Keberadaan tubuh seringkali membawa cerita di baliknya. Ia bisa menjadi refleksi identitas, menyibakkan kenangan, menghadirkan konflik, maupun sarana komunikasi non-verbal yang andal. Sekiranya deskripsi tersebut yang melintas ketika hadir di tengah pameran bersama I Too Am Untranslatable yang berlangsung pada 15 Juli – 13 Agustus 2017, di RUCI Art Space, Jakarta. Menunjuk Roy Voragen selaku kurator, empat seniman dengan pendekatan berkesenian yang berbeda dilibatkan dalam pameran ini, seperti Deden Hendan Durahman (fotografi), Jabbar Muhammad (seni lukis), Kelvin Atmadibrata (seni performans), dan Theresia Agustina Sitompul (seni grafis dan instalasi).
Tajuk I Too Am Untranslatable yang dalam bahasa Indonesia bisa diartikan sebagai “Aku Juga Tak Dapat Diterjemahkan”, menurut Roy adalah sebuah refleksi penolakan kuasa atas yang termarjinalkan, menolak arogansi majikan yang berbicara atas nama orang lain. “I Too Am Unstranslatable juga merefleksikan perlawanan terhadap upaya untuk meredam suara yang kita miliki. Dan pameran kali ini merangkul beragam suara dalam satu ruang,” jelas Roy dalam catatan kuratorialnya.
Dari tema I Too Am Untranslatable, seniman diberi keluwesan untuk mendalami dan menyaringkan “suara”, yang mengacu kepada tubuh. Seperti yang dikutip Roy dari Georges Perec, bahwa kita seringkali terbiasa dengan watak geografis dari tubuh dan ruang-ruang yang dikungkung di dalamnya, hingga kita tak lagi mempertanyakan tubuh kita. Lewat momen inilah, seniman diajak untuk memikirkan kembali ihwal tubuh beserta wacananya, yang ditemui dalam keseharian.
Memasuki ruang pamer yang berada di lantai dua, dinding sebelah kanan diisi dua dari lima karya Deden Hendan Durahman. Sosok yang sering bermain dengan manipulasi foto tersebut merupakan pengajar di Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung. Pada kesempatan kali ini Deden menampilkan dua seri karya bertajuk Peerless dan Peers yang berangkat dari ihwal identitas manusia di tengah kemajuan teknologi dan media sosial.
Pada karya seri bertajuk Peerless, Deden menyinggung perihal hiperealitas identitas individu di media sosial yang bisa dibentuk sesuai keinginan. “Saya ada cerita tentang teman yang nge-tweet bahwa di Instagram itu tidak ada orang miskin, semua terlihat kaya, terlihat bahagia. Memang identitas di media sosial itu akhirnya menjadi sangat bias, karena setiap orang bisa mengurasi identitas masing-masing sesuai dengan yang ia harapkan,” ujar Deden. Dari situ ia melihat bahwa identitas di ranah daring bisa dipecah menjadi hal-hal yang lebih kecil, seperti barcode, yang akhirnya ia pinjam bentuknya dalam seri ini, tampak membagi-bagi sosok subjek.
Sedangkan dalam seri Peers, Deden berbicara bagaimana individu bisa memiliki banyak identitas, saat dilekatkan pada sesuatu yang lebih komunal. Salah satunya dituangkan pada Peer #02, tiga panel kaca yang membagi tubuh-tubuh yang telah didekonstruksi dan tampak berkelindan. Seperti mewakili entitas manusia yang terdiri dari banyak peran dalam satu tubuh. “Identitas tak melulu singular, tapi bisa melekat ke satu grup tertentu seperti ras, gender, atau pemahaman tertentu yang akhirnya jadi identitas itu sendiri,” jelasnya.
Saat relasi tubuh dan dunia maya menjadi sesuatu yang dikulik Deden, Theresia Agustina Sitompul memandang tubuh dari sisi yang berbeda. Lewat karya Decrease Increase dan Moment, sosok yang akrab disapa Tere ini tampak menunjukan bagaimana tubuh menjadi sesuatu yang amat kompleks untuk dipahami. Baginya, tubuh tak hanya hadir dalam bentuk fisik namun juga menyimpan emosi.
Tiga panel kertas Decrease Increase misalnya, layaknya menyimpan pikiran dan tekanan yang berada dalam diri manusia, lewat teknik carbon tracing dan cetak timbul yang ia gunakan. Cetakan karbon berwarna biru yang membekas di atas tiga kertas, akan membentuk satu pakaian utuh jika digabungkan. Roy menuturkan hal tersebut layaknya tubuh Tere yang terbagi dalam tiga peran yakni sebagai perempuan, ibu, dan seniman.
Karya Moment yang berupa instalasi berbahan baja dan silikon, berangkat dari bentuk payudara perempuan beserta siklus perubahannya. Payudara perempuan yang berubah bentuknya seiring pertambahan umur, kadangkala menggiring perempuan untuk mengembalikan bentuk “idealnya”. Dari sini, kita bisa saja menginterpretasi tubuh yang menjadi arena pertarungan antara realitas dan fantasi pada sesuatu yang dianggap ideal.
Sedangkan Jabbar Muhammad, tampak membahas tubuh dari sudut konatifnya. Tentang bagaimana tubuh yang mengambil tindakan dan menjadi media interaksi. Di kesempatan kali ini Jabbar menampilkan seri Eve, yang berangkat dari pemikirannya tentang perempuan yang cenderung lebih tersembunyi dan menaruh jarak. Sejak 2015, karya ini digarap Jabbar lewat berbagai eksperimen untuk mengalami komunikasi yang abstrak namun direfleksikan lewat tubuh.
“Ada proses yang aneh, awkward, kaku, malu-malu, atau hal-hal yang tersembunyi saat berkomunikasi dengan mereka (perempuan),” ujarnya saat menceritakan proses perkenalan yang terjadi secara langsung maupun lewat media sosial dengan perempuan-perempuan yang terlibat dalam proyeknya.
Hal tersebut bisa jadi benar adanya. Karena saat melihat seri Eve, kita akan menemukan pandangan objek yang sifatnya ambigu. Tampak menyembunyikan sesuatu. Meski saya juga tak tahu benar, apakah semua model diarahkan sedemikian rupa untuk tampak malu dan misterius, atau memang tampil secara natural. Namun, usaha yang intens dari Jabbar untuk menuangkan bagaimana tubuh menjadi media komunikasi ke atas kanvas dan kertas, sudah sepatutnya diapresiasi.
Bagi seniman performans seperti Kelvin Atmadibrata, tubuh menjadi sesuatu yang esensial. Sosok yang selama ini dikenal lewat karya bernuansa erotik tersebut, kali ini melakukan eksperimen dan eksplorasi dengan “meminjam” tubuh orang lain dalam karya bertajuk Benched. Terinspirasi dari sosok pemain polo air yang ia taksir di bangku sekolah, Kelvin meminjam tubuh laki-laki dengan mimik yang hampir serupa. “Karena orang lain yang menjadi muse-nya, jadi lebih pantas untuk direpresentasikan tanpa ada konteks memori personal si tubuh,” ujar seniman kelahiran 1988 ini.
Selain menggunakan tubuh orang lain, Benched dilengkapi dengan instalasi bangku putih yang diletakkan di atas kertas yang menyerupai kolam, dengan corak bola. Sedangkan di atas bangku, lelaki tersebut duduk terdiam di samping kue ulang tahun tiruan berwarna putih. Alasannya, sosok yang diidolakan tersebut, kini Kelvin ketahui telah bekerja sebagai pembuat kue ulang tahun.
Kata benched sendiri dalam ranah olahraga digunakan bagi pemain yang diposisikan di bangku cadangan. Berbagai makna dan simbol yang muncul dari karya ini, bagi Kelvin seperti mempertanyakan kembali perihal maskulinitas. Saat seorang atlet diposisikan menjadi pasif (di bangku cadangan), atau kenyataan bahwa sang atlet kini menjadi pembuat roti.
Sebagai sebuah pameran bersama yang terhubung dalam narasi tubuh, pameran I Too Am Untranslatable setidaknya bisa mengajak kita mempertanyakan kembali tentang tubuh itu sendiri. Dengan pemaknaan dan pendekatan yang beragam dari empat seniman, dapat memperkaya interpretasi dalam membaca wacana tubuh yang tak terbatas. Mulai dari pertanyaan apakah kita selayaknya menguasai tubuh sesuai ego? Hingga pikiran bahwa tubuh juga memiliki keinginannya sendiri, bisa jadi hadir.
Artikel ini dimuat dengan judul awal Sulitnya Menerjemahkan Suara Tubuh di majalah SARASVATI edisi Agustus 2017.