstrak, dan seorang seniman merasa dirinya belum jadi seniman kalau belum bisa membuat lukisan abstrak.”
Usai dengan rangkuman kekaryaan Ubrux, di ruang kedua dan ketiga, pengunjung diajak melihat gaya koran khas Budi Ubrux – yang sudah identik dan terbukti mampu menopang kesenimanannya sehingga tak harus membuat lukisan sejenis Ayam-ayam lagi.
Misalnya, Ubrux membuat citraan koran di atas Vespa kayu berplat polisi RI 1. Di sampingnya, sebuah gerobak angkringan dilukis penuh tampilan koran, sementara, dinding sudah diisi seluruhnya oleh instalasi nasi bungkus dibalut hal yang sama.
“Ubrux membuat kontras, bahwa apa yang tadinya dianggap makanan rakyat, kini sudah jadi gaya hidup yang harganya tinggi,” ujar Wahyudin.
Sementara itu, di ruang terakhir, karya-karya Ubrux mengetengahkan risiko profesi jurnalis dalam rupa yang lebih “menakutkan”. Senapan-senapan AK-47 dari kayu dijajarkan terarah ke wajah-wajah manusia tertutup koran. Di tengah ruangan, pada karya Makar, Ubrux membuat gergaji mesin sedang mencoba membelah batang pohon yang juga kelihatan seakan-akan dibalut koran.
Menurut Wahyudin, Ubrux sedang memperlihatkan risiko-risiko yang dihadapi seorang jurnalis dalam profesinya. Tapi, jika mau membaca secara lebih umum, termasuk keberadaan manusia-manusia koran di lukisan berjudul BPUPKI, Ubrux jelas memposisikan jurnalis, dan jurnalisme itu sendiri, sebagai sesuatu yang tidak pernah lepas dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di Indonesia.
Meski mengaku hanya punya waktu tiga hari, pihak yang menangani perkara pemajangan telah mengerjakan tugasnya dengan baik. Menurut cerita Wahyudin, tampilan seperti yang ada di Galeri Nasional sebetulnya sudah hendak dipraktikkan di pameran tunggal Ubrux di Taman Budaya Yogyakarta beberapa bulan lalu. Namun, karena beberapa hal, niat itu terpaksa ditunda.
Rencana itu baru terpenuhi sekarang. Hasilnya, pengunjung pameran tunggal Budi Ubrux di Galeri Nasional Indonesia bisa mendapat pengalaman menyeluruh, baik dalam urusan interaksi dengan ruang pamer, ataupun interaksi dengan rentang kekaryaan seniman yang memenangkan Philip Morris Art Award tahun 2000 ini.